Sunday, May 13, 2012

Hadist Tentang Prinsip yang Perlu Diperhatikan Dalam Pendidikan

Makalah ini telah dipresentasikan oleh: Arief Rahman dan Nuur Salim dalam pelajaran hadist tarbawi 
BAB II
PENJELASAN


1.1 Hadis Tentang Anjuran Supaya Mempermudah Dan Jangan Menggusarkan (LM: 1131)

حديث أَنَسٍ ,عَنِ النَّبِىِّ صَلى الله عليه و سلم قال: (يَسِّرُوا وَلاَ تُعَسِّرُوا, وَبَشِّرُوا وَلاَ تُنَفِّرُوا) أخرجه البخرى
Artinya: Anas r.a berkata: Nabi SAW. Bersabda. Ringankanlah ajaran da’wahmu dan jangan mempersukar, dan bergembiralah pengikutmu dan jangan kamu gusarkan. (Bukhari, Muslim)[1].


1.2 Mufradat
Ringankanlah                                            : يَسِّرُوا
Bergembiralah                                           :  وَبَشِّرُوا

1.3 Penjelasan Hadis

Faidah penambahan kalimat وَلاَتُعَسِّرُوا adalah sebagai penegasan. Imam Nawawi berkata, “jika hanya menggunakan kata يَسِّرُوا (berilah kemudahan), maka orang yang hanya memberikan kemudahan sekali da sering mempersulit orang lain termasuk dalam hadis tersebut. Oleh karena itu, Rasulullah bersabda وَلاَ تُعَسِّرُوا (janganlah mempersulit) dengan maksud untuk mengingatkan, bahwa memberikan kemudahan kepada orang lain harus selalu dilakukan dalam setiap situasi dan kondisi. Dengan demikian pula dengan sabda Nabi, وَلاَ تُنَفِّرُوا setelah kata وَبَشِّرُوا.
وَبَشِّرُوا (dan berilah berita gembira). Dalam bab “Adab”, Imam Bukhari meriwayatkan dari Adam, dari Syu’bah dengan menggunakan lafaz وَسَكِّنُوا (berilah ketenangan) yang merupakan antonym (lawan kata) dari وَلاَ تُنَفِّرُوا. Sebab  سُكُوْنkata  (keterangan) adalah lawan kata نُفُوْر (meninggalkan), seperti halnya kata البَشَارَةُ (berita gembira) merupakan lawan dari kata النذَارَةُ (berita buruk). Akan tetapi karena menyampaikan kabar buruk pada awal sebuah pengajaran dapat menyebabkan orang tidak menghiraukan nasihat yang akan diberikan kepadanya, maka kata البَشَارَةُ (berita gembira) disini diikuti dengan kata تَنْفِيْرُ (meninggalkan).
Adapun maksud dari hadis ini adalah:
  1. kita harus berlaku ramah kepada orang yang baru memeluk Islam dan tidak mempersulitnya.
  2. lemah lembut dalam melarang perbuatan maksiat agar dapat diterima dengan baik.
  3. menggunakan metode bertahap dalam megajarka suatu ilmu, karena segala sesuatu jika diawali dengan kemudahan, maka akan dapat memikan hati dan menambah rasa cinta. Berbeda halnya jika pengajaran itu dimulai dengan kesulitan. Wallahu A’lam[2].
2.1 Hadis Tentang Bayi Dilahirkan dalam Keadaan Fitrah (LM: 1702)

حديث أَبِى هُرَيْرَةَ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ. قَالَ النَّبِىِّ صلى الله عليه و سلم: (مَا مِنْ مَوْلُوْدٍ إَلاَّيُوْلَدُ عَلَى الفِطْرَةِ. فَأَبَوَهُ يُهَوِّدَانِهِ أَوْ يُنَصِّرَانِهِ أَوْ يُمَجِّسَانِهِ. كَمَا تُنْتَجُ البَهِيْمَةُ بَهِيْمَةً جَمْعَاءَ هَلْ تُحِسُّوْنَ فِيْهَا مِنْ جَدْعَاءَ ؟)
ثُمَّ يَقُوْلُ أَبُوْهُرَيْرَةَ رضي اللهُ عنه: فِطْرَةَ اللهِ التِّى فَطَرَ النَّاسَ عَلَيْهَا لاَتَبْدِيْلَ لِخَلْقِ اللهِ, ذَالِكَ الدِّيْنُ القَيِّمُ- أخرجه البخرى
Artinya: Abuhurairah r.a berkata: Nabi SAW. Bersabda: Tiada bayi yang dilahirkan melainkan lahir di atas fitrah, maka ayah bundanya yang menjadikan yahudi, nasrani, dan majusi, sebgai lahirnya binatang yang lengkap sempurna. Apakah ada binatang yang lahir terputus telinganya? Kemudian Abuhurairah r.a membaca: fitrah yang diciptakan Allah pada semua manusia, tiada perubahan terhadap apa yang dicipta oleh Allah. Itulah agama yang lurus (Bukhari, Muslim)[3].
2.2 Mufradat
lahirnya binatang                                       : تُنْتَجُ البَهِيْمَةُ
lengkap / sempurna                                    : جَمْعَاءَ
tiada perubahan                                         : لاَتَبْدِيْل

2.3 Penjelasan Hadis
At-Thabari dan Ibn al-Mundzir menjelaskan, dengan mengutip pendapat Mujahid, bahwa fitrah yang dimaksud adalah agama (dîn) Islam. Ini juga makna yang dipegang oleh Abu Hurairah dan Ibn Syihab. Maknanya bahwa seorang anak dilahirkan dalam keadaan selamat dari kekufuran. Itulah janji setiap jiwa kepada Allah tatkala masih dalam kandungan, sebagaimana diisyaratkan dalam surah al-A’raf 172-173 :
øŒÎ)ur xs{r& y7/u .`ÏB ûÓÍ_t/ tPyŠ#uä `ÏB óOÏdÍqßgàß öNåktJ­ƒÍhèŒ öNèdypkô­r&ur #n?tã öNÍkŦàÿRr& àMó¡s9r& öNä3În/tÎ/ ( (#qä9$s% 4n?t/ ¡ !$tRôÎgx© ¡ cr& (#qä9qà)s? tPöqtƒ ÏpyJ»uŠÉ)ø9$# $¯RÎ) $¨Zà2 ô`tã #x»yd tû,Î#Ïÿ»xî ÇÊÐËÈ
÷rr& (#þqä9qà)s? !$oÿ©VÎ) x8sŽõ°r& $tRät!$t/#uä `ÏB ã@ö7s% $¨Zà2ur Zp­ƒÍhèŒ .`ÏiB öNÏdÏ÷èt/ ( $uZä3Î=ökçJsùr& $oÿÏ3 Ÿ@yèsù tbqè=ÏÜö7ßJø9$# ÇÊÐÌÈ
Artinya:
172.  Dan (ingatlah), ketika Tuhanmu mengeluarkan keturunan anak-anak Adam dari sulbi mereka dan Allah mengambil kesaksian terhadap jiwa mereka (seraya berfirman): "Bukankah Aku Ini Tuhanmu?" mereka menjawab: "Betul (Engkau Tuban kami), kami menjadi saksi". (Kami lakukan yang demikian itu) agar di hari kiamat kamu tidak mengatakan: "Sesungguhnya kami (Bani Adam) adalah orang-orang yang lengah terhadap Ini (keesaan Tuhan)",
173.  Atau agar kamu tidak mengatakan: "Sesungguhnya orang-orang tua kami Telah mempersekutukan Tuhan sejak dahulu, sedang kami Ini adalah anak-anak keturunan yang (datang) sesudah mereka. Maka apakah Engkau akan membinasakan kami Karena perbuatan orang-orang yang sesat dahulu[4]?"
Maka fitrah yang adalah seperti yang disampaikan oleh Ibn Abd al-Bar dan Ibn ‘Athiyah, yaitu karakter ciptaan dan kesiapan yang ada pada diri anak ketika dilahirkan, yang menyediakan atau menyiapkan untuk mengidentifikasi ciptaan-ciptaan Allah dan menjadikan dalil pengakuan terhadap Robb-nya, mengetahui syaritnya dan mengamatinya.
Abu al-‘Abbas menyatakan bahwa Allah Swt. menciptakan hati anak Adam siap untuk menerima kebenaran seperti menciptakan mata siap untuk melihat dan telinga siap untuk mendengar. Hanya saja, faktor-faktor berupa bisikan setan jin maupun setan manusia serta hawa nafsu bisa meggelincirkannya dari kebenaran. Jadi, ibu-bapaknya dalam hadis di atas merupakan permisalan dari bisikan setan yang menjadikannya seorang kafir atau musyrik.
Ibn al-Atsir mengomentari hadis di atas: Fitrah adalah ciptaan atau kreasi. Fitrah di antaranya adalah kondisi seperti berdiri atau duduk. Hadis tersebut bermakna bahwa setiap insan dilahirkan di atas suatu jenis dari jibillah (ciptaan) dan tabiat yang siap-sedia untuk menerima agama. Hal senada diungkapkan oleh Zamakhsyari. (Al-Fâ’iq, 3/128).
Berdasarkan nash-nash di atas, maka makna fitrah adalah karakteristik ciptaan, yaitu karakteristik bawaan yang melekat dalam diri setiap manusia sejak dilahirkan.
Jika kita analisis, karakteristik bawaan itu tidak lain adalah potensi kehidupan manusia berupa hajât al-‘udhâwiyah (kebutuhan untuk tetap hidup) dan gharâ’iz—jamak dari gharîzah—(naluri/insting). Tabiat yang berupa kesiapan menerima agama dan kelurusan itu tidak lain adalah gharîzah at-tadayyun (naluri beragama). Jadi, kesaksian dalam surat al-A'raf tersebut adalah kesaksian naluriah/instingtif (syahâdah ghâriziyyah atau syahâdah fithriyyah) dan bukan kesaksian imani (syahâdah îmâniyyah). Kesaksian itu tidak akan bisa dilupakan oleh manusia karena melekat dalam dirinya dan tidak akan hilang sampai kematiannya dan sampai generasi manusia yang terakhir. Itulah yang ditegaskan Allah dalam al-A'raf ayat 172-173[5].

3.1 Hadis Tentang Memilih Waktu yang Efektif dalam Bernasihat (LM: 1796)

حديث عَبْدِ اللهِ بنِ مَسْعُوْدٍ. كَانَ يُذَكِّرُ النَّاسَ فِى كُلَِّ خَمِيْسِ, فَقَالَ لَهُ رَجُلٌ: يَا أَبَا عَبْدِالرَّحمن! ,لَوَدِدْتُ أنَّكَ ذَكَّرْتَنَا كُلَّ يَوْمٍ. قَالَ: أَماَّ إنَّهُ يَمْنَعُنىِ مِنْ ذَالِكَ أنِّى أَكْرَهُ أَنْ أُمَلِّكُه. وَإِنِّى أَتَخَوَّلُكُمْ بِالمَوْعِظَةِ, كَمَا كَانَ النَّبِىُّ صلى الله عليه و سلم يَتَخَوَّلُنَا بِهَا, مَخَافَة السَّآمَةِ عَلَيْنَا- أخرجه البخرى
Artinya: Abdullah bin Mas’ud r.a biasa memberi nasihat pada orang-orang tiap hari kamis, dan ketika ditanya oleh seseorang: hai Abu Abdirrahman !, aku ingin sekira anda dapat memberi ajaran dan nasihat itu tiap hari. Jawab Ibn Mas’ud: sesungguhnya yang mencegah diriku untuk memberi nasihat kepada kalian setiap hari itu, karena aku kuatir menjemukan kalian, maka aku jarang-jarang memberi nasihat kepada kalian sebagaimana Nabi SAW. Dahulu berbuat sedemikian terhadap kami kuatir menjemukan kami.(Bukhari, Muslim).
Sebab nasihat yang menjemukan itu sama sekali tidak berguna tidak berpengaruh atau berbekas, bahkan kemungkinan menyebabkan dosa, yaitu jika dinasihati ngomel, karena jemunya[6].

3.2 Mufradat
Mengajarkan                                              : يُذَكِّر
Aku kuatir                                                 : أَكْرَهُ
kuatir menjemukan kami / Menjaga          : يَتَخَوَّلُنَا
Saya mengharap                                        : لَوَدِدْتُ
3.3  Penjelasan Hadis
Abdullah dalam hadis ini adalah  Abdullah bin Mas’ud, yang biasa dipanggil Abu Abdurrahman. Sedangkan laki-laki yang bertanya kepada Abdullah bin Mas’ud tidak diketahui dengan jelas, mungkin Yazid bin Mu’awiyah an-Nakha’I, sebagaimana disinyalir oleh imam Bukhari pada abad akhir bab “Dakwah”.
لَوَدِدْتُ (saya mengharap) disini huruf “lam” sebagai jawaban dari sumpah yang tidak disebutkan, jadi asal kalimat tersebut adalah وَلله لَوَدِدتُ (demi Allah, saya mengharap).
Mengenai matan hadis ini telah dijelaskan pada bab sebelumnya. Sanad hadis ini terdiri dari orang-orang Kufah, sedangkan dalam hadis Anas sebelumnya adalah orang-orang dari Bashrah[7].
Kita ketahui bersama agama Islam memerintahkan kita untuk selalu saling nasehat menasehati. Dari hal tersebut ketika kita telaah maknanya, sesungguhnya hal itu mempertegas posisi manusia yang lemah, sering pelupa, lalai, tidak sabar, dan sering membuat kesalahan dan kerusakan. Nasehat menasehati adalah proses menempa kejujuran, kerendahan hati, keterbukaan, komitmen dan rasa kebersamaan. Nilai sebuah nasehat menurut hemat saya ditentukan oleh sedikitnya 4 hal utama yaitu (1). Kemampuan Penasehat, (2). Kesadaran yang dinasehati, (3). Etika, dan (4). Waktu.
Oleh karena itu dalam bernasehat menasehati tentu ada etika yang harus kita kedepankan, karena bisa saja kegiatan tersebut berkait dengan aib dan kelemahan orang lain. Untuk itu nasehat harus diprioritaskan bahwa semua untuk Allah SWT semata. Lalu upayakan untuk memegang kerahasian masalah, dan yang tidak kalah penting adalah cara penyampaian nasehat yang penuh sopan-santun dan menggunakan bahasa yang mudah dipahami. Semua hal di atas masih perlu memperhatikan waktu yang baik untuk memberi nasehat. Maka waktu yang tepat adalah waktu dimana nasehat itu diminta[8].



BAB III
PENUTUP
KESIMPULAN

Adapun maksud dari hadis Tentang Anjuran Supaya Mempermudah Dan Jangan Menggusarkan (LM: 1131) adalah:
  1. kita harus berlaku ramah kepada orang yang baru memeluk Islam dan tidak mempersulitnya.
  2. lemah lembut dalam melarang perbuatan maksiat agar dapat diterima dengan baik.
  3. menggunakan metode bertahap dalam megajarka suatu ilmu, karena segala sesuatu jika diawali dengan kemudahan, maka akan dapat memikan hati dan menambah rasa cinta. Berbeda halnya jika pengajaran itu dimulai dengan kesulitan. Wallahu A’lam
dan Hadis Tentang Bayi Dilahirkan dalam Keadaan Fitrah (LM: 1702) At-Thabari dan Ibn al-Mundzir menjelaskan, dengan mengutip pendapat Mujahid, bahwa fitrah yang dimaksud adalah agama (dîn) Islam.
Hadis Tentang Memilih Waktu yang Efektif dalam Bernasihat (LM: 1796) mengenai nasihat yang menjemukan itu sama sekali tidak berguna tidak berpengaruh atau berbekas, bahkan kemungkinan menyebabkan dosa, yaitu jika dinasihati ngomel, karena jemunya



DAFTAR PUSTAKA

Ibnu hajar al-Asqolani, al-Imam al-Hafizh, Fathul Baari Syarah Shahih al-Bukhari,diterjemahkan oleh Ghazirah Abdi Ummah, Fathul Baari jus 1, Jakarta, Pustaka Azzam, 2003.
M. Fuad Abdul Baqi, al-Lu’lu wal Marjan, diterjemahkan oleh H. Salim Bahreisy, al-Lu’lu wal Marjan jus 2, Surabaya, PT. Bina Ilmu, 2003.
http://kamalsuraba.wordpress.com/author/kamalsuraba/page/2/



[1] M. Fuad Abdul Baqi, al-Lu’lu wal Marjan, diterjemahkan oleh H. Salim Bahreisy, al-Lu’lu wal Marjan jus 2, Surabaya, PT. Bina Ilmu, 2003, h. 650-651.
[2] Ibnu hajar al-Asqolani, al-Imam al-Hafizh, Fathul Baari Syarah Shahih al-Bukhari,diterjemahkan oleh Ghazirah Abdi Ummah, Fathul Baari jus 1, Jakarta, Pustaka Azzam, 2003, h. 309.
[3] M. Fuad Abdul Baqi, al-Lu’lu wal Marjan, diterjemahkan oleh H. Salim Bahreisy, al-Lu’lu wal Marjan jus 2, h. 1010.
[4] Maksudnya: agar orang-orang musyrik itu jangan mengatakan bahwa bapak-bapak mereka dahulu Telah mempersekutukan Tuhan, sedang mereka tidak tahu menahu bahwa mempersekutukan Tuhan itu salah, tak ada lagi jalan bagi mereka, hanyalah meniru orang-orang tua mereka yang mempersekutukan Tuhan itu. Karena itu mereka menganggap bahwa mereka tidak patut disiksa Karena kesalahan orang-orang tua mereka itu.
[6] M. Fuad Abdul Baqi, al-Lu’lu wal Marjan, diterjemahkan oleh H. Salim Bahreisy, al-Lu’lu wal Marjan jus 2, h. 1093-1094.
[7] Ibnu hajar al-Asqolani, al-Imam al-Hafizh, Fathul Baari Syarah Shahih al-Bukhari,diterjemahkan oleh Ghazirah Abdi Ummah, Fathul Baari jus 1, h. 310.
[8] http://kamalsuraba.wordpress.com/author/kamalsuraba/page/2/

Emoticon Ini Tidak Untuk Komentar Lewat Facebook.Copas Kode Pada Komentar Mu....
:a: :b: :c: :d: :e: :f: :g: :h: :i:
:j: :k: :l: :m: :n: :o: :p: :q: :r:
:s: :t: :u: :v: :w: :x: :y: :z: :ab:
Comments
0 Comments

0 komentar:

Post a Comment

Mohon maaf apabila terdapat komentar yang sesuai kriteria di bawah ini akan dihapus, demi kenyamanan bersama

1. Komentar berbau pornografi, sara, dan menyinggung.
2. Mencantumkan link hidup.
3. Mengandung SPAM.
4. Mempromosikan Iklan.

Terima kasih atas perhatiannya.