Showing posts with label Fiqih. Show all posts
Showing posts with label Fiqih. Show all posts

Monday, July 29, 2013

LANDASAN PENSYARIATAN WUDHU



Dalil yang bersumber dari al-Qur’an (QS. Al-Maidah: 6  
Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu hendak mengerjakan shalat, Maka basuhlah mukamu dan tanganmu sampai dengan siku, dan sapulah kepalamu dan (basuh) kakimu sampai dengan kedua mata kaki, dan jika kamu junub Maka mandilah, dan jika kamu sakit[1] atau dalam perjalanan atau kembali dari tempat buang air (kakus) atau menyentuh[2] perempuan, lalu kamu tidak memperoleh air, Maka bertayammumlah dengan tanah yang baik (bersih); sapulah mukamu dan tanganmu dengan tanah itu. Allah tidak hendak menyulitkan kamu, tetapi Dia hendak membersihkan kamu dan menyempurnakan nikmat-Nya bagimu, supaya kamu bersyukur.
Dalil yang bersumber dari hadits:
Abu hurairah bercerita bahwa Rasulullah saw bersabda
لاَ يَقْبَلُ اللهُ صَلاَةَ أَحَدِكُمْ إِذَا أَحْدَثَ
Artinya: “Allah tidak menerima shalat salah seorang di antara kalian yang berhdats sampai ia berwudhu”[3]
Dalil yang bersumber dari ijma’ ulama.
Seluruh umat Islam sepakat wudhu disyariatkan di dalam Islam, sejak masa Rasulullah saw hingga sekarang karena itu, wudhu adalah hal penting yang tak terpisahkan dari agama.
Fardhu Wudhu[4]
1.      Niat
Umar r.a Ia bercerita bahwa Rasulullah saw bersabda,
إِنَّمَا الأَعْمَالُ بِالنِّيَّاتِ وَإِنَّمَا لِكُلَّ امْرِئٍ مَا نَوَى
“sesungguhnya segala perbuatan itu pasti disertai niat dan setiap orang (diberi balasan) berdasarkan niatnya”[5]
2.      Membasuh muka
Membasuh muka dapat dilakukan dengan cara menyirami wajah dengan air sebanyak sekali. Batas wajah dalam konteks wudhu dimulai dari bagian dahi paling atas hingga dagu di bagian bawah. Sedangkan lebarnya adalah dari batas telinga kanan hingga telinga kiri
3.      Membasuh kedua tangan hingga sikut
Sikut adalah persendian yang membatasi lengan bawah dan lengan atas seseorang. Kedua sikut termasuk dalam bagian tubuh yang harus dibasuh. Hal tersebut telah dicontohkan dalam praktik wudhu Rasulullah saw.
4.      Mengusap kepala
Ada tiga cara yang dilakukan Rasulullah terkait dengan proses mengusap kepala.
a)      Mengusap semua bagian kepala
Abdullah bin Zaid r.a. bercerita bahwa Rasulullah saw mengusap kepalanya dengan kedua tangannya. Mulai depan, kebelakang, hingga tengkuk, lalu kembali kedepan (HR. Bukhari, Nasa’I, Ahamd, Darimi dan Syafi’i)
b)      Hanya mengusap serban (penutup kepala)
Amar bin Umayyah r.a bercerita bahwa ia melihat Rasulullah saw mengusap serban dan sepatu musim dingin beliau (saat melakukan wudhu). (HR. Bukhari, Ibnu Majah dan Ahmad). Bilal bercerita bahwa Rasulullah saw bersabda:
امْسَحُوْا عَلَى الخُفَّيْنِ وَالخِمَارِ
Basuhlah sepatu musim dingin (khuf) dan penutup kepala (kimar) kalian. (HR. Muslim, Abu Daud, Nasa’i, Tirmizi dan Ibnu Majah)
c)      Mengusap kulit kepala sekaligus serban (penutup kepala)
d)  Mugirah bin Syu’bah r.a bercerita bahwa Rasulullah saw pernah melaksanakan wudhu dan kemudian mengusap kulit kepala dan sorban beliau, serta kedua sepatu musim dingin beliau.(HR. Muslim jilid I , no. 83 )
e)  Inilah yang dilakukan Rasulullah saw selama hidup beliau. Memang, tidak ada riwayat yang bercerita bahwa beliau mengusap sebagian dari kepala, meskipun ayat di atas menyiratkan demikian. Yang perlu diingat adalah: tidaklah sah hanya mengusap rambut yang telah keluar dari batas kepala seperti kuncir (dhafirah)
5.      Membasuh kedua kaki hingga mata kaki.
Hal ini telah dilakukan dan diceritakan dari perilaku Rasulullah saw Ibnu Umar ra berkata, ”suatu ketima kami ketinggalan dari Rasulullah saw dalam sebuah perjalanan. Lalu, kami bisa menyusul beliau, namun waktu ashar hampir habis. Kami berwudhu dan mengusap kedua kaki kami. Dan Rasulullah berteriak dengan lantang dua atau tiga kali (saat kami melakukan hal itu)
وَيْلُ لِلْأَعْقَابِ مِنَ النَّارِ
“sungguh celaka, tumit-tumit itu (akan dilahap) oleh api neraka!” (HR. Bukhari dan Muslim)
Abdurrahman bin Abu Laila ra mengatakan, “para sahabat Nabi sepakat bahwa membasuh kedua tumit (adalah wajib hukumnya)
Rukun-rukun dan kewajiban (wudhu) di atas semuanya tercantum di dalam firman Allah al-Maidah: 6
6.      Tertib (berurutan)
Allah swt telah menjelaskan kewajiban-kewajiban wudhu tersebut secara berurutan. Misalnya, dengan memisahkan kedua tangan dengan kedua kaki. Padahal keduanya sama-sama harus dibasuh dengan kewajiban mengusap kepala. Sedangkan tradisi orang Arab biasanya memisahkan kedua hal yang memiliki kesamaan, kecuali dengan maksud tertentu. Dalam hal ini, perintah agar tertib (berurutan). Ayat di atas tentu diturunkan untuk menjelaskan sebuah kewajiban. Rukun ini juga didukung oleh sabda Rasulullah saw
إِبْدَءُاو بِمَا بَدَأَ اللهُ بِهِ
“mulailah dengan apa yang dimulai oleh Allah swt,” (HR. Ahmad)
Apalagi, beliau sendiri telah mempraktikan urutan-urutan ini. Tidak pernah ada riwayat yang bercerita bahwa Rasulullah melaksanakan wudhu dengan tidak tertib. Wudhu adalah ritual ibadah, dan ibadah selalu berpatokan dengan jalan meneladani Rasulullah (itba’). Tidak seorang pun boleh menympang dari apa yang telah dipraktikkan oleh Rasulullah saw. apalagi, jika hal tersebut selalu dilakukan oleh beliau.




[1] Maksudnya: sakit yang tidak boleh kena air.
[2] Artinya: menyentuh. menurut jumhur Ialah: menyentuh sedang sebagian mufassirin Ialah: menyetubuhi
[3] Diriwayatkan oleh Muslim di dalam Shahih Muslim, Kitab al-Alfazh min al-Adab, Bab Isti’mal al-Misk, Jilid IV, hlm. 1766, hadits nomor 21; dan Nasa’i di dalam  Sunan an-Nasa’i, Kitab az-Zinah, Bab al-Bukhur, Jilid VIII, hlm. 156.
[4] Sayyid Sabiq, Fihus Sunnah, Terjemahan Ahmad Shiddiq Tabrani dkk, Fiqih Sunnah, Jakarta, PT. Pena Pundi Aksara, h.37
[5] Diriwayatan oleh Baihaqi di dalam sunan al-Kubra, kitab ath-Thaharah, Bab ad-Dhalil ‘ala annas as-Siwak laisa bi wajib, jilid I, hlm, 35; Ibnu Khuzaimah di dalam shahih Ibni Khuzaimah, Bab al-Amri bi as-Siwak ‘inda Kulli Shalah, Amru Nadbin wal Fadhilah, la Amri Wuhub wa Faridhah, jilid I hlm.73; dan Malik di dalam al-Muwaththa, jilid I hlm. 66. Abu Bakar berkata bahwa hadits ini diriwayatkan juga olwh Syafi’I dan Basyar bin Umar. Ibnu Abdil Barr berkata bahwa hadits ini terdapat di dalam al-Musnad, Alabaini mengatakan, hadits ini sahih. 

Saturday, July 27, 2013

Membaca Surah al-Fatihah pada Setiap Rakaat

Ada banyak hadits sahih yang menjelaskan bahwa membaca surah al-Fatihah pada setiap rakaat itu hukumnya fardhu. Hal itu tidak perlu diperdebatkan lagi. Berikut ini hadits-hadits sahih tersebut,
1.      Ubadah Ibn Shamit ra meriwayatkan bahwa Rasulullah saw bersabda
لا صلاة لمن لم يقرأ بفاتحة الكتاب
Tidak sah shalat orang yang tidak membaca Fatihatul Kitab (surah al-fatihah). (HR. Bukhri, Muslim, Abu Dawud, Nasa’i, Timidzi, Ibnu majah)
2.      Abu hurairah ra meriwayatkan bahwa Rasulullah saw bersabda,
من صلّ صلاة لم يقرأ فيها بأمّ القرآن, و فى رواية: بفاتحة الكتاب, فهي خداج هي جداج هي خداج غير تمام
Barang siapa mengerjakan shalat, tetapi tidak membaca Ummul Qur’an- dalam riwayat yang lain disebutkan (tidak membaca) Fatihatul Kitab- maka shalatnya berkurang (beliau ucapkan sebanyak tiga kali)tidak sempurna. (HR. Muslim, Abu Dawud, Ibnu Majah, Tirmidzi dan Ahmad)
3.      Abu Hurairah ra meriwayatkan bahwa Rasulullah saw bersabda,
لا تجزئ صلاة, لا يقرأ فيها بفاتحة الكتاب
“Shalat (seseorang) tidak sempurna jika ia tidak membaca Fatihatul Kitab” (HR. Ibnu Khuzaimah)
a)      Basmalah
Para ulama sepakat bahwa basmalah adalah bagian dari suatu ayat dalam an-Nahl, tetapi mereka berbeda pendapat tentang basmalah yang tercantum di awal setiap (dalam al-Qur’an). Pendapat-pendapat mereka dapat disimpulkan menjadi tiga pendapat yang populer.
1)      Pendapat pertama mengatakan bahwa basmalah merupakan satu ayat dari surah al-Fatihah dan dari semua surah. Dengan demikian, membaca basmalah diwajibkan pada saat membaca surah al-Fatihah. Hukum membaca basmalah sama dengan hukum membaca surah al-Fatihah dalma kaitannya dibaca dengan keras atau pelan.[1] Dalil  paling kuat dalam pendapat pertama ini adala hadits yang diriwayatkan oleh Nu’aim al-Mujammir, ia berkata, “aku pernah mengerjakan shalat (menjadi makmum) di belakang Abu Hurairah. Ia membaca bismillahirrahmanirrahim kemudia membaca Ummul Qur’an (Haditsnya Panjang) dan di akhir haditsnya disebutkan, “Abu Hurairah berkata, Demi Allah yang jiwaku berada dalam genggaman kekuasaan-Nya, shalatku paling sama dengan shalat Rasulullah saw. dibandingkan shalat kalian. (HR. Nasa’i dan Ibnu Khuzaimah)
Dalam Fathul Bari, al-Hafizh Ibnu Hajar berkata, “ini adalah hadits yang paling shahih yang menjelaskan bahwa baslmalah dibaca dengan jahr (keras).
2)      Pendapat kedua mengatakan bahwa basmalah merupakan ayat tersendiri yang dirutnkan untuk tayammum (memohon keberkahan kepada Allah swt) dan sebagai pemisah satu surah dan surah yang lainnya. Membaca basmalah keita membaca surah al-Fatihah dibolehkan, bahkan disunahkan, tetapi tidak disunnahkan dengan keras. Hal ini berdasarkan hadits yang diriwayatkan oleh Anas ra, ia berkata, “Aku pernah shalat di belakang Rasulullah saw, di belakang Abu Bakar, di Belakang Umar, dan di belakang Utsman. Semuanya tidak membaca bismillahirrahmanirrahim dengan suara keras (HR. Nasa’i dan Thahawi)
3)      Pendapat ketiga mengatakan bahwa basmalah bukanlah suatu ayat dari surah al-Fatihah, bukan juga dari surah-surah yang lainnya. Didalam shalat fardhu, nukan di dalam shalah sunnah, membaca basmalah hukumnya makruh, baik dibaca dnegna pelan maupun dengan keras. Pendapat ini tidak kuat
Ibnu Qayyim berusaha menggabungkan pendapat yang pertama dengan pendapat yang kedua. Ia berkata, “terkadang Nabi saw membaca bismillahirrahmanirrahim dengan keras, tetapi beliau sering membacanya dengan pelan. Tidak diragukan bahwa beliau tidak selau membaca basmalah dengan keras lima kali sehari semalam, baik ketika beliau tidak bepertian maupun ketika beliau bepergian. Hal ini tidak didasari olwh para khalifah dan kebanyakan sahabatnya. Hal ini juga tidak disadari oleh penduduk Mekkah dan Madinah di maasa mulia itu.”
b)     Orang yang tidak dapat membaca surah al-Fatihah dengan Baik
Al-Khaththabi berkata, “pada dasarnya, shalat (seorang mushalli) tidak sah kecuali membaca surah al-Fatihah. Tentu sudah mafhum bahwa membaca surah al-Fatihah itu diwajibkan bagi orang yang dapat membaca dengan baik, bukan bagi orang yang tidak dapat membacanya dengan baik. Apabila seorang mushalli tidak dapat membaca surah al-Fatihah dengan baik, tetapi ia dapat membaca surah yang lain dengan baik, ia harus membaca surah yang lain se banyak tujuh ayat karena zikir paling utama setelah surah al-Fatihah adalah  membaca ayat-ayat dari surah yanglain (sebanyak tujuah ayat) seperti surah al-Fatihah. Apabila ia benar-benar tidak dapat mempelajari bacaan al-Qur’an sedikit pun karena ia tidak dapat mencetaknya, tidak dapat menghafalnya, mereka asing terhadap bacaannya (sehingga lisannya tidak dapat melafalkannya), atau karena ada penyakit yang dideritanya, zikir paling utama setelah bacaan al-Qur’an dalah bacaan tasbih, tahmid, dan tahlil yang telah diajarkan oleh Rasulullah saw. telah diriwayatkan bahwa Rasululllah bersabda
أفضل الذكر بعد كلام الله سبحان الله, و الحمد لله, ولا إله إلاّ الله, و الله أكبر
“Sebaik-baik zikir setelah kalam Allah bacaan al-Qur’an) adalah subhanallah, alhamdulillah, la Illaha illalah dan Allahu akbar.”
Pendapat tersebut diperkuat lagi dengan hadits Rif’ah bin Rafi’ yang disebutkan juga oleh al-Khaththabi bahwa Rasulullah saw pernah mengajari seseorang shalat. Beliau bersabda,
إن كان معك قرآن, فاقرأ, وإلاّ فاحمده, وكبره, و هلّله, ثمّ اركع

Jika ada bacaan al-Qur’an yang engkau hafal, bacalah. Jika tidak ucapkan tahmid, takbir dan tahlil kemudian rukuklah. (HR. Abu Dawud, Nasa’I, dan Baihaqi)



[1] Maksudnya, pada shalat magrib, isya dan subuh, surah al-Fatihah dibaca dengan jahr (jelas), demikian juga basmalah. Pada shalat zhuhur dan ashar, surah al-Fatihah dibaca dengan sirri (pelan), demikian basmalah

Next Post Home