Tuesday, November 13, 2012

Ayat-ayat Tentang Ibadah

Makalah ini telah dipresentasikan dalam mata kuliah Tafsir oleh:
Arief Rahman
Muhammad Niamudin


A.    Pendahuluan
Ibadah secara bahasa (etimologi) berarti merendahkan diri serta tunduk. Sedangkan menurut syara’ (terminologi), ibadah mempunyai banyak definisi, tetapi makna dan maksudnya satu. Definisi itu antara lain adalah:
·         Ibadah adalah taat kepada Allah dengan melaksanakan perintah-Nya melalui lisan para Rasul-Nya.
·         Ibadah adalah merendahkan diri kepada Allah Azza wa Jalla, yaitu tingkatan tunduk yang paling tinggi disertai dengan rasa mahabbah (kecintaan) yang paling tinggi.
·         Ibadah adalah sebutan yang mencakup seluruh apa yang dicintai dan diridhai Allah Azza wa Jalla, baik berupa ucapan atau perbuatan, yang zhahir maupun yang bathin. Yang ketiga ini adalah definisi yang paling lengkap.
Ibadah terbagi menjadi ibadah hati, lisan, dan anggota badan. Rasa khauf (takut), raja’ (mengharap), mahabbah (cinta), tawakkal (ketergantungan), raghbah (senang), dan rahbah (takut) adalah ibadah qalbiyah (yang berkaitan dengan hati). Sedangkan tasbih, tahlil, takbir, tahmid dan syukur dengan lisan dan hati adalah ibadah lisaniyah qalbiyah (lisan dan hati). Sedangkan shalat, zakat, haji, dan jihad adalah ibadah badaniyah qalbiyah (fisik dan hati). Serta masih banyak lagi macam-macam ibadah yang berkaitan dengan amalan hati, lisan dan badan.
Dalam makalah ini penulis akan menjelaskan secara rinci tentang ayat-ayat yang berkenaan dengan ibadah, seperti surah al-Baqarah: 21, ar-Rum: 30, dan Luqman: 13, 23 dan 24 sebagaimana berikut.




B.     PEMBAHASAN
1.    Surah Al-Baqarah: 21
$pkšr'¯»tƒ â¨$¨Y9$# (#rßç6ôã$# ãNä3­/u Ï%©!$# öNä3s)n=s{ tûïÏ%©!$#ur `ÏB öNä3Î=ö6s% öNä3ª=yès9 tbqà)­Gs? ÇËÊÈ
Artinya: “Hai seluruh manusia, sembahlah Tuhan kamu yang telah menciptakan kamu dan orang-orang sebelum kamu, agar kamu bertakwa”.
Mufradat
يأيها الناس                  : hai seluruh manusia
اعبدوا                                 : sembahlah
خلفكم                               : menciptakan kamu
تتّقون                                  : kamu bertaqwa
Munasabah Ayat
Dalam QS. al-Baqarah ayat 22 diterangkan
Ï%©!$# Ÿ@yèy_ ãNä3s9 uÚöF{$# $V©ºtÏù uä!$yJ¡¡9$#ur [ä!$oYÎ/ tAtRr&ur z`ÏB Ïä!$yJ¡¡9$# [ä!$tB ylt÷zr'sù ¾ÏmÎ/ z`ÏB ÏNºtyJ¨V9$# $]%øÍ öNä3©9 ( Ÿxsù (#qè=yèøgrB ¬! #YŠ#yRr& öNçFRr&ur šcqßJn=÷ès? ÇËËÈ  
Artinya: “Dialah yang menjadikan bumi sebagai hamparan bagimu dan langit sebagai atap, dan Dia menurunkan air (hujan) dari langit, lalu Dia menghasilkan dengan hujan itu segala buah-buahan sebagai rezki untukmu; karena itu janganlah kamu Mengadakan sekutu-sekutu bagi Allah[1], Padahal kamu mengetahui.”
Bahwa ketika Allah menyinggung tentang orang-orang mukmin yang beruntung dan orang-orang kafir yang merugi, Allah Ta’ala menyinggung pula tentang kaum Munafiqin yang berada diantara posisi kedua golongan diatas, kemudian dengan cara iltifat (pengalihan), Allah Ta’ala menyeru seluruh mereka dengan ungkapan “an-Naas” (manusia) sehingga menjadi seruan umum bagi manusia semuanya di setiap tempat dan masa, dan memerintahkan mereka agar beribadah kepada-Nya untuk menjaga diri mereka dari kerugian.
Tafsir Ayat
Tiga macam sifat manusia yang disebut di atas; orang bertakwa, kafir dan munafik, kesemuanya diajak oleh Allah. Wahai selueruh manusia yang mendengar panggilan ini beribadahlah, yakni tunduk, patuh dengan penuh hormat, dan kagumlah kepada Tuhan kamu Sang Pemelihara dan Pembimbing, karena Dialah yang menciptakan kamu dan orang yang sebelum kamu.
Ibadah adalah suatu bentuk kepatuhan dan ketundukan yang berpuncak kepada sesuatu yang diyakini menguasai jiwa raga seseorang dengan penguasaan yang arti dan hakekatnya tidak terrjangkau. Karena itu, ketundukan dan kepatuhan orang tua atau penguasa tidak wajar dinamai ibadah.
Paling tidak, ada tiga hal yang menandai keberhasilan seseorang mencapai hakikat ibadah. Pertama, si pengabdi tidak menganggap apa yang berada dalam genggaman tangannya sebagai milik pribadinya, tetapi milik siapa yang kepada-Nya dia mengabdi. Kedua, segala aktivitasnya hanya berkisar pada apa yang diperintahkan oleh siapa yang kepada-Nya ia mengabdi serta menghindar dari apa yang dilarang-Nya. Ketiga, tidak memastikan sesuatu untuk dia laksanakan atau hindari kecuali dengan mengaitkannya dengan kehendak siapa yang kepada-Nya ia mengabdi. Bukankah seperti dikemukakan diatas, si pengabdi yakin bahwa jiwa raganya dikuasai oleh siapa yang ia mengabdi kepada-Nya?
Ayat ini menjelaskan bahwa ibadah tersebut ditujukan kepada Rabb yang menciptakan seluruh manusia dan siapapun yang diberi potensi akal sebelum wujudnya seluruh manusia yang mendengar panggilan ayat ini. Karena pencipta itu adalah Rabb.
Rabb (ربّ) adalah Pendidik dan Pemelihara. Banyak sekali aspek dari ‘rububiyat’ Allah SWT. yang menyentuh makhluk-Nya seperti pemberian rezeki, kasih sayang, pengampunan dan lai-lain. Kata Rabb pada ayat ini adalah bukti kewajaran Sang Pencipta untuk ditujukan kepada-Nya saja segala macam ketaatan dan kepatuhan.
Tetapi, ibadah yang dilakukan itu bukan untuk kepentingan-Nya, tetapi untuk kepentingan sang pengabdi, yakni agar ia bertakwa serta terhindar dari siksaan dan sanksi Allah di dunia dan di akhirat. Karena itu, laksanakanlah ibadah dengan niat agar kamu bertakwa, yakni dengan mengharap agar kamu dapat terhindar dari segala sesuatu yang dapat menyiksa kamu.
Di atas, dikemukakan bahwa ayat ini mengajak ketiga kelompok manusia untuk beribadah. Nah, petanyaan yang muncul, apakah yang bertakwa masih diajak untuk beribadah yang tujuannya adalah untuk mencapai takwa, padahal mereka telah bertakwa? Ya. Mereka tetap diajak, bukan saja agar ibadah tersebut terus memelihara keterhindaran mereka dari siksa, tetapi juga untuk meningkatkan ketakwaan itu serta memperkokoh beteng yang melindungi mereka dari segala macam ancaman duniawi dan ukhrawi.
Memang boleh jadi ajakan ini lebih banyak ditujukan dan ditekankan kepada orang-orang musyrik dan yang menempuh jalan mereka. Ini diperkuat oleh panggilan (يا ايها الناس) Ya ayyuhan nas/wahai seluruh manusia yang biasanya digunakan untuk menyeru mereka yang belum beriman.
Di sini Allah menampakkan betapa besar kasih sayang-Nya kepada makhluk, khusunya manusia. Walaupun para pendurhaka telah melampaui batas, namun mereka masih diajak. Ini karena sikap keras yang ditampilkan dalam ayat-ayat yang lalu lahir dari keinginan mengembalikan mereka ke jalan yang berar. Apa yang ditempuh itu, adalah perwujudan dari sifat rububiyah/pemeliharaan dan pendidikan Allah kepada seluruh manusia bahkan alam semesta.
Firman-Nya: Tuhan kamu yang telah menciptakan kamu dan orang-orang yang sebelum kamu menunjukkan kesatuan manusia sejak dahulu hingga akhir zaman. Dengan demikian tidak ada perbedaan dalam kemanusiaan antara satu ras dengan ras yang lain, baik dulu maupun masa kini, semua diciptakan Allah dari unsur yang sama.
Kata (لعلّ) pada firman-Nya (لعلكم تتقون) la’allakum tattaquun/agar kamu bertakwa pada ayat ini dan ayat-ayat serupa dibahas oleh ulama secara panjang lebar. Ini karena kata tersebut sering kali dipahami dan digunakan dalam arti yang mengandung makna harapan akan terjadinya sesuatu dimasa datang. Tentu saja sesuatu yang diharapkan belum belum pasti terjadi, padahal ketidakpastian, mustahil bagi Allah SWT. apalagi ada ayat-ayat yang menggunakan kata tersebut yang kemudian terbukti tidak sesuai dengan apa yang diharapkan itu seperti firman-Nya dalam QS. Al-A’raf: 130, “Dan sesungguhnya Kami telah menghukum (Fir’aun dan) kaumnya dengan (mendatangkan) musim kemarau yang panjang dan kekurangan buahh-buahan, (لعلّهم يذّكّرون) la’allahum yadzdzakkaruun yakni agar mereka mengambil pelajaran”. Harapan yang disebut oleh ayat ini ternyata tidak terbukti karena Fir’aun dan rezimnya terus menerus melakukan kedurhakaan sehingga pada akhirnya mereka ditenggelamkan di Laut Merah.
Sebagian ulama memahami kata la’alla pada ayat di atas dan ayat serupa dalam arti bahwa harapan tersebut adalah bagi mitra bicara bukan bagi pembicara, dalam arti mendorong lawan bicara untuk mengharap, atau berarti tujuan, dan dari sini ia diartikan dengan agar supaya.
Pakar tafsir dan bahasa Arab, az-Zamakhsyari berpendapat bahwa kata (لعلّ) la’alla merupakan majaz bukan dalam arti harapan yang sebenarnya. Keterangannya lebih kurang sebagai berikut: Allah SWT menciptakan hamba-hamba-Nya agar mereka menyembahNya sambil memberi mereka kebebasan memilih. Dia menghendaki untuk mereka kebaikan dan agar mereka bertakwa.
Dengan demikian, makna sebenarnya berada dalam posisi yang diharapkan memperoleh ketakwaan tetapi dalam kerangka kebebasan memilih antara taat atau durhaka. Ini serupa dengan situasi sesuatu yang belum jelas apakah ia terjadi atau tidak. Ketidakjelasan itu lahir karena adanya pilihan bagi yang bersangkutan untuk memilih yang ini atau yang itu.[2]
2.      Surah Ar-Rum: 30
óOÏ%r'sù y7ygô_ur ÈûïÏe$#Ï9 $ZÿÏZym 4 |NtôÜÏù «!$# ÓÉL©9$# tsÜsù }¨$¨Z9$# $pköŽn=tæ 4 Ÿw Ÿ@ƒÏö7s? È,ù=yÜÏ9 «!$# 4 šÏ9ºsŒ ÚúïÏe$!$# ÞOÍhŠs)ø9$#  ÆÅ3»s9ur uŽsYò2r& Ĩ$¨Z9$# Ÿw tbqßJn=ôètƒ ÇÌÉÈ  
Artinya: “maka hadapkanlah wajahmu kepada agama (Islam) dalam keadaan lurus. Fitrah Allah yang telah menciptakan manusia atasnya. Tidak ada perubahan pada ciptaan Allah. Itulah agama yang lurus; tetapi kebanyakan manusia tidak mengetahui”.
Mufradat
فأقم وجهك                        : maka hadapkanlah wajahmu
حنيفا                                  : keadaan lurus
لاتبديل                                : tidak ada perubahan
الدين القيّم                          : agama yang lurus
Munasabah Ayat
At-Thabari dan Ibn al-Mundzir menjelaskan, dengan mengutip pendapat Mujahid, bahwa fitrah yang dimaksud adalah agama (dîn) Islam. Ini juga makna yang dipegang oleh Abu Hurairah dan Ibn Syihab. Maknanya bahwa seorang anak dilahirkan dalam keadaan selamat dari kekufuran. Itulah janji setiap jiwa kepada Allah tatkala masih dalam kandungan, sebagaimana diisyaratkan dalam surah al-A’raf 172-173 :
øŒÎ)ur xs{r& y7/u .`ÏB ûÓÍ_t/ tPyŠ#uä `ÏB óOÏdÍqßgàß öNåktJ­ƒÍhèŒ öNèdypkô­r&ur #n?tã öNÍkŦàÿRr& àMó¡s9r& öNä3În/tÎ/ ( (#qä9$s% 4n?t/ ¡ !$tRôÎgx© ¡ cr& (#qä9qà)s? tPöqtƒ ÏpyJ»uŠÉ)ø9$# $¯RÎ) $¨Zà2 ô`tã #x»yd tû,Î#Ïÿ»xî ÇÊÐËÈ
÷rr& (#þqä9qà)s? !$oÿ©VÎ) x8sŽõ°r& $tRät!$t/#uä `ÏB ã@ö7s% $¨Zà2ur Zp­ƒÍhèŒ .`ÏiB öNÏdÏ÷èt/ ( $uZä3Î=ökçJsùr& $oÿÏ3 Ÿ@yèsù tbqè=ÏÜö7ßJø9$# ÇÊÐÌÈ
Artinya:
Dan (ingatlah), ketika Tuhanmu mengeluarkan keturunan anak-anak Adam dari sulbi mereka dan Allah mengambil kesaksian terhadap jiwa mereka (seraya berfirman): "Bukankah Aku Ini Tuhanmu?" mereka menjawab: "Betul (Engkau Tuban kami), kami menjadi saksi". (Kami lakukan yang demikian itu) agar di hari kiamat kamu tidak mengatakan: "Sesungguhnya kami (Bani Adam) adalah orang-orang yang lengah terhadap Ini (keesaan Tuhan)",
Atau agar kamu tidak mengatakan: "Sesungguhnya orang-orang tua kami Telah mempersekutukan Tuhan sejak dahulu, sedang kami Ini adalah anak-anak keturunan yang (datang) sesudah mereka. Maka apakah Engkau akan membinasakan kami Karena perbuatan orang-orang yang sesat dahulu[3]?"[4]
Tafsir Ayat
Melalui ayat di atas Allah mengarahkan kalam-Nya kepada Nabi Muhammad SAW dalam kedudukan beliau sebagai pemimpin umat agar beliau bersama semua umat beliau mencamkan perintah Allah berikut ini. Ayat di atas bagaikan menyatakan: “Setelah jelas bagimu-wahai Nabi-duduk persoalan, maka pertahankanlah apa yang selama ini telah engkau lakukan, hadapkanlah wajahmu serta arahkan semua perhatianmu, kepada agama yang  disyariatkan Allah yaitu agama Islam dalam keadaan lurus. Tetaplah mempertahankan fitrah Alah yang telah menciptakan manusia atasnya yakni menurut fitrah itu. Tidak ada perubahan pada ciptaan yakni fitrah Allah itu. Itulah agama yang lurus; tetapi kebanyakan manusia tidak mengettahui yakni tidak memiliki pengetahuan yang benar.
Kata (فأقم وجهك) fa aqim wajhaka/ hadapkanlah wajahmu, yang dimaksud adalah perintah untuk mempertahankan dan meningkatkan upaya menghadapkan diri kepada Allah, secara sempurna karena selama ini kaum muslimin apalagi Nabi Muhammad SAW telah menghadapkan wajah kepada tuntunan agama-Nya. Dari perintah di atas tersirat juga perintah untuk tidak menghiraukan gangguan kaum musyrikin, yang ketika turunnya ayat ini di mekkah, masih cukup banyak. Makna tersirat itu dipahami dari redaksi ayat di atas yang memerintahkan menghadapkan wajah. Seorang yang diperintahkan menghadapkan wajah ke arah tertentu, pada hakikatnya diminta untuk tidak menoleh ke kiri dan ke kanan, apalagi memperhatikan apa yang terjadi dibalik arah yang semestinya dia tuju.
Kata (حنيفا) haniifan biasa diartikan lurus atau cenderung kepada sesuatu. Kata ini pada mulanya digunakan untuk menggambarkan telapak kaki dan kemiringannya ke arah telapak pasangannya. Yang kanan condong ke arah kiri, dan yang kiri condong ke arah kanan. Ini menjadikan manusia dapat berjalan dengan lurus. Kelurusan itu, menjadikan si pejalan tidak mencong ke kiri, tidak pula ke kanan.
Kata (فطرة) fithrah terambil dari kata fathara yang berarti mencipta. Sementara pakar menambahkan, fitrah adalah “Mencipta sesuatu pertama kali/tanpa ada contoh sebelumnya”. Dengan demikian kata tersebut dapat juga dipahami dalam arti asal kejadian, atau bawaan sejak lahir. Patron kata yang digunakan ayat ini menunjuk kepada keadaan atau kondisi penciptaan itu, sebagaimana diisyaratkan juga oleh lanjutan ayat ini yang menyatakan “yang telah menciptakan manusia atasnya”.
Berbeda-beda pendapat ulama tentang maksud kata fitrah pada ayat ini. Ada yang berpendapat bahwa fitrah yang dimaksud adalah keyakinan tentang keesaan Allah SWT yang telah ditanamkan Allah dalam diri setiap insan. Dalam konteks ini sementara ulama menguatkannya dengan hadits Nabi saw. yang menyatakan bahwa: “Semua anak yang lahir dilahirkan atas dasar fitrah, lalu kedua orang tuanya yang menjadikannya menganut agama Yahudi, Nasrani atau Majusi.[5]
Sedangkan dalam Tafsir Ath-Thabari, banyak ahli takwil berpendapat, diantaranya:
Yunus menceritakan kepadaku, ia berkata: ibnu Wahab mengabarkan kepada kami, ia berkata: ibnu Zaid berkata tentang ayat ,
فطرت الله التي فطرالناس عليها fitrah Allah yang telah menciptakan manusia menurut fitrah itu”, ia berkata,”maknanya adalah, agama islam, sejak Allah menciptakan mereka dari nabi Adam AS secara keseluruhan. Kemudian beliau membacakan ayat كان الناس أمّة واحدة فبعث الله النبيّنmanusia itu adalah umat yang satu, (setelah timbul perselisihan), maka Allah mengutus para Nabi”.(QS. Al-Baqarah-213).
Muhammad bin Amr menceritakan kepadaku, ia berkata: Abu Ashim menceritakan kepada kami, ia berkata: Isa menceritakan kepada kami, Al Harits menceritakan kepadaku, ia berkata: Al Hasan menceritakan kepada kami, ia berkata: Waraqa menceritakan kepada kami, semuanya dari ibnu Abu Najih, dari Mujahid, tentang ayat فطرت اللهfitrah Allah” ia bekata: “maknanya adalah, Islam.”[6]
Firman-Nya, لاتبديل لخلق الله mengisyaratkan bahwa agama Islam yang merupakan cerminan lagi sejalan tuntunannya dengan fitrah itu, tidak wajar diganti, atau tidak dapat diganti dan dibatalkan oleh manusia, karena ia melekat dalam kepribadian setiap insan.[7]
Maksudya adalah, tidak ada perubahan terhadap agama Allah. Artinya, perubahan itu tidak layak dan tidak sepantasnya dilakukan.[8]
Ahli takwil berbeda pendapat tentang takwil ayat tersebut. Sebagian berpendapat seperti yang di atas, diantara mereka adalah:
Muhammad bin Amr menceritakan kepadaku, ia berkata: Abu Ashim menceritakan kepada kami, ia berkata: Isa menceritakan kepada kami, Al Harits menceritakan kepadaku, ia berkata: Al Hasan menceritakan kepada kami, ia berkata: Waraqa menceritakan kepada kami, semuanya dari Ibnu Abu Najih, dari Mujahid, tentang ayat, لاتبديل لخلق اللهtidak ada perubahan pada fitrah Allah”, ia berkata: “Maknanya adalah, tidak ada perubahan pada agama Allahh (Islam).
Abu As-Sa’ib menceritakan kepadaku, ia berkata: ibnu Idris menceritakan kepada kami dari Al-Laits, ia berkata: Mujahid mengirim seorang utusan bernama Qasim kepada Ikrimah untuk menanyakan makna ayat, لاتبديل لخلق الله, “Tidak ada perubahan pada fitrah Allah”. (ia lalu menjawab), “artinya adalah agama (Islam)”. Beliau kemudian membacakan ayat, لاتبديل لخلق الله ذٰلك الدين القيّم, “Tidak ada perubahan pada fitrah Allah (itulah) agama yang lurus”.
Sedangkan yang lain berpendapat bahwa maknanya adalah, tidak boleh merubah ciptaan Allah, seperti mengebiri hewan. Diantara mereka yaitu:
Ibnu Waki menceritakan kepada kami, ia berkata: ibnu Fudhail menceritakan kepada kami dari Mutharrif, dari seorang laki-laki, ia bertanya kepada ibnu Abbas tentang mengebiri hewan, dan ternyata ibnu Abbas tidak menyukai perbuatan itu. Lalu ia membaca ayat لاتبديل لخلق الله Tidak ada perubahan pada fitrah Allah”.
.....ia berkata: ibnu Uyainah menceritakan kepada kami dari Humaid Al A’raj, ia berkata: Ikrimah berkata, “maknanya adalah, tidak boleh mengebiri hewan”.[9]
Firman-Nya, ذٰلك الدين القيّم “ (itulah) agama yang lurus” maksudnya adalah, engkau hadapkan wajahmu dengan lurus kepada agama Allah, tanpa merubah dan mengganti. Itulah agama yang lurus, yang tidak ada penyimpangan di dalamnya, dengan sifat istiqomah, sehingga tidak menyimpang dari agama yang lurus kepada agama Yahudi dan Nasrani, kesesatan, bid’ah, serta lainnya.
Firman-Nya, ولكنّ أكثر الناس لا يعلمون Tetapi kebanyakan manusia tidak mengetahui”. Maksudnya adalah, akan tetapi kebanyakan manusia tidak mengetahui bahwa agama yang kuperintahkan kepadamu, wahai Muhammad, dalam firman-Ku, فأقم وجهك للدين حنيفاmaka hadapkanlah wajahmu dengan lurus kepada agama Allah”,  adalah agama yang benar (Islam),bukan agami-agama lain.[10]
3.      QS. Luqman: 13, 23 dan 24
øŒÎ)ur tA$s% ß`»yJø)ä9 ¾ÏmÏZö/ew uqèdur ¼çmÝàÏètƒ ¢Óo_ç6»tƒ Ÿw õ8ÎŽô³è@ «!$$Î/ ( žcÎ) x8÷ŽÅe³9$# íOù=Ýàs9 ÒOŠÏàtã ÇÊÌÈ  
Artinya: “Dan (ingatlah) ketika Luqman berkata kepada anaknya, di waktu ia memberi pelajaran kepadanya: "Hai anakku, janganlah kamu mempersekutukan Allah, Sesungguhnya mempersekutukan (Allah) adalah benar-benar kezaliman yang besar". (QS. Luqman: 13)

Tafsir Mufradat
¼çmÝàÏètƒ                                : ia member pelajaran kepadanya
لَظُلْمٌ عَظِيْمٌ                         : kezaliman yang besar
Asbabun Nuzul dan Munasabah Ayat
Ketika ayat ke-82 surah al-An’am diturunkan yang berbunyi:
tûïÏ%©!$# (#qãZtB#uä óOs9ur (#þqÝ¡Î6ù=tƒ OßguZ»yJƒÎ) AOù=ÝàÎ/ y7Í´¯»s9'ré& ãNßgs9 ß`øBF{$# Nèdur tbrßtGôgB ÇÑËÈ  
Artinya: “Orang-orang yang beriman dan tidak mencampuradukkan iman mereka dengan kezaliman (syirik), mereka Itulah yang mendapat keamanan dan mereka itu adalah orang-orang yang mendapat petunjuk.”
Para sahabat merasa keberatan. Maka mereka datang menghadap Rasulullah SAW. Seraya berkata: “Wahai Rasulullah, siapakah di antara kami yang dapat membersihkan keimanannya dari perbuatan zalim?”. Jawab beliau: “bukan begitu, bukanlah kamu telah mendengar wasiat Lukman Hakim kepada anaknya: Hai anakku, janganlah kamu mempersekutukan Allah, sesungguhnya mempersekutukan Allah adalah benar-benar adalah benar-benar kezaliman yang besar. Yakni ayat ke-13 dari surah ini sebagaimana diketengahkan di atas. (HR. Bukhari dan Abdillah)[11] .
Tafsir Ayat
Sebelum dijelaskannya tafsir apada ayat ini, terlebih dahulu penulis menjelaskan siapa itu “Luqman” dalam surah ini. Luqman yang disebut oleh surah ini adalah orang yang diperselisihkan identitasnya. Orang Arab mengenal dua tokoh yang bernama Luqman. Pertama, Luqman Ibn Ad. Tokoh ini mereka agungkan karena wibawa, kepemimpinan, Ilmu, kefasihan, dan kepandaiannya. Ia kerap kali dijadikan sebagai permisalan dan perumpamaan. Tokoh kedua, adalah Luqman al-Hakim yang terkenal dengan kata-kata bijak dan perumpamaan-perumpamaannya. Agaknya dialah yang dimaksud oleh surah ini.
Ayat ini berbunyi: “Dan (ingatlah) ketika Luqman berkata kepada anaknya, di waktu ia memberi pelajaran kepadanya: "Hai anakku, janganlah kamu mempersekutukan Allah, dengan sesuatu apapun dan jangan pula mempersekutukan-Nya sedikit persekutuan pun, lahir maupun batin. Persekutuan yang jelas maupun yang tersembunyi. Sesungguhnya syirik, yakni mempersekutukan Allah, adalah kezaliman yang sangat besar. Itu adalah penempatan sesuatu yang sangat agung pada tempat yang sangat buruk.[12]
`tBur txÿx. Ÿxsù šRâøts ÿ¼çnãøÿä. 4 $uZøs9Î) öNßgãèÅ_ötB Nßgã¥Îm7t^ãZsù $yJÎ/ (#þqè=ÏHxå 4 ¨bÎ) ©!$# 7LìÎ=tæ ÏN#xÎ/ ÍrߐÁ9$# ÇËÌÈ   öNßgãèÏnFyJçR WxÎ=s% §NèO öNèdsÜôÒtR 4n<Î) >U#xtã 7áŠÎ=xî ÇËÍÈ  
Artinya:
23. “dan Barangsiapa kafir Maka kekafirannya itu janganlah menyedihkanmu. hanya kepada Kami-lah mereka kembali, lalu Kami beritakan kepada mereka apa yang telah mereka kerjakan. Sesungguhnya Allah Maha mengetahui segala isi hati.
24. Kami biarkan mereka bersenang-senang sebentar, kemudian Kami paksa mereka (masuk) ke dalam siksa yang keras.”
Tafsir Mufradat
يحزنك                                 : menyedihkanmu
NßgãèÅ_ötB                           : mereka kembali
Nßgã¥Îm7t^ãZsù                             : maka kami beritakan kepada mereka
Munasabah ayat
Ayat ini berkaitan dengan surah Luqman ayat: 13
øŒÎ)ur tA$s% ß`»yJø)ä9 ¾ÏmÏZö/ew uqèdur ¼çmÝàÏètƒ ¢Óo_ç6»tƒ Ÿw õ8ÎŽô³è@ «!$$Î/ ( žcÎ) x8÷ŽÅe³9$# íOù=Ýàs9 ÒOŠÏàtã ÇÊÌÈ  
Artinya: “dan (ingatlah) ketika Luqman berkata kepada anaknya, di waktu ia memberi pelajaran kepadanya: "Hai anakku, janganlah kamu mempersekutukan Allah, Sesungguhnya mempersekutukan (Allah) adalah benar-benar kezaliman yang besar".
Ayat diatas sama-sama berkaitan dalam hal kekafiran, karena bagi siapa saja yang kafir terhdap Allah, maka sesungguhnya adalah benar-benar kezaliman yang sangat besar.
Tafsir Ayat
Setelah ayat yang lalu atau ayat sebelumnya menyebut keadaan yang muslim, kini disebut lawannya. Ayat diatas menyatakan: Dan siapa yang kafir menutupi kebenaran dan keesaan Allah, tidak menyerahkan wajahnya kepada-Nya, sesungguhnya dia benar-benar tidak memiliki pegangan. Maka karena itu, janganlah kekafirannya-walau siapa pun-menyedihkan hati dan menyita perhatian-mu. Hanya kepada Kami-lah tempat kembali mereka semua, lalu Kami beritahukan mereka dan member balasan setimpal atas apa yang telah mereka kerjakan, baik amal lahiriah mereka maupun amal batiniahnya, karena sesungguhnya Allah Maha Mengetahui segala isi dada, yakni hati seperti niat, kedengkian, maker, dan lain-lain. Pengetahuan-Nya menyangkut hal itu serupa dengan pengetahuan-Nya tentang amal-amal lahiriah yang tampak dipermukaan. Tidak perlu tergesa-gesa meminta dijatuhkannya hukum atas mereka atau jangan duga bahwa keadaan mereka sekarang yang bersenang-senang dan berfoya-foya itu luput dari penguasaan Kami. Sama sekali tidak! Kini, Kami sengaja-demikian juga beberapa waktu mendatang membiarkan mereka bersenang-senang dengan kesenangan sementara. Tetapi, itu hanya sedikit dan sebentar. Kemudian, apabila masa yang Kami tentukan tiba, Kami paksa mereka masuk ke dalam siksa yang keras. Mereka pasti tidak luput dari kekuasaan dan siksa Kami.[13]

C.    PENUTUP
1.      Kesimpulan
Pada surah al-Baqarah ayat 21 menerangkan bahwa ketika Allah menyinggung tentang orang-orang mukmin yang beruntung dan orang-orang kafir yang merugi, Allah Ta’ala menyinggung pula tentang kaum Munafiqin yang berada diantara posisi kedua golongan diatas, kemudian dengan cara iltifat (pengalihan), Allah Ta’ala menyeru seluruh mereka dengan ungkapan “an-Naas” (manusia) sehingga menjadi seruan umum bagi manusia semuanya di setiap tempat dan masa, dan memerintahkan mereka agar beribadah kepada-Nya untuk menjaga diri mereka dari kerugian.
Dalam surah ar-Rum ayat 30 sebagaimana pendapat At-Thabari dan Ibn al-Mundzir menjelaskan, dengan mengutip pendapat Mujahid, bahwa fitrah yang dimaksud adalah agama (dîn) Islam. Ini juga makna yang dipegang oleh Abu Hurairah dan Ibn Syihab. Maknanya bahwa seorang anak dilahirkan dalam keadaan selamat dari kekufuran. Itulah janji setiap jiwa kepada Allah tatkala masih dalam kandungan.
Dan dalam surah Luqman ayat 13, 23 dan 24 menerangkan bahwasanya janganlah kalian menyukutukan Allah, karena menyekutkan Allah adalah kedzaliman yang sangat besar.
2.      SARAN
Melalui makalah ini penulis ingin menyampaikan saran kepada pembaca diantaranya diharapkan mencari referensi lain agar menambah wawasan serata hal-hal yang baik dari makalah ini agar diterapkan dalam kehidupan sehari-hari dan apabila terdapat hal-hal yang buruk mohon dikoreksi.






[1] Ialah segala sesuatu yang disembah di samping menyembah Allah seperti berhala-berhala, dewa-dewa, dan sebagainya.
[2] M. Quraish Shihab, Tafsir Al-Mishbah, Jakarta: Lentera Hati 2003, hal.
[3] Maksudnya: agar orang-orang musyrik itu jangan mengatakan bahwa bapak-bapak mereka dahulu Telah mempersekutukan Tuhan, sedang mereka tidak tahu menahu bahwa mempersekutukan Tuhan itu salah, tak ada lagi jalan bagi mereka, hanyalah meniru orang-orang tua mereka yang mempersekutukan Tuhan itu. Karena itu mereka menganggap bahwa mereka tidak patut disiksa Karena kesalahan orang-orang tua mereka itu.
[5] M. Quraish Shihab, Tafsir Al-Mishbah, Jakarta: Lentera Hati 2003. Hal. 53
[6] Abu Ja’far Muhammad bin Jarir Ath-Thabari, tafsir Ath-Thabari, Jakarta: Pustaka Azzam 2009. Hal. 652
[7] M. Quraish Shihab, Tafsir Al-Mishbah, hal. 58
[8] Abu Ja’far Muhammad bin Jarir Ath-Thabari, tafsir Ath-Thabari, hal. 653
[9] Abu Ja’far Muhammad bin Jarir Ath-Thabari, tafsir Ath-Thabari,… hal. 656
[10] Abu Ja’far Muhammad bin Jarir Ath-Thabari, tafsir Ath-Thabari, …hal. 657
[11] Mudjab, A. Mahali, Asbabun Nuzul, Jakarta, PT RajaGrafindo Persada, 2002, hal. 660
[12] Quraish, M. Shihab, Tafsir al-Misbah Vol 10, Jakarta, Lentera Hati, 2002, hal. 295-296
[13] Quraish, M. Shihab, Tafsir al-Misbah Vol 10,.. hal. 324

Emoticon Ini Tidak Untuk Komentar Lewat Facebook.Copas Kode Pada Komentar Mu....
:a: :b: :c: :d: :e: :f: :g: :h: :i:
:j: :k: :l: :m: :n: :o: :p: :q: :r:
:s: :t: :u: :v: :w: :x: :y: :z: :ab:
Comments
0 Comments

0 komentar:

Post a Comment

Mohon maaf apabila terdapat komentar yang sesuai kriteria di bawah ini akan dihapus, demi kenyamanan bersama

1. Komentar berbau pornografi, sara, dan menyinggung.
2. Mencantumkan link hidup.
3. Mengandung SPAM.
4. Mempromosikan Iklan.

Terima kasih atas perhatiannya.