Teori belajar koneksionisme adalah teori yang ditemukan dan dikembangkan
oleh Edward L. Thorndike (1874/ 1949) berdasarkan eksperimen yang ia lakukan
pada tahun 1890-an. Eksperimen Thondike ini menggunakan hewan-hewan terutama kucing
mengetahui fenomena belajar.
Seekor kucing lapar ditempatkan berbentuk kotak berjeruji yang dilengkapi
dengan peralatang, seperti pengungkit, gerendel, pintu, dan tali yang
menghubungkan pengungkit dengan gerendel tersebut. Peralatan ini ditata sedemikian
rupa sehingga memungkinkan kucing tersebut memperoleh makanan yang tersedia
didepan sangkar tadi.
Keadaan bagian sangkar yang disebut
puzzle box (peti teka-teki) itu merupakan situasi stimlus yang merangsang
kucing untuk bereaksi melepaskan diri dan memperoleh makanan yang ada dimuka
pintu. Mula-mula kucing tersebut mengeong, mencakar, melompat, dan
berlari-larian, namun gagal membuka pintu untuk memperoleh makanan yang ada
didepannya. Akhirnya, entah bagaimana, secara kebetulan kucing itu berhasil menekan
pengungkit dan terbukalah pintu sangkar tersebut. Eksperimen puzzle box ini merupakan terkenal dengan
nama instrumental conditioning.
Artinya, tingkah laku yang berfungsi sebagai instrumental (penolong) untuk
mencapai hasil atau ganjaran yang dikehendaki (Hintzman, 1978).
Berdasarkan eksperimen di atas, thorndike berkesimpulan bahwa belajar
adalah hubungan antara stimulus dan respons. Itulah sebabnya, teori
koneksionisme juga disebut “S-R Bond Theory” dan “S-R Psichology of Learning”.
Disampng itu teori ini juga dikenal dengan sebutan “Trial and Error Learning”.
Istilah ini menunjuk pada penjangnya waktu atau banyaknya jumlah kekeliruan
dalam mencapai suatu tujuan (Hilgard & Bower, 1975).
Apabila kita perhatikan dengan seksama, dalam eksperimen Thorndike tadi
akan kita dapati dua hal pokok yang mendorong tibulnya fenomena belajar.
1.
Keadaan kucing yang sedang lapar.
Seandainya kucing itu kenyang, sudah tentu tidak akan berusaha keras untuk
keluar. Bahkan, barangkali ia akan tidur saja dalam puzzle box yang
mengurungnya. Dengan kata lain, kucing itu tidak akan menampakka gejala belajar
untuk keluar. Sehubungan dengan hal ini, hampir
dapat dipastikan bahwa motivasi (seperti rasa lapar) merupakan hal yang
sangat vital dalam belajar.
2.
Tersedianya makanan di muka pintu puzzle box. Makanan ini merupakan efeks
positif atau memuaskan yang dicapai oleh respons dan kemudian menjadi dasar
timbulnya hukum belajar yang disebut law
of effect. Artinya jika sebuah respons melahirkan effeks yang memuaskan,
sehubungan antara stimulus dan respons akan semakin kuat. Sebaliknya tidak akan
memuaskan (mengganggu) effek yang dicapai respons, semakin lemah pula hubungan
stimulus dan respons tersebut. Hukum belajar inilah yang mengalami munculnya
konsep reinforcer dalam teori Operant
Conditioning hasil penemuan B.F. Skinner[1].
Hal ini ditafsirkan oleh Thorndike demikian: “kucing itu sebenarnya tidak
mengerti cara membebaskan diri dari kurungan itu, tetapi dia belajar mencamkan
(mempertahankan) response-response yang benar dan menghilangkan
response-reponse yang salah”.
Berebeda dengan penelitian-penelitian labortorium mengenai hal belajar
itu yang telah dilakukan oleh ahli-ahli yang lebih dahulu, dalam eksperimen ini
Thorndike memasukkan masalah baru di dalam belajar, yaitu masalah dorongan
(motivation), hadiah (ganjaran, reward, dan hukuman (phunisment).
Penelitian-penelitian yang lebih dahulunya tidak mempersoalkan hal itu
(misalnya saja penelitian Ebbinghaus).
Eksperimen-eksperimen Thorndike mengenai hewan mempengaruhi pikirannya mengenai
belajar pada taraf insansi (hewan). Dia yakin betentangan pada kepercayaan
umum, bahwa tingkah laku hewan sedikt sekali dipimpin oleh pengertian.
Response-response itu dilakukan oleh hewan langsung terhadap situasi yang
diamati. Dengan tidak menyatakan secara eksplisit menolak pengertian adanya
pada hewan. Dia yakin masalah belajar itu pada hewan dapat diterangkan sebagai
hubungan langsung antara situasi dan perbutan mengenai kirve belajar pada hewan
dan pada manusia memberi keyakinan kepadanya, bahwa hal-hal yang menjadi dasar
proses belajar pada hewan dan pada manusia itu adalah sama saja. Baik belajar
pada hewan maupun pada manusia itu berlangsung menurut tiga macam hukum belajar
pokok, yaitu:
A.
Law of readness
law of readness adalah prinsip tambahan yang menggunanakan taraf
fisiologis bagi law of effect. Hukum ini meupakan kadaan-keadaan di mana
pelajar cenderung untuk mendapatkan kepuasan atau ketidak puasan, menerima atau
menolak sesuatu. Menurut Thorndike ada tiga keadaan yang demikian itu:
(1)
kalau suatu unit konduksi siap
untuk berkonduksi, maka konduksi denga unit akan membawa kepuasan, dan tidak ada
tindakan-tindakan lagi (yang lain) untuk mengubah konduksi itu.
(2)
Unit konduksi yang sudah siap
untuk berkonduksi apabila tidak berkonduksi akan menimbulka ketidak puasan, dan
akan menimbulkan response-response atau meniadakan ketidak puasan itu.
(3)
Apabila unit konduksi yang tidak
berkonduksi untuk berkonduksi dipaksa untuk berkondusi itu akan menimbulkan
ketidak puasan, dan berakibat dilakukannya tindakan-tindakan lain untuk
mengurangi atau meniadakan ketidak puasan itu.
B.
law of exercise
hukum ini mengandung dua hal yaitu:
(1)
law of use: hubungan-hubungan atau
koneksi-koneksi akan menjadi bertambah kuat kalau ada latihan, dan
(2)
law of disuse: hubungan-hubungan
atau koneksi-koneksi akan menjadi bertambah lemah atau terlupa kalau
latihan-latihan atau penggunaan dihentikan.
Soal menjadi kuat itu ditentukan oleh meningkatnya
kemungkinan bahwa response akan dilakuakan apabila situasi yang demikian itu
dihadapi lagi. Kemungkinan ini dapat ada dalam dua bentuk, yaitu.
·
Menjadi lebih besar
kemungkinan kalau situasi atau kejadian segera dilangi.
·
Rendahnya kemungkinan kalau
berungnya kejadian itu berjarak lama.
Keterangan tentang kekuata dan kemungkinan itu menjadi
bahan perbantahan. Umumnya orang Amerika serikat sendiri menolak dasar
sturuktural yang ditemukan Thorndike mengenai hibungan (koneksi) itu, yaitu
bahwa perubahan-perubahan menjadi lebih kuat atau lebih lemah nay hubungan itu
mempunya dasar neurologist yang terdapat pada synapsis. Namun ada juga gejala
yang dapat diterangkan denga hukum itu, yaitu terutama mengenai
kebiasaan-kebiasaan, kecekatan-kecekatan. Karena memang mengandung kelemahan.
Maka tidak mengherankan kalau kelak Thorndike membuat perubahan-perubahan dalam
isi hukum tersebut[2].
C.
Law Of Effect
Hukum ini menunjukkan pada semakin kuat atau semakin lemahnya koneksi
sebagai akibat dari ahsil perbuatan yang dilakukan. Apabila disederhanakan,
maka hukum ini akan dapat dirumuskan demikian: “suatu perbuatan yang disertai
atau diikuti oleh akibat yang enak (memuaskan/ menyenangkan) cenderung untuk
dipertahankan dan lain kali diulangi, sedang suatu perbuatan yang disertai atu
diikuti oleh akibat yang tidak enak (tidak menyenangkan) cenderung untuk
dihentikan dan lain kali tidak diulangi”.
Dengan kata lain, hukum ini menunjukkan bagaimana pengaruh hasil
perbuatan yang serupa. Misalnya, orang Indonesia umumnya memberi dan
menrima sesuatu dari orang lain menggunakan tangan kanan. Kebiasaan ini
(kecakapan) adalah hasil dari belajar bertahun-tahun. Pada saat masih kecil,
kalau kita ulurkan tangan kanan kita peroleh apa yang kita inginkan
(menyenangkan, semacam hadiah), sebaliknya kalau kita ulurkan tangan kiri, kita
tidak akan mendapatkan apa yang kita inginkan bahkan ditegur (tidak
menyenangkan, semacam hukuman). Semakin lama kalau kita ingin mendapat sesuatu
kecenderungan mengulurkan tangan kanan, semakin besar dan kecenderungan
mengulurkan tangan kiri semakin kecil.
Implikasi praktisnya bahwa hukum ini adalah mengenai pengaruh hadiah atau
hukuman bagi seseorang. Hadiah menyebabkan seseorang terus melakukan perbuatan
tertentu dan lain kali mengulanginya, sedangkan hukuman menyebabkan seseorang
menghentikan perbuatan tertentu dan lain kali tidak mengulanginya. Dalam dunia
pendidikan bukan hal yang asing lagi bahwa peranan hadiah dan hukuman sebagai
alat pendidikan atau faktor motivasi
Transfer of Training
Satu hal lagi
konsep Thorndike yang perlu diketahui adalah transfer of training. Konsep ini
menunjuk pada dapat digunakannya hal yang telah dipelajari untuk menghadapi
atau memecahkan hal-hal lain yang serupa atau berhubungan. Adanya tarnsfer of
training itu merupakan hal yang sangat penting dalam pendidikan, karena bilaman
sekiranya tranfer of training itu tidak ada, maka sekolah hampir saja tidak ada
gunanya bagi kehidupan bermasyarakat. Fungsi sekolah justru mempersiapkan
calon-calon warga masyarakat.
Karena itu
apa yang dipelajari di sekolah harus dapat dipergunakan untuk berbagai
keperluan di luar sekolah. Dengan perkataan lain harus ada transfer of
training. Untuk itu yang perlu diperhatikan adalah bagaimana mengusahakan agar
transfer of training itu dapat terjadi secara optimal. Dalam hubungan dengan
hal ini teori atau konsep mengenai transfer of training diperlukan.
Transfer of
training lebih dikenal dengan theory of idential elements, yang menyatakan
bahwa transfer of training akan terjadi bila antara hal yang lama (yang telah
dipelajari) dengan hal baru (hal yang akan dipelajari atau dipecahkan) terdapat
unsur-unsur yang identik. Oleh karena itu bila kita dapat membaca koran/
majalah, sekalipun disekolah tidak pernah diajarkan, karena huruf-huruf yang
dipergunakan di koran/majalah adalah identik dengan huruf yang dipergunakan
dalam buku-buku pelajaran di sekolah, kita dapat mempergunakan buku resep
masakan karena hurufnya sama dengan huruf-huruf yang dipelajari di sekolah,
juga sistem penulisannya mirip dengan sistem pada kamus yang biasa kita pakai
di sekolah.
Kesimpulannya,
untuk mendapatkan transfer of training yang optimal terletak pada bagaimana
memilih bahan yang dipelajari itu agar mengandung kesamaan sebanyak mungkin
dengan hal yang nantinya akan dihadapi oleh siswa, baik pada kehidupan
sehari-hari maupun pada tingkat pendidikan selanjutnya.
Prosedur Eksperimen
Thorndike
membuat eksperimen dengan anak ayam, anjing, ikan, kucing, dan monyet. Namun
demikian, ketika beliau masih menjadi mahasiswa dii Harvard, ibu kos tempat
beliau tinggal melarangnya untuk menetaskan ayam didalam kamarnya. William
James menawarkan basement dirumahnya untuk membantu penelitian Thorndike, tentu
saja membuat Mrs. James agak cemas dan membuat anak-anak mereka heboh sekaligus
senang.
Prosedur
eksperimen khusus mengharapkan tiap-tiap hewan untuk bisa melepaskan diri dari
ruang yang diberi batas untuk bisa mencapai makanan. Kotak uji menggunakan
sebuah cara tertentu untuk bisa melepaskan diri.
Ketika
dibatasi, hewan seringkali memperlihatkan banyak perilaku, termasuk
menggurat-gurat, menggigit, mencakar, menggosok-gosok pada bagian sisi kotak.
Cepat atau lambat binatang akan bisa melepaskan diri dan bisa mencapai makanan,
Dengan melakukan pengurangan secara berulang-ulang maka semakin kecil
kemungkinan binatang menunjukkan perilaku yang tidak berhubungan dengan
pembebasan diri mereka, sehingga waktu yang dibutuhkan juga semakin sedikit.
Perubahan yang paling cepat terlihat pada monyet.
Dalam satu
eksperimen, sebuah kotak yang berisi banyak pisang diletakkan di sebelah
kurungan tempat monyet tersebut berada. Tigapuluh enam menit dibutuhkan oleh
monyet untuk bisa menarik penutup. Dalam percobaan kedua, waktu yang dibutuhkan
hanya 2 menit 20 detik (Thorndike, 1911 dalam Nurhidayah, 2005).
Thorndike
menyimpulkan dari penelitiannya bahwa respon pembebasan diri secara
berangsur-angsur berhubungan dengan situasi stimulus pengetahuan
trial-and-error. Respon yang benar secara erangsur-angsur akan “diingat” atau
diperkuat melalui usaha yang berulang. Respon yang tidak benar memperlemah atau
“dilupakan”. Fenomena ini disebut dengan istilah substitusi respon. Teorinya
juga lazim dikenal dengan istilah instrumental conditioning karena pemilihan
respon khusus merupakan instrumen di dalam memperoleh imbalan.
Hukum Pengetahuan
Tiga hukum
tentang pengetahuan didapatkan dari hasil penelitian sebelumnya. Ketiganya
adalah law of effect, law of exercise, dan law of readiness. Law of effect
menyatakan bahwa situasi dan kondisi mendukung yang mengikuti suatu respon akan
memperkuat hubungan antara stimulus dengan perilaku, sementara itu kondisi yang
mengganggu akan memperlemah hubungan. Thorndike kemudian memperbaiki hukum
sehingga hukuman yang tidak seimbang dengan imbalan dalam mempengaruhi
pengetahuan.
Law of
exercise menggambarkan kondisi yang diimplikasikan dalam pepatah “Latihan
menciptakan kesempurnaan”. Pengulangan pengalaman, dalam kata yang berbeda,
akan mempertinggi probabilitas respon yang benar. Namun demikian, pengulangan
dengan tidak adanya kondisi yang mendukung tidak akan meningkatkan pengetahuan
(Thorndike, 1913). Diringkas secara singkat, eksekusi suatu tindakan didalam
merespon dorongan yang kuat adalah bersifat mendukung, sementara itu
penghilangan atas suatu tindakan atau menekannya dalam kondisi lain akan
memiliki sifat mengganggu.