Telah dipresentasikan dalam mata
kuliah telaah materi SKI dan direfisi oleh:
Annis Widyaningrum
Arief Rahman
Mahasiswa STAIN Palangkaraya angkatan 2009
Mahasiswa STAIN Palangkaraya angkatan 2009
untuk mengunduh file dalam bentuk power point dapat klik disini
diedit oleh Arief Rahman
PEMBAHASAN
A. Gerakan Pemberharuan Wahabi
Dalam memperalajari gerakan Wahabi, kita
akan membagi menjadi tiga pembahasan. Pertama, sejarah singkat Muhammad bin
Abdul Wahab. Kedua, gerakan pemberharuan yang dilakukan Muhammad bin Abdul
Wahab. Ketiga, kerangka pemikiran Muhammad bin Abdul Wahab.
1.
Sejarah
singkat Muhammad bin Abdul Wahab
Muhammad bin Abdul Wahab lahir di
Uyainah, daerah Najed pada tahun 1115 H dan wafat pada tahun 1206 H. Negeri
tempat kelahirannya adalah sebuah daerah terpencil di pedalaman Arab Saudi.
Daerah ini tandus dan tidak banyak diperhatikan orang sebelum timbulnya gerakan
pemberharuan yang dipelopori Muhammad bin Abdul Wahab. Meskipun daerah ini
secara resmi merupkan daerah jajahan turki, tetapi pemerintahan turki tidak
begitu memerhatikan daerah ini. Karena tidak begitu mempunyai wakil
pemerintahan yang efektif, kabilah-kabilah Arab yang mendiami daerah ini
tersebut tetap sebagai kelompok-kelompok yang bebas. Mereka di bawah bimbingan
berbagai kepala suku (amir-amir) mereka. Pada masa itu, kebesaran dan kekuasaan
kerajaan Turki Usmani mulai merosot dan rapuh.
Muhammad bin Abdul Wahab dibesarkan dan
didik ayahnya sendiri. Ayahnya seorah fakih (ahli fikih) dan kadi (hakim) di
negeri yang bermazhab Hambali, suatu aliran yang menjadi rujukan penduduk Najed
pada umumnya.
Di dalam buku sirah al-Imam
asy-Syaikh Muhammad bin Abdul Wahab oleh Amin Sa’id disebutkan bahwa ayah
Muhammad bin Abdul Wahab adalah seorang ulama besar pada masanya. Selain itu,
datuknya yang bernama Sulaiman Ali adalah ulama terkemuka di Najed. Ia menjadi
nara sumber bagi ulama-ulama di daerah Najed dalam berbagai kesulitan yang
mereka hadapi.
Sejak kecil, Muhammad bin Abdul Wahab
sudah mampu menghafal dan memahami apa yang dibacanya, termasuk al-Qur’an. Pada
usia 9 tahun, ia sudah hafal al-Qur’an 30 juz. Kemampuannya dalam menghafal dan
memahami sesuatu juga menumbuhkan kemauan yang kuat untuk memperluas dan
memperdalam ilmu pengetahuan. Oleh karena itu, setelah cukup belajar kepada
ayahnya mengenai fikih mazhab Imam Ahmad bin Hambal, ia melajutkan pelajaran di
Madinah. Ia berguru kepada Syaikh Sulaiman al-Kurdi dan Muhammad Hayat
al-Kindi. Dari kedua guri inilah ia mendapat pelajaran tentang bermacam-macam
bid’ah dan bahayanya yang menyimpang dari ajaran Islam.
Muhammad bin Abdul Wahab melajutkan
belajar ke berbagai negeri, seperti Basrah (tinggal selama 4 tahun), Bagdad
(tinggal selama 5 tahun), Kurdistan (selama setahun), dan Hamadan (tinggal
selama 2 tahun). Kemudian, ia pergi ke Isfahan untuk mempelajari filsafat dan
tasauf. Setelah itu, ia pulang ke negerinya setelah singgah di Kota Qum.
2.
Gerakan
Pemberharuan Muhammad bin Abdul Wahab
Muhammad bin Abdul Wahab diasuh dalam
lingkungan penganut Mazhab Hambali, suatu aliran yang menganut paham salafiah.
Aliran salafiah adalah aliran yang menggunakan sikap, paham, dan amalan-amalan
ulama-ulama salaf (sahabat-sahabat Nabi saw yang saleh dan tabiin) sebagai
ukuran (atau dasar orientasi) dalam menilai murni dan tidaknya
pengalaman-pengalaman ajaran agama. Dalam menggunakan ukuran paham dan pengamalan
ulama-ulama salaf ini, Imam Ahmad bin Hambal merupakan tokoh yang paling gigih
dalam mempertahankan kesederhanaan dan pemurnian pengamalan ajaran-ajaran
Islam, terutama dalam bidang tauhid. Dengan demikian, dapatlah dikatakan bahwa
ia adalah wakil yang paling tegas dari ahli-hali sunah dalam mempertahankan
kemurnian akidah.
Melihat gerakan dakwahnya yang sangat
keras dalam membumikan kembali ajaran-ajaran Islam yang bersih dari syikir dan
bid’ah, seorang amir hari al-Hasan yang mengusai Uayainah segara memerintahkan
kepada amir Uyainah untuk membunuh Muhammad bin Abdul Wahab. Akan tetapi, amir
Uyainah tersebut akhirnya memilih jalan tengah, yaitu dengan diam-diam
memerintahkan Muhammad bin Abdul Wahab pergi ke Dar’iyah. Negeri ini agaknya
tertarik terhadap ajaran-ajarannya. Di Dar’iyah inilah usaha Muhammad bin Abdul
Wahab menunjukkan keberhasilannya secara baik. Bahkan, Muhammad bin Sa’ud yang
berkuasa di daerah itu akhirnya tertarik dengan ajarannya dan menjadi pendukung
setia serta berusaha melindunginya.
Pertemua Muhammad bin Abdul Wahab dan
Muhammad bin Sa’ud, yang pertama seorang ulama pembaru dan kedua penguasa
Negara, benar-benar merupakan perpaduan harmonis yang menguntungkan. Keduanya
dapat melahirkan semangat dan cita-cita baru. Akhirnya, lahirlah dua bentuk ideology
yang saling menunjang dan menggenapi, yaitu cita-cita menegakkan dan memurnikan
kemabali ajaran-ajaran Islam.
Usaha pemberharuan Muhammad bin Abdul
Wahab adalah suatu upaya untuk mengembalikan kehidupan umat sesuai dengan
kehidupan Nabi saw, dan sahabat-sahabatnya yang saleh. Mereka harus taat dan
patuh melakukan perintah-perintah dan hukum-hukum al-Qur’an dan sunah Nabi saw.
Segala bentuk kesyirikan dan bid’ah serta penambahan dari bentuk Islam pada
masa Nabi saw diberantas. Kultus terhadap orang-orang yang dianggap suci,
pengagungan terhadap kurburan, dan benda-benda yang dikeramatkan disapu bersih.
Tarekat-tarekat kesufian dilarang.
Paham dan gerakan Muhamman bin Abdul
Wahab di bidang akidah dan syariah adalah sebagai berikut:
a. Tauhid
adalah pemahaman tentang ketuhanan yang penting memadai sebagai jalan yang
mampu memurnikan akidah Islam yang dikehendaki Allah dan rasul-Nya.
b. Tidak
ada perkataan seorang pun yang patut dijadikan dalil agama Islam, melaikan
firman Allah dan sunah Rasulullah saw.
c. Taklid
kepada ulama tidak dibenarkan.
d. Pintu
ijtihad terbuka sepanjang masa dan tidak pernah terputus.
e. Syirik
dalam segala bentuk, khurafat[1]
dan takhayul harus dikikis habis.
f. Ia
menhendaki system pendidikan diubah dengan system dinamis dan kreatif.
3. Kerangka Pemikiran Muhammad bin Abdul Wahab
Pola (kerangka) pemikiran Muhammad bin
Abdul Wahab terhadap al-Qur’an dan sunah menyatakan bahwa wibawa keduanya
mutlak. Adapun akal hanya berfungsi sebagai instrument atau alat untuk memahami
maksud-maksud nas. Inilah yang disebut sebagi Pola Puritanis atau Salafiyah.
Berbicara masalah pola pemikiran
terhadap al-Qur’an dan sunah, kiranya ada yang perlu dipertanyakan, yaitu
khusunya yang menyangkut golongan Asy’ariah dan Maturidiah. Penggolongan
pemikiran mereka disebabkan penakwilan sifat-sifat Allah, seperti istawā dan
nuzūl. Sementaata itu, golongan salafiah mengetengahkan bentuk ketauhidan
yang mereka sebut tauhid asmā’ wa al-sifāt. Maksudnya, kita wajib
mengimani semua sifat dan asma Allah seperti yang telah ditentukan Rasulullah
saw, tanpa tasybih, takwil, dan ta’til. Tasybih adalah menyerupakan Allah dengan makhluk,
sedangkan takwil adalh memalingkan arti sifat-sifat Allah ke arti lain,
adapun ta’til adalah mengingkari sifat-sifat Allah.
Pemikiran Imam al-Asy’ari banyak
mempunyai titik kesamaan dengan pola piker golongan salafiah yang dipelopori
Imam Ahamad bin Hambal dan diikuti Muhammad bin Abdul Wahab. Muhammad bin Abdul
Wahab berpendirian tentang kemutlakan al-Qur’an dan sunah. Pendiriannya itu
merupakan pokok dari kehendaknya untuk mengembalikan ajaran Islam ke bentuk
ajaran pada masa Rasulullah saw dan sahabat-sahabat. Dengan kata lain, ia
berusaha mengajak kembali ke bentuk agama yang diamalkan ulama-ulama salaf.
Oleh karena itu, pola ini lazim disebut salafiah. Sementara itu, kaum
orientalis menyebutnya sebagai pola pikir tradisional.
Paham Wahabi hingga kini menjadi mazhab
resmi Kerajaan Saudi Arabia yang berpusat di Riyad. Pengaruh gerakan Wahabi ini
tidak terbatas di Jazirah Arab saja, tetapi sampai ke penjuru negeri Islam,
seperti:
a.
Di Nigeria dan
Sudan disebarluaskan Syaikh usman dan Fodio;
b.
Di Aljazair dan
Libia disebarluaskan Imam Sanusi;
c.
Di Mesir
disebarluaskan Syaikh Muhammad Abduh;
d.
Di Oman
disebarluaskan gerakan Biyadiyyah;
e.
Di India
disebarluaskan Sayyid Ahmad dengan gerakan Mujahidin;
f.
Di Minangkabau
disebarluaskan H. Miskin, H. Piabang, dan H. Sumanik dengan gerakan paderinya.
B. Gerakan Antiimperialesme Jamaluddin al-Afgani
Jamaluddin al-Afgani merupakan salah
satu pemberharu Islam yang sangat dikenal. Ia sangat gigih memperjuangkan Islam
meskipun menghadapi rintangan yang mengakibatkan kematiannya.
1. Sejarah Singkat Jamaluddin al-Afgani
Jamaluddin al-Afgani nama aslinya adalah
Muhammad Ibnu Safdar al-Husainy. Ia lahir pada tahun 1838 M di Kota Asadabad.
Kawasan distri Kabul, bagian timur Afghanistan. Ia wafat pada tahun 1897 M di
Iran dalam status tahanan politk.
Sejak kecil, ia sudah belajar membaca
al-Qur’an, bahasa Arab, Persia, Ilmu tafsir, imu hadis, tasawuf, dan filsafat.
Ia juga pernah menuntut ilmu ke Iran dan Irak, pusat perguruan Syiah. Selama
beberapa tahun, ia menjadi murid seorang sarjana syiah bernama Murtada
an-Nasary.
Pada usia 20 tahun, Jamaluddin al-Afgani
menjadi pembantu pangeran Muhammad Khan di Afghanistan pada tahun 1864 M, ia
menjadi penasihat Sher Ali Khan, kemudian ia diangkat menjadi perdana menteri
pada masa pemerintahan Muhammad ‘Azham Khan berkat kecerdasan dan
kepribadiannya yang menarik. Jamaluddin al-Afgani banyak memperoleh pengalaman
selam mengembara ke berbagai Negara, seperti ke India dan Mesir. Ia juga
menjadi dosen kaum intelektual di Universitas al-Azhar Mesir. Di antara
muridnya yang cukup terkenal adalah Muhammad Abduh dan Saad Zaglul.
2. Peranan Jamaluddin al-Afgani di Bidang Politik
Di kalangan umat Islam, Jamaluddin
al-Afgani lebih dikenal sebagai pemimpin pergerakan politik daripada sebagai
pemikir reformis dan modernisasi dalam Islam. Gerakan kesadaran yang dimulainya
mengandung watak intelektual, budaya, sosial, politik dan keagamaan. Jamaluddin
al-Afgani berkeinginan tinggi bahwa suatu saat Islam mampu membuka jalan dan
dapat membendung serta mengatasi pengaruh negative dari barat. Oleh sebab itu,
ia memilih jalan hidupnya sebagai politikus.
Jamaluddin
al-Afgani
1838
Lahir di Asadabad, Iran
1857
Tinggal di India
1864
Menjadi penasihat penguasa Afghanistan
1869
Kembali ke India
1871
Menetap di Mesir
1876
Terjun ke dunia politik
1879
Membentuk Partai Hizb al-Watan
1879
Keluar dari Mesir dan pindah ke perancis
1883
Mendirikan ‘Urwatul Wuṡqā bersama Muhammad Abduh
1889
Diundang untuk ke Persia
1892
Pergi ke Istambul
1897
Wafat di Istambul, Turki (9 Maret)
Keterlibatannya dalam politik,
memudahkan Jamaluddin untuk membangun hubungan akrab dengan beberapa pemimpin
Negara Islam dan non-Islam. Kesempatan baik ini digunakan Jamaluddin untuk
menyebarkan dan memperkenalkan pikiran dan ide-ide perjuangannya. Maksudnya
mencari dukungan orang-orang yang sepaham dan lebih simpati.
Menurut Harun Nasurtion,
aktivitas-aktivitas politik Jamaluddin al-Afgani sebenarnya didasarkan pada
ide-idenya tetang pembaruan pemikiran dalam Islam. Aktivitas politiknya timbul
sebagai implikasi dari aktivitas pembaruan pemikiran dalam Islam.
Murtada Mutahari, pemikir kontenporer
dari Iran, mengatakan bahwa politik Jamaluddin al-Afgani adalah sebagai
berikut:
a. Mengadakan
perjuangan melawan absolutism pemerintah
Jamaluddin al-Afgani berpendapat bahwa
suksesnya langkah tersebut sangat ditentukan peran aktif umat Islam dan
kesadaran terhadap hak-hak mereka yang diinjak-injak para penguasa (Barat).
Tugas awal yang harus dilakukan adalah mengukuhkan keyakinan bahwa perjuangan
politik merupakan kewajiban agama dan panggilan suci. Tugas ini menegaskan
perlunya penekanan hubungan antara agama dan politik. Dalam Islam, hubungan
antara agama dan politik bagaikan dua sisi mata uang yang tiak mungkin
dipisahkan.
b. Mengerjakan
ketertinggalan umat islam dalam pengetahuan, sains, dan teknologi modern
Langkah ini diambil Jamaluddin
al-Afgani dengan cara mendirikan sekolah
atau perguruan tinggi dan membentuk masyarakat ilmiah.
c. Mengembalikan
pemahaman umat Islam terhadap ajaran-ajaran sumber aslinya
Jamaluddin al-Afgani memasukkan langkha
ini agar umat Islam kembali pada al-Qur’an, sunah dan keteladanan para sahabat
pada permulaan Islam. Dengan demikian, praktik korupsi dan manipulasi dapat
dihilangkan.
d. Berjuang
melawan kolonialisme asing (Barat)
Langkah ini berdasarkan pada realita
bahwa Negara-negara Barat terlalu campur tangan terhadap urusan-urusan politik
Negara Islam. Negara-negara Barat secara eksploitatif telah menjajah umat
Islam, khususnya di bidang ekonomi, mereka mengeruk sumber-sumber kekuatan dan
kekayaan ekonomi Negara Islam. Bahkan, mereka memasukkan unsur-unsur kultur
barat ke dalam kultur kau muslmin. Menghadapi kenyataan ini, Jamluddin
al-Alfgani membakar semangat untuk mengenyahkan penjajahan Barat meskipun
dimusuhi penguasa Barat, akibatnya ia terpaksa harus berpindah-pindah dari
Mesir ke India, Iran, Hijaz, Yaman, Turki, Rusia, Jerman, Perancis, dan
Inggris.
e. Membangkitkan
slogan persatuan Islam
Jamaluddin al-Afgani mementingkan
langkah ini bagi umat Islam walaupun mereka berbeda mazhab atau aliran. Ia
tidak suka dengan istilah Sunni, Syi’ah, atau fanatisme pada sekte tertentu.
Jamaluddin al-Afgani sangat gigih memperjuangakan penolakannya terhadap paham
sekterianisme dan nasionalisme menurut konsep Barat. Kedua paham ini terbukti
merongrong ajaran dasar Islam. Oleh karena itu, ia berusaha mempersatukan
dengan satu tali pengikat yaitu agama Islam (Pan-Islamisme).
3. Konsep Pan-Islamisme Jamaluddin al-Afgani
Gerakan Pan-Islamisme didirikan oleh
Jamaluddin al-Afgani yang berpusat di Kabul, Afghanistan. Adapun tujuan
didirikannya gerakan Pan-Islamisme adalah untuk memajukan umat Islam,
menyatukan aliran modern, dan membentuk persatuan semua umat Islam di bawah
satu khalifah pusat, sebagaimana pada zaman khalifah-khalifah terdahulu.
Gerakan Pan-Islamisme yang dimotori
Jamaluddin al-Afgani terkenal sanat revolusioner dan antiimperialis. Oleh
karena itu, ia disebut seorang penggerak Islam pada abad ke-19.
Pokok
ajaran-ajaran Jamaluddin al-Afgani, antara lain:
a.
Menggugah rasa
solidaritas (ukhwah) mukmin seluruh dunia dan sebagai muktamarnya adalah ibadah
haji di Mekkah;
b.
Nasrani
sekalipun berbeda keturunan kebangsaan, ketika menghadapi Timur (Islam), dapat
bersatu untuk menghacurkan dunia Islam;
c.
Mengenyahkan
segala fanatisme golongan dan nasionalisme kebangsaan untuk menggalang kekuatan
guna mengusir segala bentuk imperilisme Barat;
d.
Bersatunya umat
Islam yang tidak mengenal suku bangsa akan menciptakan sesuatu peradaban yang
maju.
Apa yang diserukan Jamaluddin al-Afgani
ternyata disambut baik oleh tokoh-tokoh Pan-Islamisme. Tokoh-tokoh yang mucul
setelah Jamaluddin al-Afgani adalah sebagai berikut:
a. Sultan
Hamid II (1876) dari Turki mendirikan organisasi propaganda Pan-Islamisme
dengan Konstatinopel sebagai pusat.
b. Ali
Pasya dari Turki, seorang perintis Pan-Islamisme sesudah Jamaluddin al-Afgani.
Ia pernah mengadakan pertemuan dengan tokoh-tokoh militer Pan-Islamisme dari
dunia Islam di istananya.
c. Aga
Khan, seorang tokoh Islam liberalis dari India. Ia mengatakan, “ada segi
Pan-Islamisme yang benar dan sah, yaitu teori ukhwah islamiaha dan persatuan
umat Nabi Muhammad saw, persatuan rohani dan kebudayaan Islam harus tumbuh.
Pengikut Nabi Muhammad saw, menjadikan hal itu sebagai pokok sendi kehidupan
rohani.”
d. Muhammad
Abduh dari Mesir lebih menitik beratkan pendidikan Islam, sebuah upaya untuk
nejadikan solidnya sebuah pergerakan.
e. Muhmmad
Iqbal dari Pakistan dikenal sebagai seorang filsuf dan penyair Islam modern
yang temasyhur.
f. Sayyid
Ahmad Khan dari India, sebagai pelopor pergerrakan modernisasi dalam Islam dari
Aligarh University di India, dekat New Delhi.
4. Peranan Jamaluddin al-Afgani pada Penerbitan ‘Urwatul
Wuṡqā
Karena persoalan pilitik di Mesir,
Jamaluddin al-Afgani akhirnya pergi ke Paris (Prancis). Di Paris inilah
akhirnya ia mendirikan sebuah organisasi bernama ‘Urwatul Wuṡqā yang
beranggotakan muslim militant dari India, Mesir, Syiria, dan Afrika Utara. Organisasi
tersebut bertjuan memperkuat persaudaraan Islam, dan mendorong umat Islam
mencapai kemajuan.
Oraganisasi ‘Urwatul Wuṡqā
menebitkan majalah dalam bahasa arab yang bernama ‘Urwatul Wuṡqā. Karena
isi gagasannya dianggap terlalu keras mengancam kekuasan penjajah Barat,
majalah tersebut akhirnya dibredel dan dilarang beredar.
5. Meneladani Sikap Jamaluddin al-Afgani
Nama Jamaluddin al-Afgani sering
diindentikan dengan dua gerakan yang secara gencar ia serukan. Pertama adalah
nasionalisme yang dikampanyeannya, terutama di Mesir dan India untuk menentang
Pan-Islamisme. Kedua adalah Pan-Islamisme atau persatuan Negara-negara Islam.
Kejayaan melalui tersatuan inilah salah satu kunci pemikiran al-Afgani.
Menurutnya, persatuan termasuk salah satu tiang agama Islam. Untuk itu ia
mengimbau Negara-negara Islam agar bersatu.
Sikap Jamaluddin al-Afgani sebagai
seorang nasionalis, pemikir, dan pembaru patut kita teladani. Setidaknya, ada
tiga faktor, yaitu:
a. Seorang
penggagas Pan-Islamisme, nasionalisme, anti-kolonialisme dan modernisme Islam;
b. Seorang
orator dan pembicara yang kharismatik;
c. Sering
berkunjung ke Negara-negara Islam, yang memungkinkan untuk menyebarkan
gagasannya kepada orang banyak;
d. Menyerukan
persatuan dan kesatuan sebagai sendi kekuatan umat islam;
e. Menafsirkan
kembali nilai-nilai Islam.
C. Gerakan Pembaruan Muhammad Abduh
Muhammad Abduh merupakan salah satu
tokoh pembaru Islam. Ia adalah murid dari Jamaluddin al-Afgani. Dalam
perjuangannya, ia banyak memiliki kesamaan dengan gurunya.
- Sejarah Singkat Muhammad Abduh
Muhammad Abduh lahir di Mesir tahun 1949
M. Ayahnya Abduh Hasan Khairullah, bersal dari Turki, sedangkan ibunya seorang
Arab yang silsilahnya sampai kepada suku Umar bin Khattab.
Muhammad Abduh termasuk anak yang
cerdas, meskipun berasal dari keluarga petani miskin. Sejak kecil ia tekun
belajar. Ia melanjutkan studinya di al-Azhar.
Ketika di al-Azhar, ia bertemu dengan
Jamaluddin al-Afgani yang datang dari mesir. Ia sangat terkesan dengan
pemikiran-pemikiran Jamaluddin al-Afgani. Setelah menamatkan studinya di
al-Azhar tahun 1977 M, ia mengajar di sana, kemudian Darul Ulum serta di
rumahnya. Selain itu, ia juga aktif menulis di al-Ahram.
Muhammad
Abduh
1849
lahir di sebuah desa dekat delta Sungai Nil, Mesir
1862
ke tanta untuk belajar agama kepada Syaikh Ahmad
1866
ke Kairo untuk belajar di al-Azhar
1871
bertemu dengan al-Afgani
1882
meraih gelar sarjana dan mengajar di al-Azhar
1878
mengajar di Darul Ulum
1882
ditangkap, dipenjarakan, lalu dibuang ken luar negeri
1884
bersama al-Afgani mendirikan dan menerbitkan ‘Urwatul Wuṡqā
1885
tinggal di Beirut dan mengajar di sana
1888
kembali ke Mesir
1894
menjadi anggota Majelis A’la (dewan administratif) al-Azhar
1899
menjadi mufti dan anggota Majelis Syura (dewan legislative) Mesir
1905
meninggal dunia.
- Peranan Muhammad Abduh di Bidang Politik
Akibat ketidaksenangan dan perlawanannya
terhadap penguasa, ia dan Jamaluddin al-Afgani diusir ke paris. Di kota ini,
mereka mendirikan majalah ‘Urwatul Wuṡqā. Setelah selama setahun di
Perancis. ia diizinkan kembali ke Mesir dan kemudian diangat menjadi rector
al-Azhar, Kairo.
Sebagai rector, ia memasukkan kurikulum
filsafat dalam pendidikan di al-Azhar. Upaya ini dilakukan untuk mengubah cara
berfikir orang-orang al-Azhar. Usahanya ini mendapat tantangan keras dari para
syekh al-Azhar lainnya yang masih berpikiran kolot. Oleh karena itu, usaha
pembaruan yang dilakukannya lewat pendidikan di al-Azhar tidak berhasil.
Meskipun begitu, ide-ide pembaruan yang dibawa Muhammad Abduh membawa dampak
positif bagi perkembangan pemikiran dalam Islam.
- Pemikiran Pembaruan Muhammad Abduh
Diantara ide-ide pembaruan yang
dicanangkan Muhammad Abduh, antara lain:
a. Penghapusan
paham jumud yang berkembang di dunia Islam saat itu;
b. Pembukuan
pintu ijtihad sebagai dasar yang penting dalam menginterprestasikan kembali
ajaran Islam;
c. Kekuasaan
Negara harus dibatasi konstitusi yang telah dibuat Negara bersangkutan;
d. Memodernisasikan
system pendidikan Islam di al-Azhar.
- Menilai Pemikiran Pmebaruan Muhammad Abduh
Syaikh Muhammad Abduh adalah salah
seorang murid Jamaluddin al-Afgani yang cerdas dan cemerlang. Berbeda dengan
sang guru, ia menyusun teori aktualisasi dan realitas Islam, bukan dengan
terlebih dahulu merebut kekuasaan politik dan melakukan kontrol sosial. Dalam
pandangan Abduh, untuk melaksanakan konsep seperti di atas, hal pertama yang
harus dilakukan dunia Islam adalah menyadarkan kembali pada kemampuan dan
kebebasan pemikiran rasional manusia di kalangan masyarakat Islam. Cara dengan
menyadarkan dan membangkitkan semangat berpikir masyarakat Islam melalui
pendidikan dengan mengorbankan semangat ijtihad, sebagaimana jalan yang pernah
ditempuh Ibnu Taymiyah.
Muhammad Abduh dengan semangat baja
berhasil memasukkan mata kuliah filsafat pada kurikulum Univesitas al-Azhar di
Kairo, Mesir. Pandangan Abduh tersebut akhirnya membangkitkan kesadaran
perlunya lembaga pendidikan sebagai wahana peningkatan kemampuan pemikiran
rasional sebagai salah satu factor berijtihad. Usaha Abduh akhirnya mampu
melahirkan pemikiran-pemikiran kreatif dari kalangan masyarakat Islam pada
periode generasi sesudahnya. Dari kuliah
dan tulisan Muhammad Abduh dapat dilihat kecenderungannya untuk menyajikan
nilai-nilai modern yang intelektualistik.
Lebih jauh, Muhammad Abduh berpandangan
bahwa Islam adalah satu-satunya agama yang konsisten mengajurkan penggunaan
kemampuan manusia yang paling mapan dan objekti, yaitu kemampuan berfikir logis
dan rasional. Konsepsi metodologis untuk mengembangkan pemikiran dan kemampuan
manusia yang demikian itu baginya adalah filsafat. Menurut pandangan dan pemikiran
Muhammad Abduh. Islam dan iman sebagai petunjuk Allah tidak mungkin
bertentangan. Iman merupakan prinsip dasar eksistensi Islam.
Sejalan dengan metodoligi filosofinya,
ia mengatakan bahwa eksistensi Islam secara sosiologis semata-mata menjadi tanggung
jawab manusia. pernyataan Muhammad Abduh bahwa al-Islam Mahjubun
bil-Muslimin, di mana realitas umat Islam tidak identic dengan
kecemerlangan namanya. Hal itu merupakan konsep filosofisnya tentang perlunya
peningkatan kemampuan pemikiran rasional manusia dalam suasana merdeka dan
bebas aktif. Tujuannya untuk memperoleh hidayah dan memahami nilai ajaran
Islam. Sayangnya, konsepsi itu tidak banyak dimengerti dunia Islam sendiri
secara lebih tuntas.
Dengan ijtihad dan melalui penerapan
metodologi filosofis, kecemerlangan dan ketinggian umat Islam akan dapat
dipahami dan dimengerti manusia. dengan metodologi tersebut misteri ajaran
Islam dapat diuraikan dalam dunia kemanusiaan secara sosiologis. Dengan
demikian, ajaran Islam dapat diaktualisasikan dan direalisasikan secara
fungsional sebagai petunjuk dan pedoman manusia. akhirnya, manusia dapat menata
dan memperoleh kebahagiaan hidup.
Buku Muhammad Abduh yang terkenal dan
berjudul Risalah at-Tauhid, memberi bukti kemampuan pemikiran rasional
dan kritisnya sebagai ahli dalam ilmu kalam. Misteri hidayah Allah swt adalah
sesuatu yang dapat dan harus dipahami manusia secara rasional. Berbagai
pemikiran rasional, kritik, dan metodologi filosofis Muhammad Abduh harus
dipahami sebagai upaya kemanusiaan yang bebas dalam konteks memahami, mengerti
dan mengurai misteri hidayah Allah swt.
D. Gerakan Pembaruan Muhammad Rasyid Rida
Muhammad Rasyid Rida adalah salah satu
seorang murid Muhammad Abduh, seperti pendahulunya, ia pun melakukan pembaruan
dalam pemikiran Islam.
1. Sejarah singkat Muhammad Rasyid Rida
Rasyid Rida dilahirkan di al-Qalamun di
pesisir Laut Tengah pada tanggal 23 september 1865 M. pendidikannya bermula
dari Madrasah al-Kitab di al-Qalamun dan dilanjutkan ke Madrasah Rasyidah di
Tripoli. Disini ia belajar nahwu, sharaf, berhitung, dasar-dasar geografi,
akidah, ibadah, serta bahasa Arab dan Turki. Akan tetapi, ia tidak betah
sekolah di sini karena bahasa pengantarnya bahasa Turki.
2. Peranan Muhammad Rasyid Rida dalam Pengembangan
Pemikiran Muhammad Abduh
Rasyid Rida melanjutkan pendidikan
tingginya di al-Azhar tahun 1989 M dan berguru kepada Muhammad Abduh. Bersama-sama Abdu, Rasyid
Rida menerbitkan majalah al-Manar. Majalah ini memiliki tujuan yang sama
dengan ‘Urwatul Wuṡqā, di antaranya adalah pembaruan dalam bidang agama,
sosial, ekonomi, memberantas khufat dan bid’ah, menghilangkan paham fatalism,
serta paham-paham yang dibawa tarekat. Ia juga meminta gurunya, Muhammad Abduh
untuk menulis tafsir al-Qur’an secara modern. Kemudian tafsir itu di kenal
dengan al-Manār. Tafsri al-Manār ini disususn Rasyid Rida berdsarkan
caramah-ceramah Muhammad Abduh. Karena Abduh wafat sebelum menyelesaikan tafsir
seluruh ayat al-Qur’an, Rasyid Rida kemudian menyelesaikannya.
3. Pemikiran pembaruan Muhammad Rasyid Rida
Di antara ide-ide pemikiran pembaruan
Muhammad Rasyid Rida adalah sebagai berikut:
a. Sikap
aktif dan dinamis di kalangan umat.
b. Umat
Islam harus meninggalkan sikaf fanatisme (taasubiyah).
c. Akal
dapat dipergunakan untuk menafsirkan ayat atau hadis dengan tidak meninggalkan
prinsip umum.
d. Umat
Islam harus menguasai sains dan teknologi jika ingin maju.
e. Kemundururan
umat islam disebabkan banyaknya unsur bidah dan khurafat yang masuk ke dalam
ajaran Islam.
f. Kebahagian
di dunia dan di akhirat diperoleh melalui hukum Islam yang diciptakan Allah
swt.
g. Perlunya
menghidupkan kembali system pemerintahan khalifah.
h. Khalifah
adalah penguasa di seluruh dunia Islam yang mengurusi bidang agama dan politik.
i.
Khalifah
haruslah seorang yang mujtahid yang dibantu ulama dalam menerpkan
prinsip-prinsip hukum Islam dengan tuntunan zaman.
TELAAH
MATERI
A. Muhammad bin Abdul Wahab
1. Biografi
Beliau adalah Muhammad bin Abdul Wahhab
bin Sulaiman bin Ali bin Muhammad bin Ahmad bin Rasyid bin Buraid bin Muhammad bin
Buraid bin Musyarrof bin Umar bin Mu’dhad bin Rais bin Zakhir bin Muhammad bin
Alwi bin Wuhaib bin Qosim bin Musa bin Mas’ud bin Uqbah bin Sani’ bin Nahsyal
bin Syaddad bin Zuhair bin Syihab bin Rabi’ah bin Abu Suud bin Malik bin
Hanzhalah bin Malik bin Zaid Manah Ibni Tamim bin Mur bin Ad bin Thabikhah bin
Ilyas bin Mudhar bin Nizar bin Ma’ad bin Adnan. Adapun ibu beliau adalah Bintu
Muhammad Azaz Al-Musyarrofi Al-Wuhaibi At-Tamimi.[2]
Muhammad Bin Abdul Wahhab dilahirkan di
Nejed, tahun 1703 Masehi. Pendidikannya dimulai di Madinah yakni berguru pada
ustadz Sulaiman al-Kurdi dan Muhammad Hayat al-Sind. Syekh Muhammad bin Abdul
Wahhab adalah pendiri kelompok Wahabi yang mazhab fikihnya dijadikan mazhab
resmi kerajaan Saudi Arabia, hingga saat ini.[3]
2. Gerakan Wahabi
Wahabiah adalah suatu gerakan (revolusi)
akidah murni yang sama sekali jauh dari unsur politik yang digerakkan oleh
Muhammad bin Abdul Wahab di tanah Najed dengan bantuan keluarga Amir Sa’ud,
pendiri kerajaan Arab Saudi sekarang. Karena revolusi itu digerakkan oleh Ibnu
Abdul Wahab, maka dinamailah Wahabi.
Sejak Revolusi Wahabi (1143 H) sampai
saat ini nama Wahabi ialah semata-mata untuk memperbaiki akidah umat Islam yang
telah kotor oleh pelbagai bid’ah, khurafat (takhayul). Atau dengan kata lain
untuk memurnikan kembali akidah ahlus sunnah waljama’ah, menurut Mazhab
Salfiah, seperti yang dikembangkan oleh Imam Ahmad bin Hambal (169-241 H) dan
Ibnu Taimiyah (661-728 H). untuk mencapai tujuan tersebut, maka digerakkanlah
suatu revolusi yang kemudian dikenal Revolusi Wahabi (1143-1205 H).
Sebenarnya kaum wahabi termasuk satu
kaum yang sangat berjasa terhadap kemajuan Islam. Mereka berani menegakkan
sunnah di saat-saat orang takut menegakkannya. Kalau kita ingin melihat kaum
wahabi dengan kacamata insaf dan objektif, bukan kacamata ta’asubil ‘a’ma
(fanatik buta), lihatlah Negara Islam di zaman
modern ini yang mampu memberlakukan hukum Islam 100% bagi warga
negaranya. Bandingkan bagaimana aman dan nyamannya para jamaah haji era Wahabi
berkuasa di tanah Hijaz di bawah kerajaan keluarga al-Saud (Saudi) dengan era
sebalumnya di bawah pemerintahan Turki Utsmani.
Siapa pun tidak ada yang menutup matanya
meliha keberhasilan kaum Wahabi dalam masalah mempersatukan umat Islam jamaah
haji di tanah suci. Apabila waktu salat lima waktu tiba, semua jamaah
menunaikan salat di bawah komando seorang imam. Padahal berates-ratus tahun
sebelumnya di Masjidil Haram itu masing-masing mazhab sembahyang dengan imam
sendiri-sendiri. Karena mereka menganggap tidak sah beriman kepada orang yang
berbeda mazhab. Yang bermazhab Syafi’I hanya boleh mengikuti imam yang
bermazhab Syari’I pula. Juga dengan mazhab yang lainnya. Tadinya di Masjidil
Haram diadakan empat kali azan dalam satu waktu, yaitu masing-masing di makam
Hanafi, Makam Maliki, Makam Syafi’I, dan makam Hambali, sesuai dengan pengikut
mazhab Islam yang empat. Oleh Wahabi azan empat kali dihilangkannya dalam satu
waktu dan digantikannya denga sekali azan saja untuk semua, sebagaimana seorang
imam saja utnuk diikuti oleh semuanya.
Tidak sampai di batas itu saja kiprah
kaum Wahabi dalam pembenahan Islam. Hamper semua aspek keislaman menjadi
perhatian mereka, terutama sekali dalam hal akidah, lalu syari’ah, dan
muamalah.
Sangat kita sesalkan bahwa sekarang
masih ada umat Islam yang masih menganggap Wahabi sebagai golongan khawarij
(ahli bid’ah). Padahal, justru merekalah yang menumpas kaum khawarij Najed
sampai ke akar-akarnya.[4]
3. Pemikiran Muhammad bin Abdul Wahab
Pemikiran Muhammad bin Abdul Wahhab
didasarkan atas ajaran-ajaran Syekhul Islam, Ibnu Taimiyah dan mazhab Hambali.
Prinsip-prinsip dasar ajaran tersebut adalah:
a.
Ketuhanan Yang
Esa dan mutlak (karena itu penganutnya menyebut dirinya dengan nama al-Muwahhidun).
b.
Kembali pada
ajaran Islam yang sejati, seperti termaktub dalam Al-Qur`an dan Hadits.
c.
Tidak dapat
dipisahkan kepercayaan dari tindakan, seperti sholat dan beramal.
d.
Percaya bahwa
Al-Qur`an itu bukan ciptaan manusia.
e.
Kepercayaan yang
nyata terhadap Al-Qur`an dan Hadits.
f.
Percaya akan
takdir.
g.
Mengutuk segenap
pandangan dan tindakan yang tidak benar.
h.
Mendirikan
Negara Islam berdasarkan hukum Islam secara sempurna.[5]
B.Jamaluddin Al-Afghani
“Telah sampai
kepadaku (Sultan Hamid II) sebuah tulisan yang dipersiapkan oleh Kementerian
Luar Negeri Inggris tentang seorang “pelawak” yang bernama Jamaluddin
al-Afghani. Inggris mengklaim bahwa orang tersebut bersama dengan Blant telah
membuat pernyataan untuk menjauhkan Khilafah dari bangsa Turki. Dia juga
mengusulkan kepada Inggris untuk segera mengumumkan Gubernur Makkah, Syarif Husain,
sebagai Khalifah bagi kaum Muslim. Aku sendiri (Sultan Hamid II) sangat
mengenal Jamaluddin al-Afghani. Dia tinggal di Mesir dan dia adalah seorang
manusia yang berbahaya. Suatu saat dia mengusulkan kepadaku –dia menamakan
dirinya sebagai al-Mahdiyah– bahwa dia akan menggerakkan seluruh kaum Muslim
Asia Tengah. Aku tahu bahwa dia tidak akan mampu melakukannya. Dia adalah kaki
tangan Inggris, dan sudah pasti Inggris telah mempersiapkan orang tersebut
sebagai sumber informasinya. Aku menolak usulannya, maka dia pun bersekutu
dengan Blant.
Aku mengundang
dia ke Istambul melalui Ubay al-Huda Shayyadi Halabiy yang memperoleh
kedudukanb terhormat di setiap negeri Arab. Baik Munif Pasha (pelindung
sebelumnya bagi al-Afghani) maupun ahli syair Abdul Haq Hamid segera memberikan
bantuan kepadanya. Jamaluddin al-afghani datang ke Istambul dan aku tidak
pernah membiarkannya untuk ke luar lagi dari situ.”[6]
Ada dua versi
tentang al-Afghani. Pertama, bahwa al-Afghani ingin mengembalikan lagi
negara Syi’ah di Mesir. Dan demi kepentingan itu pula dia sengaja
menyembunyikan kesyi’ahannya, lantas mengaku-ngaku memiliki pertalian darah (nasab)
dengan Ahl al-Bait..
Kedua, pandangan
yang menyatakan bahwa, sebenarnya al-Afghani tidak terikat dengan mazhab
tertentu. Dia bukan sedang mengusung berbagai mazhab, baik Sunni maupun Syi’ah.
Tapi dia tengah menghimpun semua agama itu sendiri. Sebagai bukti lain guna
menopang sudut pandang itu, dikemukakan pula tentang bergabungnya al-Afghani
dalam kelompok Free Masonry (Masuniah), yang tidak membeda-bedakan
agama. Alasan lainnya lagi, adalah pernyataan yang bersumber dari al-Afghani,
pada saat belakangan, mengenai kebenaran Islam. Yaitu ide yang menunjukkan
bahwa ia tidak memandang Islam sebagai agama terakhir dan penutup, atau bahwa
Islam itu sungguh nyata kebenarannya, dan agama selain Islam adalah tidak sah (batil).
Buktinya, antara
lain, ketika al-Afghani menjawab tulisan Ernest Renan yang menuduh Islam
sebagai biang kerok perpecahan di kalangan umat Islam, dia (al-Afghani) justru
mendukung dan menguatkan opini itu. Dia mengatakan: “Pada dasarnya, agama Islam
itu berusaha menjerat ilmu pengetahuan serta mecekik perkembangannya. Islam itu
menghalangi seluruh kemajuan, sehingga membendung gerakan pemikiran dan
(pembaharuan) filsafat. Katanya lagi: “Islam sebenarnya, hanya memperlambat
laju perkembangan pengetahuan ...-begitu juga agama-agama lain-, semua tidak
menghendaki kemajuan untuk selamanya.”
Alasan lebih
lanjut, seperti diuraikan Fahd ar-Rumi,
bahwa: “Perpaduan Yudeo-Kristiani telah menyelimuti diri al-Afghani sejak
awalnya; Salim Naqqasy, seorang anggota Free Masonry dari golongan Kristen
Syam; dan Ishaq, sastrawan yang paling getol mempropagandakan Free Masonry …
dan yang paling banyak mempengaruhi kepribadiannya, dari pihak Kristen, adalah
George Chotgy. Dari pihak Yahudi, Harun, dokter keluarganya. Pada saat
pemakamannya, tidak ada seorangpun yang menghadirinya kecuali Chotgy dan Harun.
Konon ketika berkunjung ke Mesir, ia tinggal di kuil Yahudi.
Alasan-alasan tadi membuktikan, ternyata
al-Afghani menawarkan dan mengajukan konsep “pemikiran oriental” hanyalah untuk
mengantisipasi “penjajahan barat”. Tentang persoalan keagamaan, al-Afghani tidak menaruh minat serius, bahkan tidak
memperdulikannya, kecuali sebatas yang diperlukan untuk menopang pemikirannya.
Hukum Islam yang ada di negeri-negeri kaum Muslim dan keterikatan mereka dengan
syariat Islam juga tidak menarik perhatian al-Afghani. Bahkan ia, seperti
sebelumnya, memandang Islam hanya sebagai bagian dari agama-agama tiran yang
mengekang kebebasan. Yang dimaksudkan adalah kebebasan berpikir, yang
disebutnya sebagai “filsafat”.[7]
Selama ditahan
di India, Jamaluddin al-Afghani (1838-1897) berkenalan dengan Sayyid Ahmad Khan
dan dalam majalah al-Urwah al-Wusqa ia mengatakan:
Para penguasa Inggris melihat dalam diri Sayyid Ahmad
Khan satu alat yang berguna dalam mematahkan semangat kaum muslimin. Karena
itulah penguasa Inggris menyanjung dan menghormatinya serta membantu Sayyid
Ahmad Khan dalam membangun satu perguruan di Aligarh dan dinamakannya sebagai
perguruan muslim. Sikap mereka itu dapat dikatakan sebagai suatu perangkap
untuk menjebak anak-anaknya, para pengikut agama serta menyebarkan ide-ide
kekafiran di antara kaum muslimin. Materialis seperti Sayyid Ahmad Khan bahkan
lebih jelek bila dibandingkan materialisnya orang-orang Barat yang telah
meninggalkan agama mereka, namun mereka itu masih tetap berpegang teguh pada
jiwa patriotismenya dan tak surut satu pun usaha mereka itu dalam
mempertahankan tanah airnya. Tetapi Sayyid Ahmad Khan dan teman-temannya
mewakili suatu kelompok dimana kelaliman asing itu sebagai hal yang dapat
diterima.[8]
C. Muhammad Abduh
Syekh Muhammad
Abduh lahir pada tahun 1849 di sebuah desa agraris. Orang tuanya pemeluk Islam
yang taat dan berkarakter meskipun bukan dari kalangan terdidik. Dia memperoleh
pendidikan pertama kali di sebuah sekolah yang diselenggarakan di masjid.
Setelah belajar membaca dan menulis, ayahnya mengirim kepada seorang hafidzh
(orang yang hafal al-Qur’an) untuk belajar al-Qur’an. Sampai umur 12 tahun dia
telah berhasil menghafal al-Quran secara komplit. Tahun berikutnya, keluarganya
mendidik sendiri di sekolahan dalam masjid, tetapi anak tersebut merasa kecewa
dengan metode pengajaran disana. Setelah yakin bahwa ia tidak akan mendapatkan
manfaat dari sekolah macam itu, ia lari kembali ke desa asalnya dan tidak
pernah mau membaca buku-buku lain. Ketika umur 16 tahun, ia menikah sambil
menggarap ladang sebagaimana ayahnya. Tetapi takdir menghendaki lain. Salah
seorang saudara neneknya tertarik dan kemudian memperkenalkan ajaran tasawuf
kepadanya. Anak itu menjadi terpikat dengan tasawuf dan menjadikannya sebagai
aktivitas kehidupan sehari-harinya. Diperkuat dengan minatnya yang baru itu,
dia memutuskan untuk kembali ke Tanta meneruskan pelajarannya. Dia menjadi
murid yang menonjol dan dalam waktu yang singkat memperoleh beasiswa di
Al-Azhar.
Syekh Muhammad
Abduh merasa kecewa sebagaimana di Tanta. Dia memandang metode pengajarannya
membosankan, beku dan dogmatis. Dia menyerang cara kajian buku-buku di
Al-Azhar, yang lebih banyak ditujukan untuk membahas tafsiran-tafsiran orang
daripada teks aslinya. Hatinya tergugah untuk menghilangkan belenggu pemikiran.
Dalam kekecewaan seperti itu ia terjun ke dunia tasawuf. Hampir saja ia
kehilangan semangat hidup, tetapi tiba-tiba kemudian bertemu dengan Jamaluddin
al-Afghani, seorang pribadi dinamis dan bersemangat, menggairahkan kembali
inspirasi Abduh untuk bangkit dan segera keluar dari apatisme untuk membangun
kembali kejayaan Islam. Tetapi berbeda dengan Jamaluddin, Abduh nampaknya yakin
bahwa usaha itu lebih tepat melalui pendidikan daripada revolusi politik.
Tahun 1877 Syekh
Muhammad Abduh lulus dari Al-Azhar dengan gelar Alim. Tak lama kemudian
mengajar disana dan merancang gagasan-gagasan pembaharuan pendidikan. Dengan
keyakinannya bahwa pendidikan dan sains barat modern adalah kunci kemakmuran
dan kejayaan Eropa, dia memandang perlu digalakkan usaha-usaha pengembangan
sistem pendidikan baru ke seluruh pelosok Mesir dan negeri-negeri Islam yang
berdekatan agar menjadi negara besar dan kuat. Karena Al-Azhar dipandang pusat
pemikiran dan pendidikan dunia Islam, ia yakin bahwa jika Al-Azhar berhasil
dimodernisasi, Islam akan menjadi lebih dinamis dan segar. Ia menyerang sistem
pengajaran tradisional yang tidak sesuai dengan tuntutan kehidupan modern, para
syekh dan ualam yang apriori terhadap persoalan-persoalan dunia modern.
Syekh Muhammad Abduh memang seorang pengagum
peradaban Eropa. Berulang
kali pergi ke Inggris dan Perancis untuk mencari inspirasi. Ia mengatakan “Bila
pergi ke Eropa, saya tidak pernah gagal mendapatkan inspirasi untuk merubah
bangsaku menuju sesuatu kehidupan yang lebih baik.” Apabila semangatnya menurun
karena hebatnya tantangan, dia kembali ke Eropa selama satu atau dua bulan.
Ide-ide baru diperolehnya kembali dan jalan menuju cita nampaknya lebih cerah.
Pada tanggal 3
Juni 1899, dengan dukungan Inggris, Muhammad Abduh diangkat sebagai Mufti
Mesir. Karena kedudukan itu, fatwa-fatwanya tentang berbagai masalah dianggap
punya otoritas. Ia terus memegang jabatan itu hingga wafat. Ia bermaksud
menafsirkan syariat Islam dengan satu cara yang bebas dari pengaruh penafsiran
klasik dan berusaha membuktikan bahwa Islam dan kebudayaan Barat moderen tidak
bertentangan. Akibat kerjasama Abduh dengan tujuan-tujuan imperialisme Inggris
dan usaha memadukan Islam dengan kehidupan moderen, ternyata mendatangkan
malapetaka yang tidak kecil. Ia membuka lebar-lebar pintu pembaratan
(weternisasi) bagi generasi sesudahnya. Qasim Amin, Ali Abdurraziq, Muhammad
Kurd Ali dan Dr. Thaha Husain telah membawa aliran-aliran liberal untuk
mendukung logika-logika mereka. Memang sangat menyedihkan bahwa hanya satu di
antara teman-temannya yang tidak terpedaya, yaitu kawan akrab dan sekaligus
murid setianya, Rasyid Ridla (1865-1935). Rasyid Ridla mulai karirnya dengan
mengedit dan mengulas tulisan dan pikiran Abduh, tetapi setelah beberapa tahun
berlalu, ekkeliruan argumentasi gurunya menjadi jelas baginya. Beda dengan
Muhammad Abduh, Rasyid Ridla tidak merindukan peradaban Barat moderen. Sampai
menjelang akhir hayatnya, ia mencapai konsepsi Islam yang tegas dan utuh,
menyangkal hampir semua apa yang pernah diajarkan oleh gurunya.[9]
Muhammad Abduh
merupakan murid al-Afghani yang paling cemerlang. Ia berkenalan dengan
al-Afghani pada usia relatif muda, sekitar dua puluh dua tahun. Sehingga,
gagasan-gagasan dan ide-ide al-Afghani dapat menghunjam serta merasuk benaknya
yang masih kosong, dan melekat secara permanen. Kemudian, Abduh pun menjadi
hambanya yang setia, menjiplak ide pemikiran tersebut dan gemar menyebarkannya
pada orang-orang di sekitarnya. Muhammad Abduh menyerap ide-ide dari sang guru,
al-Afghani, meyakini kebenarannya, dan tidak pernah menentang atau meragukannya
sama sekali. Ini, bagi Abduh merupakan sumber rujukan utama. Yang mengherankan ialah anjuran Abduh kepada
penguasa waktu itu, yang secara rasional keagamaan amat lemah, yaitu supaya
meminta bala bantuan kepada musuhnya –juga musuh mereka bersama (kolonial Inggris,
yang Kristen)– dalam rangka memadamkan pemberontakan, demi melanggengkan
kekuasaan dan kursi singgasananya.
Tentu saja,
Inggris, yang sudah lama berambisi dan mengintai kesempatan langkan seperti
ini, langsung menyambutnya dengan penuh antusias. Mereka langsung mengirimkan
tentaranya ke Mesir, yang kemudian berhasil melumpuhkan sekaligus menghukum
para pemberontak pimpinan Arabi. Kedudukan Inggris di Mesir pun menjadi semakin
mantap. Dan Inggris tidak keluar dari wilayah territorial Mesir, sampai lebih
dari tujuh puluh tahun. Muhammad Abduh akhirnya ditangkap, setelah
pemberontakan Arabi dapat dipadamkan. Alasannya, Abduh terbukti secara
meyakinkan bahwa dia telah terlibat bersama-sama Arabi, dan turut membantu
pemberontakan. Maka secara hukum, Abduh dijebloskan ke dalam penjara. Berikutnya,
Abduh diasingkan ke luar wilayah Mesir. Selain Abduh, mereka yang bersekongkol
dalam pergolakan juga memperoleh hukuman serta balasan yang setimpal.
Inggris
mengizinkan Abduh kembali ke Mesir dari pengasingannya, setelah yakin bahwa dia
sudah menanggalkan ide-ide revolusionernya, seraya mengadopsi
pemikiran-pemikian modernisme dan mau bekerja sama dengan Inggris, yang bisa
menguntungkan mereka. Adapun gagasan-gagasan yang ingin ditawarkan oleh
kolonialis Inggris, agar bisa diterima di tengah-tengah kaum Muslim, melalui
kaum modernis yang dikomandoi Syeikh Muhammad Abduh, diantaranya:
1. Pendekatan
antara kaum Muslim dengan orang-orang kafir. Usaha Abduh dalam masalah ini
sudah dimulai sejak masa pengasingannya di Beirut, ketika dia mendirikan
Himpunan Lintas Agama. Abduh menegaskan: “Kami sengaja melansir berita bagus,
bahwa telah tiba saatnya memancarkan cahaya benderang pengetahuan secara
sempurna, untuk menghalau kegelapan dan kebodohan. Sehingga kedua agama besar:
Kristen dan Islam, bisa saling mengenal dan mengakui eksistensi masing-masing;
bisa saling berjabat tangan dengan penuh kasih sayang, serta saling berpelukan
dalam damai.”
2. Melumpuhkan
dan mematikan ruh jihad dalam masyarakat Islam. Yang terpenting bagi
Abduh dan siapapun yang mengikuti jejaknya dari kaum modernis adalah “hidup
damai tenteram”, meski bangsanya sedang terjajah dan diperbudak oleh golongan
Salib. Ketika kaum Muslim sedang membutuhkan bantuan serta dukungan untuk
berjihad melawan kaum kafir kolonialis,
yang merupakan perkara yang diwajibkan secara syar’i, Abduh justru merintangi
dan menghalanginya dengan melemahkan semangat jihad mereka. Bahkan, dia rela
menjadi seorang Musailamah[10].
3. Menyerukan
patriotisme-nasionalis, serta mengasingkan Mesir dari dunia Islam. Pada posisi
seperti itulah, Muhammad Abduh melontarkan banyak sekali pernyataan yang
bertumpu pada pemikiran jahiliyah ini. Pemikiran yang mengalami perkembangan
pesat di tangan murid-muridnya, terutama Ahmad Luthfi as-Sayyid, penyair
merangkap pengasas semboyan “Mesir untuk bangsa Mesir”.
4. Seruan
untuk “mengembangkan Islam supaya bersesuaian dengan realitas kehidupan modern
kita, dengan cara membuka pintu ijtihad sebebas-bebasnya bagi siapa saja yang
mau melakukannya; baik orang itu mempunyai kemampuan ataupun tidak. Sehingga
medan ijtihad disesaki oleh orang-orang yang moralis-asketis, juga oleh para
pengumbar hawa nafsu. Itulah sebabnya, banyak fatwa-fatwa aneh dan menyimpang,
yang dicetuskan oleh komunitas semacam ini. Syeikh Muhammad Abduh telah
memainkan peranan penting dalam menelurkan fatwa-fatwa modernism, yang
membelokkan hukum-hukum Islam, agar sesuai dengan keinginan kolonial asing atau
kelompok modernis. Seperti misalnya, fatwa Abduh yang menghalalkan bunga (riba)
bank, dan dibolehkannya orang mengkonsumsi sembelihan kaum Kristen, padahal
mereka mengeksekusi hewan korbannya dengan memakai benda tumpul dan tidak pula
menyebut nama Allah. Di
kalangan kaum modernis, dimana saja dan kapan saja, selalu terdapat hal-hal
baru yang direkayasa dan dilebih-lebihkan.
5. Menyerukan kebebasan wanita Islam secara
mutlak. Ini merupakan tujuan utama bangsa kafir, pada setiap waktu dan
kesempatan. Dan Syeikh Muhammad Abduh, beserta institusi pendidikannya telah
mengukuhkan penegasannya sedemikian rupa.[11]
D.
Muhammad Rasyid Rida
1.
Biografi Muhammad Rasyi Rida
Muhammad
Rasyid Ridah murid Muhammad Abduh yang terdekat. Ia lahir pada tahun 1865 di
al-Qalamun, suatu desa di Lebanon yang letaknya tidak jau dari
kota Tripoli (Syria), menurut keterangan, ia berasal dari keturunan al-Husain,
cucu Nabi Muhammad saw. Oleh karena itu ia memakai gelar al-Sayyid di depan
namanya. Semasa ia kecil ia dimasukkan ke Madrasah tradisional di al-Qalamun
untuk belajar menulis, berhitung dan membaca al-Qur’an. Di tahun 1882, ia
meneruskan pelajaran di Madrasah al-Mataniah al-Islamiah (Sekolah Nasional
Islam) di Tripoli. Di Madrasah ini, selain dari belajar bahasa Arab diajarkan
pula bahasa turki dan prancis, dan di samping pengetahuan-pengetahuan agama
juga pengetahuan-pengetahuan modern.
Rasyid Rida meneruskan pelajarannya di
salah satu sekolah agama yang ada di Tripoli. Tetapi dala pada itu hubungan
dengan Syaikh Husain al-Jisr berjalan terus dn berguru inilah yang menjadi
pembimbing baginya di masa muda. Selanjutnya ia banyak dipengaruhi oleh ide-ide
Jamaluddin al-Afgani dan Muhammad Abduh melalui majalah ‘Urwatul Wuṡqā.[12]
2. Gerakan Muhammad Rasyid Rida
Muhammad Rasyid Ridah merasa perlu
dilakasanakannya ide pembaruan dalam bidang pendidikan. Untuk itu ia melihat
perlu ditambahkan ke dalam kurikulum mata-mata pelajaran berikut: teologi,
pendidikan moral, sosiologi, ilmu bumi, sejarah, ekonomi, ilmu hitung, ilmu
kesehatan, bahasa-bahasa asing dan ilmu mengatur rumah tangga (kesejahteraan
keluarga) yaitu di samping fikih, tafsir, hadis, dan lain-lain yang biasa diberikan
di madrasah-madrasah tradisional.[13]
3. Pemikiran Rasyid Rida
Pemikiran Muhammad Rasyid Rida dimulai
ketika ia berniat untuk menggabungkan diri dengan al-Afgani di Istambul, tetapi
niat itu tak terwujud. Sewaktu Muhammad Abduh berada dalam pembuangan di
Beirut, ia mendapat kesempatan baik untuk berjumpa dan berdialok dengan murid
al-Afgani yang terdekat ini. Perjumapaan-perjumpaan dan dialognya dengan
Muhammad Abduh meninggalkan kesan yang baik dalam dirinya. Pemikiran-pemikiran
pembaharuan yang diperolehnya dari Syaikh Husain al-Jasr dan yang kemudian
diperluas lagi dengan ide-ide al-Afgani dan Muhammad Abduh amat mempengaruhinya
jiwanya.
Ketika ia di Mesir, ia menerbitkan
majalah yang termasyhur, al-Manar. Di dalam nomor pertama dijelaskan
bahwa tujuan al-Manar sama dengan ‘Urwatul Wuṡqā, antara lain:
1. mengadakan
pembaharuan dalam bidang agama, sosial dan ekomoni,
2. Memberantas takhayul dan bid’ah-bid’ah yang
masuk ke dalam tubuh Islam,
3. Menghilangkan
paham-paham yang salah dibawa tarekat-tarekat tasauf,
4. Meninngkatkan
mutu pendidikan dan membela umat Islam terhadap permaina politik Negara-negara
Barat.[14]
Pemikiran Rasyid Ridha mengenai Khilafah :
1. Menurutnya,
khalifah yang ideal adalah seseorang yang memiliki sifat adil, memiliki
kemampuan, dan mementingkan kepentingan masyarakat daripada kepentingan
pribadi. Fungsi khalifah antara lain menyebarkan kebenaran, menegakkan
keadilan, memelihara agama, dan bermusyawarah tentang masalah
yang tidak dijelaskan nash.
2. Khalifah
merupakan pemimpin umat Islam, oleh karena itu harus ditaati semasa
pemerintahannya sesuai dengan ajaran Islam.
3. Rasyid
Ridha menentang pemerintahan absolut kerajaan Usmani dan menentang politik
Inggris dan Perancis yang ingin membagi Arab di bawah kekuasaan Inggris
dan Perancis.
4. Rasyid
Ridha juga ingin mempersatukan umat Islam. Tetapi ia tidak setuju dengan
gerakan nasionalisme, karena menurutnya nasionalisme bertentangan dengan ajaran
persaudaraan umat Islam seluruh dunia. Karena dalam Islam, persaudaraan umat
Islam tidak mengenal perbedaan bahasa, bangsa, ataupun tanah air.
5. Hukum dan
Undang-Undang tidak bisa dilaksanakan tanpa kekuasaan pemerintah. Oleh karena
itu perlu adanya suatu bentuk negara. Bentuk negara yang dianjurkan Rasyid
Ridha adalah dalam bentuk kekhalifahan. Dan kepala negaranya adalah khalifah
yang mempunyai kekuasaan legislatif. Khalifah tidak boleh absolut dan harus
mempunyai sifat mujtahid. Kedaulatan umat berada di tangan umat dan berdasarkan
prinsip musyawarah. Idenya mengenai kekhalifahan tersebut, ia tuangkan dalam
karyanya yang berjudul al-Khilafah.[15]
Perbedaan
pendekatan antara Jamaluddin al-Afghani, Muhammad Abduh dan Rasyid Rida
1
Jamaluddin al-Afgani
2
Muhammad Abduh
3
Rasydi Rida
1.
Jalan untuk
memperbaiki keadaan umat Islam menurt Al-Afghani, ialah melenyapkan
pengertian-pengertian salah yang dianut umat pada umumnya, dan kembali kepada
ajaran-ajaran dasar Islam yang sebenarnya.
1. Cara berpikir Abduh yang lebih dinamis dan sering bersentuhan dengan jalan pikiran kaum rasionalis Islam atau Mu'tazilah.
2. Pemikirannya dilihat dari kondisi keadaan geografi dan budaya. Abduh terus mengadakan berbagai perubahan yang radikal, revolusioner bertahap khusunya dalam memajukan pendidikan.
1. Pola pendekatannya tidak seradikal Abduh.
2. Rasyid lebih menekankan konsep khilafah dalam penyatuan umat islam.
3. Mengatasi sikap fanatik terhadap pendapat para ulama terdahulu, Ia menganjurkan toleransi bermazhab.
2. Jamaluddin menekankan konsep pan-Islamisme dalam pendekatannya. Menurutnya, persatuan termasuk salah satu tiang agama Islam. Untuk itu, Ia mengimbau penguasa-penguasa & segenap unsur masyarakat Islam untuk bersatu serta mengecam kecenderungan perpecahan dalam tubuh umat muslim.
3. Pola pikir beliau cenderung radikal dalam hal pemberantasan cara-cara lama yang kolot dan fanatik (sarat bid’ah), guna tercapainya kebangkitan bangsa-bangsa timur (usyruqiyyah) guna melawan dominasi Barat.
4. Lebih liberal & kritis dalam interpretasi ayat-ayat Al-Qur’an khususnya perihal ketauhidan.
4. Peradaban Barat modern menurut Rasyid Ridha didasarkan atas kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi. Untuk kemajuan, umat Islam harus mau menerima peradaban Barat yang ada. Dan diharapkan, proses akulturasi ini akan membawa umat islam ke arah kebangkitan.
1. Cara berpikir Abduh yang lebih dinamis dan sering bersentuhan dengan jalan pikiran kaum rasionalis Islam atau Mu'tazilah.
2. Pemikirannya dilihat dari kondisi keadaan geografi dan budaya. Abduh terus mengadakan berbagai perubahan yang radikal, revolusioner bertahap khusunya dalam memajukan pendidikan.
1. Pola pendekatannya tidak seradikal Abduh.
2. Rasyid lebih menekankan konsep khilafah dalam penyatuan umat islam.
3. Mengatasi sikap fanatik terhadap pendapat para ulama terdahulu, Ia menganjurkan toleransi bermazhab.
2. Jamaluddin menekankan konsep pan-Islamisme dalam pendekatannya. Menurutnya, persatuan termasuk salah satu tiang agama Islam. Untuk itu, Ia mengimbau penguasa-penguasa & segenap unsur masyarakat Islam untuk bersatu serta mengecam kecenderungan perpecahan dalam tubuh umat muslim.
3. Pola pikir beliau cenderung radikal dalam hal pemberantasan cara-cara lama yang kolot dan fanatik (sarat bid’ah), guna tercapainya kebangkitan bangsa-bangsa timur (usyruqiyyah) guna melawan dominasi Barat.
4. Lebih liberal & kritis dalam interpretasi ayat-ayat Al-Qur’an khususnya perihal ketauhidan.
4. Peradaban Barat modern menurut Rasyid Ridha didasarkan atas kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi. Untuk kemajuan, umat Islam harus mau menerima peradaban Barat yang ada. Dan diharapkan, proses akulturasi ini akan membawa umat islam ke arah kebangkitan.
KESIMPULAN
Grand konsep dari pemikiran dari Muhammad bi Abdul Wahab adalah tentang
ketuhanan yang lebih menyerukan kepada tauhid umat Islam dan pemberharuan
Muhammad bin Abdul Wahab adalah suatu upaya untuk mengembalikan kehidupan umat
sesuai dengan kehidupan Nabi saw, dan sahabat-sahabatnya yang saleh.
Grand Konsep dari pemikiran Jamaluddin al-Afghani adalah dalam bidang
politik.
Yakni dengan pan-Islamisme, didirikan oleh Jamaluddin al-Afgani yang berpusat
di Kabul, Afghanistan. Adapun tujuan didirikannya gerakan Pan-Islamisme adalah
untuk memajukan umat Islam, menyatukan aliran modern, dan membentuk persatuan
semua umat Islam di bawah satu khalifah pusat, sebagaimana pada zaman
khalifah-khalifah terdahulu
Grand konsep dari Muhammad Abduh ialah dalam hal pendidikan, ia dengan
keyakinannya bahwa pendidikan dan sains barat modern adalah kunci kemakmuran
dan kejayaan Eropa, dia memandang perlu digalakkan usaha-usaha pengembangan
sistem pendidikan baru ke seluruh pelosok Mesir dan negeri-negeri Islam yang
berdekatan agar menjadi negara besar dan kuat.
Dan grand konsep dari pemikiran Rasyid Rida adalah tentang hukum dan
Undang-Undang. Hukm dan undang-undang tidak bisa dilaksanakan tanpa kekuasaan
pemerintah. Oleh karena itu perlu adanya suatu bentuk negara. Bentuk negara
yang dianjurkan Rasyid Ridha adalah dalam bentuk kekhalifahan. Dan kepala
negaranya adalah khalifah yang mempunyai kekuasaan legislatif. Khalifah tidak
boleh absolut dan harus mempunyai sifat mujtahid. Kedaulatan umat berada di
tangan umat dan berdasarkan prinsip musyawarah. Idenya mengenai kekhalifahan
tersebut, ia tuangkan dalam karyanya yang berjudul al-Khilafah.
DAFTAR
PUSTAKA
Nasution, Harun, Pembaharuan
dalam Islam, Jakarta: PT Bulan Bintang, 1975.
Maryam
Jameelah (Margaret Marcus), Islam and Modernism, diterjemahkan oleh A.
Jainuri dan Syafiq A. Mughni dengan judul “Islam dan Moderenisme
(Kritik terhadap Berbagai Usaha Sekularisasi Dunia
Islam), Surabaya, Usaha Nasional, 1965
Muhammad
Harb, Catatan Harian Sultan Hamid II, Bogor, Pustaka: Thariqul Izzah,
2004
Sulaiman
bin Saleh al-Kharasyi, Al-‘Ashraniyyah Qintharat al-‘Almaniyyah, yang
diterjemahkan oleh Faisal Abdullah Basagil dengan judul Bahaya Pemikiran al-Afghani dan Muhammad
Abduh dari Modernisme menuju Sekularisme, Bogor,
Pustaka Thariqul Izzah, 2005.
Syihab, Tgk.H. Z. A, Akidah
Ahlus Sunnah, Jakarta: Bumi Askara, 1998
Fachry. M, Syekh Muhammad Bin Abdul Wahhab, Pejuang
Tauhid yang memurnikan Islam,
http://arrahmah.com/read/2011/11/22/16492-syekh-muhammad-bin-abdul-wahhab-pejuang-tauhid-yang-memurnikan-islam.html
(diakses, 9 April 2012).
http://www.facebook.com/note.php?note_id=176931209062541
(diakses, 9 April 2012).
[1] dongeng (ajaran dsb) yg tidak
masuk akal; takhayul
[2] http://www.facebook.com/note.php?note_id=176931209062541
(diakses, 9 April 2012).
[3]Fachry. M, Syekh Muhammad Bin
Abdul Wahhab, Pejuang Tauhid yang memurnikan Islam, http://arrahmah.com/read/2011/11/22/16492-syekh-muhammad-bin-abdul-wahhab-pejuang-tauhid-yang-memurnikan-islam.html
(diakses, 9 April 2012).
[4]Tgk.H. Z. A Syihab, Akidah
Ahlus Sunnah, Jakarta: Bumi Askara, 1998, h. 83-86
[5] Fachry. M, Syekh Muhammad Bin
Abdul Wahhab, Pejuang Tauhid yang memurnikan Islam,. Op Cit. (diakses, 9 April
2012).
[6]Muhammad Harb, Catatan Harian
Sultan Hamid II, Bogor, Pustaka Thariqul Izzah, 2004, h. 125-126.
[7]Sulaiman
bin Saleh al-Kharasyi, Al-‘Ashraniyyah Qintharat al-‘Almaniyyah, yang
diterjemahkan oleh Faisal Abdullah Basagil dengan judul Bahaya Pemikiran al-Afghani dan Muhammad
Abduh dari Modernisme menuju Sekularisme, Bogor,
Pustaka Thariqul Izzah, 2005, h. 4-13.
[8]Maryam Jameelah (Margaret
Marcus), Islam and Modernism, diterjemahkan oleh A. Jainuri dan Syafiq
A. Mughni dengan judul “Islam dan Moderenisme (Kritik terhadap
Berbagai Usaha Sekularisasi Dunia Islam), Surabaya, Usaha Nasional, 1965,
h. 83-84.
[10]Musailamah al-Kadzdzab, seorang
tokoh Yahudi yang dikenal sebagai pentolan gerakan golongan munafik pada masa
Islam permulaan. Namanya, dalam sejarah Islam, selalu diidentikkan dengan
kemunafikan dan tipu daya yang keji.
[12] Harun Nasutio, Pembaharuan
dalam Islam, Jakarta: PT Bulan Bintang, 1975, h. 60.
[13] Ibid., h. 62.
[14] Ibid., h. 60-61
[15] Aziz Fahri, Pemikiran
Politik Jamaluddin Al Afghani, Abduh, dan Rasyid Ridho: entery posted
November ,9 2010, http://azizfahri.blogspot.com/2010/11/pemikiran-politik-jamaluddin-al-afghani.html
(diakses, 9 April 2012)