Friday, February 15, 2013

Teori Belajar Koneksionisme



Teori belajar koneksionisme adalah teori yang ditemukan dan dikembangkan oleh Edward L. Thorndike (1874/ 1949) berdasarkan eksperimen yang ia lakukan pada tahun 1890-an. Eksperimen Thondike ini menggunakan hewan-hewan terutama kucing mengetahui fenomena belajar.

Seekor kucing lapar ditempatkan berbentuk kotak berjeruji yang dilengkapi dengan peralatang, seperti pengungkit, gerendel, pintu, dan tali yang menghubungkan pengungkit dengan gerendel tersebut. Peralatan ini ditata sedemikian rupa sehingga memungkinkan kucing tersebut memperoleh makanan yang tersedia didepan sangkar tadi.
Keadaan bagian sangkar yang disebut puzzle box (peti teka-teki) itu merupakan situasi stimlus yang merangsang kucing untuk bereaksi melepaskan diri dan memperoleh makanan yang ada dimuka pintu. Mula-mula kucing tersebut mengeong, mencakar, melompat, dan berlari-larian, namun gagal membuka pintu untuk memperoleh makanan yang ada didepannya. Akhirnya, entah bagaimana, secara kebetulan kucing itu berhasil menekan pengungkit dan terbukalah pintu sangkar tersebut. Eksperimen puzzle box ini merupakan terkenal dengan nama instrumental conditioning. Artinya, tingkah laku yang berfungsi sebagai instrumental (penolong) untuk mencapai hasil atau ganjaran yang dikehendaki (Hintzman, 1978).
Berdasarkan eksperimen di atas, thorndike berkesimpulan bahwa belajar adalah hubungan antara stimulus dan respons. Itulah sebabnya, teori koneksionisme juga disebut “S-R Bond Theory” dan “S-R Psichology of Learning”. Disampng itu teori ini juga dikenal dengan sebutan “Trial and Error Learning”. Istilah ini menunjuk pada penjangnya waktu atau banyaknya jumlah kekeliruan dalam mencapai suatu tujuan (Hilgard & Bower, 1975).
Apabila kita perhatikan dengan seksama, dalam eksperimen Thorndike tadi akan kita dapati dua hal pokok yang mendorong tibulnya fenomena belajar.
1.      Keadaan kucing yang sedang lapar. Seandainya kucing itu kenyang, sudah tentu tidak akan berusaha keras untuk keluar. Bahkan, barangkali ia akan tidur saja dalam  puzzle box yang mengurungnya. Dengan kata lain, kucing itu tidak akan menampakka gejala belajar untuk keluar. Sehubungan dengan hal ini, hampir  dapat dipastikan bahwa motivasi (seperti rasa lapar) merupakan hal yang sangat vital dalam belajar.
2.      Tersedianya makanan di muka pintu  puzzle box. Makanan ini merupakan efeks positif atau memuaskan yang dicapai oleh respons dan kemudian menjadi dasar timbulnya hukum belajar yang disebut law of effect. Artinya jika sebuah respons melahirkan effeks yang memuaskan, sehubungan antara stimulus dan respons akan semakin kuat. Sebaliknya tidak akan memuaskan (mengganggu) effek yang dicapai respons, semakin lemah pula hubungan stimulus dan respons tersebut. Hukum belajar inilah yang mengalami munculnya konsep reinforcer dalam teori Operant Conditioning hasil penemuan B.F. Skinner[1].
Hal ini ditafsirkan oleh Thorndike demikian: “kucing itu sebenarnya tidak mengerti cara membebaskan diri dari kurungan itu, tetapi dia belajar mencamkan (mempertahankan) response-response yang benar dan menghilangkan response-reponse yang salah”.
Berebeda dengan penelitian-penelitian labortorium mengenai hal belajar itu yang telah dilakukan oleh ahli-ahli yang lebih dahulu, dalam eksperimen ini Thorndike memasukkan masalah baru di dalam belajar, yaitu masalah dorongan (motivation), hadiah (ganjaran, reward, dan hukuman (phunisment). Penelitian-penelitian yang lebih dahulunya tidak mempersoalkan hal itu (misalnya saja penelitian Ebbinghaus).
Eksperimen-eksperimen Thorndike mengenai hewan mempengaruhi pikirannya mengenai belajar pada taraf insansi (hewan). Dia yakin betentangan pada kepercayaan umum, bahwa tingkah laku hewan sedikt sekali dipimpin oleh pengertian. Response-response itu dilakukan oleh hewan langsung terhadap situasi yang diamati. Dengan tidak menyatakan secara eksplisit menolak pengertian adanya pada hewan. Dia yakin masalah belajar itu pada hewan dapat diterangkan sebagai hubungan langsung antara situasi dan perbutan mengenai kirve belajar pada hewan dan pada manusia memberi keyakinan kepadanya, bahwa hal-hal yang menjadi dasar proses belajar pada hewan dan pada manusia itu adalah sama saja. Baik belajar pada hewan maupun pada manusia itu berlangsung menurut tiga macam hukum belajar pokok, yaitu:
A.          Law of readness
law of readness adalah prinsip tambahan yang menggunanakan taraf fisiologis bagi law of effect. Hukum ini meupakan kadaan-keadaan di mana pelajar cenderung untuk mendapatkan kepuasan atau ketidak puasan, menerima atau menolak sesuatu. Menurut Thorndike ada tiga keadaan yang demikian itu:
(1)                     kalau suatu unit konduksi siap untuk berkonduksi, maka konduksi denga unit akan membawa kepuasan, dan tidak ada tindakan-tindakan lagi (yang lain) untuk mengubah konduksi itu.
(2)                     Unit konduksi yang sudah siap untuk berkonduksi apabila tidak berkonduksi akan menimbulka ketidak puasan, dan akan menimbulkan response-response atau meniadakan ketidak puasan itu.
(3)                     Apabila unit konduksi yang tidak berkonduksi untuk berkonduksi dipaksa untuk berkondusi itu akan menimbulkan ketidak puasan, dan berakibat dilakukannya tindakan-tindakan lain untuk mengurangi atau meniadakan ketidak puasan itu.
B.     law of exercise
hukum ini mengandung dua hal yaitu:
(1)            law of use: hubungan-hubungan atau koneksi-koneksi akan menjadi bertambah kuat kalau ada latihan, dan
(2)            law of disuse: hubungan-hubungan atau koneksi-koneksi akan menjadi bertambah lemah atau terlupa kalau latihan-latihan atau penggunaan dihentikan.
Soal menjadi kuat itu ditentukan oleh meningkatnya kemungkinan bahwa response akan dilakuakan apabila situasi yang demikian itu dihadapi lagi. Kemungkinan ini dapat ada dalam dua bentuk, yaitu.
·         Menjadi lebih besar kemungkinan kalau situasi atau kejadian segera dilangi.
·         Rendahnya kemungkinan kalau berungnya kejadian itu berjarak lama.
Keterangan tentang kekuata dan kemungkinan itu menjadi bahan perbantahan. Umumnya orang Amerika serikat sendiri menolak dasar sturuktural yang ditemukan Thorndike mengenai hibungan (koneksi) itu, yaitu bahwa perubahan-perubahan menjadi lebih kuat atau lebih lemah nay hubungan itu mempunya dasar neurologist yang terdapat pada synapsis. Namun ada juga gejala yang dapat diterangkan denga hukum itu, yaitu terutama mengenai kebiasaan-kebiasaan, kecekatan-kecekatan. Karena memang mengandung kelemahan. Maka tidak mengherankan kalau kelak Thorndike membuat perubahan-perubahan dalam isi hukum tersebut[2].
C.    Law Of Effect
Hukum ini menunjukkan pada semakin kuat atau semakin lemahnya koneksi sebagai akibat dari ahsil perbuatan yang dilakukan. Apabila disederhanakan, maka hukum ini akan dapat dirumuskan demikian: “suatu perbuatan yang disertai atau diikuti oleh akibat yang enak (memuaskan/ menyenangkan) cenderung untuk dipertahankan dan lain kali diulangi, sedang suatu perbuatan yang disertai atu diikuti oleh akibat yang tidak enak (tidak menyenangkan) cenderung untuk dihentikan dan lain kali tidak diulangi”.
Dengan kata lain, hukum ini menunjukkan bagaimana pengaruh hasil perbuatan yang serupa. Misalnya, orang Indonesia umumnya memberi dan menrima sesuatu dari orang lain menggunakan tangan kanan. Kebiasaan ini (kecakapan) adalah hasil dari belajar bertahun-tahun. Pada saat masih kecil, kalau kita ulurkan tangan kanan kita peroleh apa yang kita inginkan (menyenangkan, semacam hadiah), sebaliknya kalau kita ulurkan tangan kiri, kita tidak akan mendapatkan apa yang kita inginkan bahkan ditegur (tidak menyenangkan, semacam hukuman). Semakin lama kalau kita ingin mendapat sesuatu kecenderungan mengulurkan tangan kanan, semakin besar dan kecenderungan mengulurkan tangan kiri semakin kecil.
Implikasi praktisnya bahwa hukum ini adalah mengenai pengaruh hadiah atau hukuman bagi seseorang. Hadiah menyebabkan seseorang terus melakukan perbuatan tertentu dan lain kali mengulanginya, sedangkan hukuman menyebabkan seseorang menghentikan perbuatan tertentu dan lain kali tidak mengulanginya. Dalam dunia pendidikan bukan hal yang asing lagi bahwa peranan hadiah dan hukuman sebagai alat pendidikan atau faktor motivasi
Transfer of Training
Satu hal lagi konsep Thorndike yang perlu diketahui adalah transfer of training. Konsep ini menunjuk pada dapat digunakannya hal yang telah dipelajari untuk menghadapi atau memecahkan hal-hal lain yang serupa atau berhubungan. Adanya tarnsfer of training itu merupakan hal yang sangat penting dalam pendidikan, karena bilaman sekiranya tranfer of training itu tidak ada, maka sekolah hampir saja tidak ada gunanya bagi kehidupan bermasyarakat. Fungsi sekolah justru mempersiapkan calon-calon warga masyarakat.
Karena itu apa yang dipelajari di sekolah harus dapat dipergunakan untuk berbagai keperluan di luar sekolah. Dengan perkataan lain harus ada transfer of training. Untuk itu yang perlu diperhatikan adalah bagaimana mengusahakan agar transfer of training itu dapat terjadi secara optimal. Dalam hubungan dengan hal ini teori atau konsep mengenai transfer of training diperlukan.
Transfer of training lebih dikenal dengan theory of idential elements, yang menyatakan bahwa transfer of training akan terjadi bila antara hal yang lama (yang telah dipelajari) dengan hal baru (hal yang akan dipelajari atau dipecahkan) terdapat unsur-unsur yang identik. Oleh karena itu bila kita dapat membaca koran/ majalah, sekalipun disekolah tidak pernah diajarkan, karena huruf-huruf yang dipergunakan di koran/majalah adalah identik dengan huruf yang dipergunakan dalam buku-buku pelajaran di sekolah, kita dapat mempergunakan buku resep masakan karena hurufnya sama dengan huruf-huruf yang dipelajari di sekolah, juga sistem penulisannya mirip dengan sistem pada kamus yang biasa kita pakai di sekolah.
Kesimpulannya, untuk mendapatkan transfer of training yang optimal terletak pada bagaimana memilih bahan yang dipelajari itu agar mengandung kesamaan sebanyak mungkin dengan hal yang nantinya akan dihadapi oleh siswa, baik pada kehidupan sehari-hari maupun pada tingkat pendidikan selanjutnya.
Prosedur Eksperimen
Thorndike membuat eksperimen dengan anak ayam, anjing, ikan, kucing, dan monyet. Namun demikian, ketika beliau masih menjadi mahasiswa dii Harvard, ibu kos tempat beliau tinggal melarangnya untuk menetaskan ayam didalam kamarnya. William James menawarkan basement dirumahnya untuk membantu penelitian Thorndike, tentu saja membuat Mrs. James agak cemas dan membuat anak-anak mereka heboh sekaligus senang.
Prosedur eksperimen khusus mengharapkan tiap-tiap hewan untuk bisa melepaskan diri dari ruang yang diberi batas untuk bisa mencapai makanan. Kotak uji menggunakan sebuah cara tertentu untuk bisa melepaskan diri.
Ketika dibatasi, hewan seringkali memperlihatkan banyak perilaku, termasuk menggurat-gurat, menggigit, mencakar, menggosok-gosok pada bagian sisi kotak. Cepat atau lambat binatang akan bisa melepaskan diri dan bisa mencapai makanan, Dengan melakukan pengurangan secara berulang-ulang maka semakin kecil kemungkinan binatang menunjukkan perilaku yang tidak berhubungan dengan pembebasan diri mereka, sehingga waktu yang dibutuhkan juga semakin sedikit. Perubahan yang paling cepat terlihat pada monyet.
Dalam satu eksperimen, sebuah kotak yang berisi banyak pisang diletakkan di sebelah kurungan tempat monyet tersebut berada. Tigapuluh enam menit dibutuhkan oleh monyet untuk bisa menarik penutup. Dalam percobaan kedua, waktu yang dibutuhkan hanya 2 menit 20 detik (Thorndike, 1911 dalam Nurhidayah, 2005).
Thorndike menyimpulkan dari penelitiannya bahwa respon pembebasan diri secara berangsur-angsur berhubungan dengan situasi stimulus pengetahuan trial-and-error. Respon yang benar secara erangsur-angsur akan “diingat” atau diperkuat melalui usaha yang berulang. Respon yang tidak benar memperlemah atau “dilupakan”. Fenomena ini disebut dengan istilah substitusi respon. Teorinya juga lazim dikenal dengan istilah instrumental conditioning karena pemilihan respon khusus merupakan instrumen di dalam memperoleh imbalan.
Hukum Pengetahuan
Tiga hukum tentang pengetahuan didapatkan dari hasil penelitian sebelumnya. Ketiganya adalah law of effect, law of exercise, dan law of readiness. Law of effect menyatakan bahwa situasi dan kondisi mendukung yang mengikuti suatu respon akan memperkuat hubungan antara stimulus dengan perilaku, sementara itu kondisi yang mengganggu akan memperlemah hubungan. Thorndike kemudian memperbaiki hukum sehingga hukuman yang tidak seimbang dengan imbalan dalam mempengaruhi pengetahuan.
Law of exercise menggambarkan kondisi yang diimplikasikan dalam pepatah “Latihan menciptakan kesempurnaan”. Pengulangan pengalaman, dalam kata yang berbeda, akan mempertinggi probabilitas respon yang benar. Namun demikian, pengulangan dengan tidak adanya kondisi yang mendukung tidak akan meningkatkan pengetahuan (Thorndike, 1913). Diringkas secara singkat, eksekusi suatu tindakan didalam merespon dorongan yang kuat adalah bersifat mendukung, sementara itu penghilangan atas suatu tindakan atau menekannya dalam kondisi lain akan memiliki sifat mengganggu.


[1] Syah, Muhibbin M. Ed, Psikologi Pendidikan dengan Pendekatan Baru, Bandung, PT Remaja Rosdakarya, cet ke-6, 2001, h. 105-106.
[2] Suryabrata, Sumadi, Psikologi Pendidikan, Jakarta, CV. Rajawali, cet ke-3, 1987, h. 267-270.

Emoticon Ini Tidak Untuk Komentar Lewat Facebook.Copas Kode Pada Komentar Mu....
:a: :b: :c: :d: :e: :f: :g: :h: :i:
:j: :k: :l: :m: :n: :o: :p: :q: :r:
:s: :t: :u: :v: :w: :x: :y: :z: :ab:
Comments
0 Comments

0 komentar:

Post a Comment

Mohon maaf apabila terdapat komentar yang sesuai kriteria di bawah ini akan dihapus, demi kenyamanan bersama

1. Komentar berbau pornografi, sara, dan menyinggung.
2. Mencantumkan link hidup.
3. Mengandung SPAM.
4. Mempromosikan Iklan.

Terima kasih atas perhatiannya.