Monday, February 18, 2013

Perbandingan Agama (Hindu Dharma)

Makalah Perbandingan Agama yang berjudul (Hindu Dharma) ini telah dipresentasikan dan direvisi ulang
oleh Arief Rahman
Mahasiswa STAIN P. Raya



A.      PENDAHULUAN
Pada hakikatnya, manusia mempunyai naluri dalam hal kepercayaan terhadap sesuatu yang memiliki kekuatan atau yang menguasai dan mengendalikan alam semesta ini yang berbentuk kekuatan gaib. Dengan kepercayaan demikianlah orang dapat membangun sebuah peradaban dan kebudayaan yang sangat maju sehingga dapat diwariskan kepada generasi berikutnya. Sehingga lama kelamaan banyak yang mengikuti atau menjadi anggota kepercayaan tersebut.
Di Indonesia banyak sekali kepercayaan-kepercayaan yang dianut oleh masyarakatnya. Salah satu kepercayaan atau agama tersebut terdapat beberapa yang tua dan besar salah satunya adalah Islam, Kristen dan Hindu.
Kira-kira pada permulaan abad Tarikh Masehi agama Hindu tersebut masuk ke Indonesia dari India. Di Jawa agama ini bercampur kepercayaan animism Jawa, sedangkan di Bali juga bercampur dengan kepercayaan animism di Bali yang telah ada sebelumnya.
Agama Hindu adalah salah satu agama tertua yang ada di Indonesia, Namun yang berkembang di Indonesia khususnya di Bali adalah Agama yang mereka menamai dengan “Gama Bali” atau “Gama Tirta” yang kini lebih dikenal dengan “Hindu Dharma”.
Beranjak paparan sedikit mengenai Agama Hindu Dharma di atas, penulis akan membahas lebih banyak lagi tentang Agama Hindu Dharma, baik yang bersangkutan dengan 1) Sekilas tentang Hindu Dharma, 2) Konsep Ketuhanan, 3) Tradisi dan Adat Istiadat, 4) Hari-Hari Besar Umat Hindu Dharma, 5) Salam dalam Agama Hindu, dan 6) Kasta dalam Agama Hindu Dharma.



B. PEMBAHASAN
HINDU DHARMA
Agama Hindu Dharma atau Agama Tirtha ("agama Air Suci") adalah sejenis agama Hindu yang umumnya diamalkan oleh kebanyakan orang Bali di Indonesia.[1] Hindu Dharma adalah penamaan atas agama yang dianut oleh masyarakat Bali. Untuk mengetahui apa itu Hindu Dharma berikut ini akan diuraikan, baik yang berkaitan dengan sejarah munculnya agama tersebut dan juga yang berkaitan dengan konsep ketuhanannya.
1.      Sekilas Tentang Hindu Dharma
Membicarakan Hindu Dharma di Bali, sebaiknya diawali dengan membicarakan agama Hindu di Indonesia. Menurut catatan sejarah agama Hindu masuk ke Indonesia diperkirakan awal tahun Masehi, oleh musafir dari India bernama Maha Resi Agastya, yang di Pulau Jawa dikenal dengan sebutan Batara Guru/ Dwipayana dan juga musafir dari Tiongkok, bernama Pahyien.
Kedua tokoh tersebut mengadakan perjalanan keliling Nusantara menyebarkan Dharma. Bukti-bukti ini sangar banyak berupa sisa-sisa kerajaan Hindu, seperti Kerajaan Tarumanegara dengan rajanya Pernawarman di Jawa Barat. Kerajaan Kutai dengan rajanya Mulawarman di Kalimantan Timur. Kerajaan Mataram Hindu di Jawa Tengah dengan rajanya Sanjaya. Kerajaan Singosari dengan rajanya Kartanegara. Kerajaan Watu Renggong di Bali. Raja-raja Hindu ini dengan para ulamanya memiliki pengaruh yang sangat besar dalam mengembangkan agama, seni, dan budaya serta kesusateraan pada masa itu.
Meskipun agama Hindu masuk ke Indonesia pada permulaan tahun Masehi, berkembang dari pulau ke pulau, namun Pulau Bali baru mendapat perhatian mulai abad ke-8 M oleh pendeta-pendeta Hindu yang bernama Empu Markandeya yang bertempat tinggal di wilayah Gunung Raung  (Jawa Timur). Dialah pemimpin ekspedisi pertama ke Pulau Bali sebagai penyebar agama Hindu dengan membawa pengikut sekitar 400 orang. Ekspedisi pertama itu diceritakan mengalami kegagalan.
Ekspedisi kedua dilaksanakan dengan membawa pengikut sekitar 2.000 orang yang akhirnya dengan berhasil gemilang. Adapun hutan yang pertama dibuka adalah hutan Taro di wilayah Payangan Gianjar dan dia mendirikan sebuat pura tempat pemujaan di desa Taro. Pura ini dberi nama pura Murwa yang berate permulaan. Dari daerah ini dia dengan pengikutnya mengembangkan wilayah menuju pangkal Gunung Agung di wilayah Besakih saat ini.
Agama Hindu di Bali sampai saat ini terus berkembang dan mendapat pembinaan secara teratur, sehingga menurut keterangan jumlah penganutnya sekitar 95%.[2]
2.      Konsep Ketuhanannya
Perlu diketahui bahwa agama Hindu Bali percaya kepada Tuhan Yang Maha Esa, yang dalam praktiknya dapat dicapai melalui perantaraan dewa. Orang Hindu Bali juga mengenal dewa Brahma, Wisnu, dan Syiwa, hanya saja dalam agama Hindu Bali lebih memuliakan dewa Syiwa dari pada dewa lainnya.
Mereka percaya kepada satu Tuhan Yang Maha Esa. Soal nama Tuhan, tergantung pada cara mereka menyembutkannya. Kadang-kadang disebut dewa Brahma, Hyang Widhi, Hyang Wasa, dan lain-lain, namun yang memegang kekuasaan tertinggi itu hanya satu saja.
Dalam Weda disebutkan: “Ekan Eva Adwiyam Brahman” yang artinya: “hanya satu tiada dua-Nya, yaitu Brahman”.
Meskipun Tuhan satu tapi dapat dimanifestasikan dalam bermacam-macam nama menurut sifat dan kekuasaan yang ada pada-Nya. Bila dilihat dari fungsi-fungsinya Sang Hyang Widhi itu dapat disebut dengan nama utama dari Trisaykti yaitu Brahma, yaitu Sang Hyang Widhi dalam fungsi sebagai pencipta. Wisnu, Sang Hyang Widhi dalam fungsinya sebagai pemelihara, dan Syiwa, Sang Hyang Widhi dalam fungsinya sebagai pelebur/ perusak dunia beserta isinya.[3]
3.      Tradisi dan Adat Istiadat
Tradisi dan adat istiadat agama hindu bali (hindu dharma) dapat dikemukakan sebagai berikut:
a.      Upacara
1)      Upacara Korban (Yadnya);
Untuk menghindari hal-hal yang tidak diinginkan masyarakat Bali senantiasa mengadakan uapacara-upacara untuk dewa-dewa. Dalam upacara pemujaan dewa-dewa Hindu Dharma terdapat beberapa macam yajnya (kurban). yajnya dimaksud adalah “Butta Yatnya” yaitu kurban-kurban kepada makhluk halus/ dewa penjaga alam. Butta Yajnya tersebut dilakukan dalam 3 maca bentuk upacara kurban: pertam tawur agung yaitu, kurban yang dilaksakan dalam satu tahun sekali. Kedua Tawur Panca Wali Karma yaitu upacara kurban yang dilakukan tiap 10 tahun sekali dan ketiga Tawur Eka Dsas Rudra, upacara kurban yang dilakukan setiap 100 tahun sekali.
2)      Sakremen (upacara suci);
Adapun upacara yang paling utama ialah Tawur Agung Eka Dasa Rudra, karena upacara ini usaha mencari keselamatan hidup disamping pengakuan dosa-dosa manusia selam 100 tahun. (tawur artinya pembayaran, penebusan atau pembersihan. Agung artinya bersar-besaran. Eka dasa artinya seratus dan Rudra adalah makhluk halus penjaga mata angina/alam).
Sedangkan upacara yang bersifat perorangan ialah. Upacara Ngaben, yaitu upacara pembakaran jenasah. Upacara ini dilakukan sesuai dengan kemampuan kelauarga yang meninggal, kadang-kadang dilakukan dengan biaya besar, sedang dan kecil. Ngben terkadang dilakukan secara masal yang sebaian biaya, bantuan dari berbagai pihak dan juga pemerintah. Upacara ini dilakukan untuk membersihkan roh yang meninggal.[4]
b.      Tempat ibadat/ tempat pemuja dewa-dewa
Tempat untuk memuja para dewa ialah kuil, yang oleh orang Bali dinamakan pura, sanggar, dewa griha dan sebagainya. Di bawah ini dapat kita sebutkan beberapa nama pura beserta fungsinya:
a.       Sanggar            : yaitu kuil yang berada di rumah-rumah orang biasa
b.      Pamerajan         : yaitu kuil yang berada dirumah-rumah orang yang terkemuka.
c.       Pura desa/
Bali Agung        : yaitu kuil yang berada di desa-desa.
d.      Pura dalam        : yaitu kuil kematian pada tiap-tiap desa.
e.       Pura subak        : yaitu pura untuk orang-orang anggopta subak (subak irigasi)
f.       Pura danau         : yaitu kuil yang dibuat orang di tepi telaga.
g.      Pura segara        : yaitu kuil untuk memuja dewa Baruna (dewa laut).
h.      Pura kabuyutan  : yaitu kuil untuk memuja arwah nenek moyang.
Pada umumnya pura-pura tersebut di atas terdiri atas 3 bagian:
1.      Bagian muka berupa ruangan kosong.
2.      Bagian tengah adalah tempat untuk menyiapkan sesaji.
3.      Bagian belakang adalah yang terpenting, karena merupkan tempat paling suci. Bagian ini dibagi lagi 3 bagian kecil, masing-masing sebagai tempat bersemayamg dewa-dewa yaitu dewa Brahma, Wisnu, dan Siwa.
Pimpinan upacara penyembahan terhadap dewa-dewa disebut: pedanda. Tugasnya ialah membuat air suci pada tiap-tiap upacara. Adapun caranya ialah dengan mengosongkan rohnya (bersemedi) agar dimasuki oleh dewa Siwa yang kemudian membuat air suci. Sesusah itu buah-buahan dan sajian-sajian yang hendak dipersembahkan kepada dewa tadi diperciki dengan air seci ini sambil mengucapkan mantera-mantera.[5]
4.      Hari-hari Besar Umat Hindu Dharma.
Dalam agama Hindu Dharma ditemui hari-hari besar/hari raya di antaranya:
a.    Hari Raya Galungan
Kata Galungan berasal dari Bahasa jawa. Kuno, yang artinya "Menang atau Ber-tarung". Galungan juga sama artinya dengan Dungulan yang juga berarti menang.
Kagan mula pertama hari raya. Galungan dira­yakan masih sulit ditentukan, hanya menurut kete­rangan, hari raya tersebut dilaksanakan pada Tahun Saka 804 atau tahun 882 Masehi.
Inti upacara Galungan adalah menyatukan kekuatan rohani agar mendapat pikiran dan pendi­rian yang terang. Bersatunya rohani dan pikiran yang terang inilah wujud dharma dalarn. diri. Se­dangkan segala kekacauan pikiran itu adalah wujud adharma. Dengan kata lain hakikat Galungan adalah memenangkan dharma melawan adharma.[6]
b.   Hari Raya Saraswati
Merayakan hari raya ini dianggap penting oleh umat Hindu. Menurut legenda Saraswati adalah Dewi/istri Brahma. Saraswati adalah Dewi Pelindung/Pelimpah pengetahuan, kesadaran. Berkat anugerah dewi Saraswati manusia menjadi beradab dan berkebudayaan.
Dewi Saraswati digambarkan sebagai seorang wanita cantik dan bertangan empat..Biasanya tangan-tangan tersebut memegang Gciiitri (tasbih), Kropak (lontar), Witia (alat musik) dan sekuntum bunga teratai dan di dekatnya biasanya terdapat burung merak dan angsa yang bisa. terbang.
Peringatan hari raya ini, menurut beberapa ke­pustakaan Hindu adalah dalam rangka mengingat kembali ajaran-ajaran agama dan kesusilaan.
Setelah Saraswati puja selesai, biasanya dilaku­kan seinedidi tempat yang suci di malam hari atau melakukan pembacaan lontar-lontar semalam suntuk dengan tujuan untuk menemukan pence­rahan Ida Hyang Saraswati.
Besok harinya dilaksanakan Baizyii Pitiaruh (Pagi buta berkeramas dengan air Kunikutilati).[7]
c.    Hari Raya Nyepi
Hari raya Nyepi dirayakan setiap Tahun Baru Saka. Tujuan utama perayaan ini adalah memohon ke hadapanTuhai untuk mensucikan alam manusia dan alam semesta.
Ada 4 (empat) pantangan yang wajib diikuti saat hari raya Nyepi (Catur Berata Penyepian)
Pertama; Amati Geni (mematikan api kosmos untuk rnenghidupkan api spiritual yang ada dalam diri. Kedua; Amati karya (menghentikar, kegiatan kerja dan mencari makna dan hakikat kerja yang sesungguhnya) Ketiga; Amati Lelanguan (tidak ber­suka-ria agar menemukan kesadaran akan kenik­matan semu yang selama ini dinikmati. Keempat; Atnati Lenguan (tidak mengikuti keinginan untuk bepergian)."'
Pada saat pelaksanaan catur brata itu pula dila­kukan Mulat Sari, perenungan mendalam "me­ngaca diri" untuk membuka tabir kegelapan agar memperoleh pengetahuan sejati dan kesadaran diri akan nilai-nilai kemanusiaan.
Dalam kesenyapan hari Nyepi, diharapkan umatnya mengadakan mawas diri, menyatukan pikiran, menyatukan cipta, rasa, dan karsa menuju penemuan hakikat keberadaan diri dan inti sari ke­hidupan semesta.
Keesokan harinya yaitu hari raya Ngembak Geni, segenap isi rumah keluar pekarangan dan bennaaf-maafan dengan tetangga dan handai tolan yang ditemui, dalam suasana batin yang bersih dan dipenuhi kebijaksanaan.[8]
d.   Hari Raya Kuningan
Hari raya. Kuningan adalah hari raya yang di­rayakan oleh umat Hindu Dharma. perayaan ini jatuh pada hari Saiiiscara (Sabtu), Kliwon, wuku Kuningan. Hari raya ini dilaksanakan setiap 210 hari, dengan menggunakan perhitungan kalender Bali.
Sabtu, hari ketujuh dalam satu pekan. Konon kata Sabtu diambil dari bahasa Iberani (Sabbat), yang berarti berhenti. (Minggu-Senin-Selasa-Rabu­Kamis-Jum'at-Sabtu). Perayaan hari raya ini, inti­nya meminta perlindungan kepada Batara Indera.[9]
5.      Salam dalam Agama Hindu
Untuk membina hubungan yang harmonis dan mempererat persaudaraan dalam pergaulan di masya­rakat, agama Hindu mengajarkan salam persaudaraan dengan ucapan "OM SWASTYASTU". Salam ini dapat juga digunakan dalam memulai dan mengakhiri suatu kegiatan. Khusus dalam mengakhiri suatu kegiatan dapat juga memakai "OM SANTI, SANTI, SANTI, OM", yang artinya Semoga damai. "OM" yang berasal dari "A" simbol Brahma; "U" adalah simbol Wisnu dan "M" adalah simbol Syiwa. Lalu diucapkan AUM atau OM.
Pada waktu mengucapkan salam, kedua tangan dicakupkan di depan dada dengan ujung jari mengarah ke atas, tetapi kalau keadaan tidak memungkinkan, sikap ini boleh tidak dilakukan. Yang menerima salam seyog­yanya menjawab dengan ucapan OM SWASTYASTU dengan sikap yang sama pula.
OM, = Tuhan, SU, = baik, ASTI, = ada dan ASTU = semoga. Jadi OM SWASTYASTU artinya SEMOGA SELAMAT ATAS RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA. Dengan demikian pada setiap kegiatan telah dilaksanakan saling doa-mendoakan antara satu dengan yang lainnya.[10]

6.      Kasta dalam Agama Hindu Dharma
Kasta dari bahasa Portugis adalah pembagian masyarakat. Kasta yang sebenarnya merupakan perkumpulan tukang-tukang, atau orang-orang ahli dalam bidang tertentu, semestinya harus dibedakan dari warna atau Catur Warna (Hindu), karena memang pengertian di antara kedua istilah ini tidak sama. Pembagian manusia dalam masyarakat agama Hindu:
1.      Warna Brahmana, para pekerja di bidang spiritual ; sulinggih, pandita dan rohaniawan.
2.      Warna Ksatria, para kepala dan anggota lembaga pemerintahan.
3.      Warna Waisya, para pekerja di bidang ekonomi
4.      Warna Sudra, para pekerja yang mempunyai tugas melayani/membantu ketiga warna di atas.
Sedangkan di luar sistem Catur Warna tersebut, ada pula istilah :
1.      Kaum Paria, Golongan orang terbuang yang dianggap hina karena telah melakukan suatu kesalahan besar
2.      Kaum Candala, Golongan orang yang berasal dari Perkawinan Antar Warna
Dalam agama Hindu, istilah Kasta disebut dengan Warna (Sanskerta: varṇa). Akar kata Warna berasal dari bahasa Sanskerta vrn yang berarti “memilih (sebuah kelompok)”. Dalam ajaran agama Hindu, status seseorang didapat sesuai dengan pekerjaannya. Dalam konsep tersebut diuraikan bahwa meskipun seseorang lahir dalam keluarga Sudra (budak) ataupun Waisya (pedagang), apabila ia menekuni bidang kerohanian sehingga menjadi pendeta, maka ia berhak menyandang status Brahmana (rohaniwan). Jadi, status seseorang tidak didapat semenjak dia lahir melainkan didapat setelah ia menekuni suatu profesi atau ahli dalam suatu bidang tertentu.
Dalam tradisi Hindu, Jika seseorang ahli dalam bidang kerohanian maka ia menyandang status Brāhmana. Jika seseorang ahli atau menekuni bidang administrasi pemerintahan ataupun menyandang gelar sebagai pegawai atau prajurit negara, maka ia menyandang status Ksatriya. Apabila seseorang ahli dalam perdagangan, pertanian, serta profesi lainnya yang berhubungan dengan niaga, uang dan harta benda, maka ia menyandang status Waisya. Apabila seseorang menekuni profesi sebagai pembantu dari ketiga status tersebut (Brahmana, Ksatriya, Waisya), maka ia menyandang gelar sebagai Sudra.
Pada masyarakat Hindu di  Bali, terjadi  kesalahan dan kekaburan dalam pemahaman dan pemaknaan warna, kasta, dan wangsa yang berkepanjangan. Dalam agama Hindu tidak dikenal istilah Kasta. Istilah yang termuat dalam kitab suci Veda adalah Warna. Apabila kita mengacu pada Kitab Bhagavadgita, maka yang dimaksud dengan Warna adalah Catur Warna, yakni pembagian masyarakat menurut Swadharma (profesi) masing-masing orang. Sementara itu, yang muncul dalam kehidupan masyarakat Bali adalah Wangsa, yaitu sistem kekeluargaan yang diatur menurut garis keturunan. Wangsa tidak menunjukkan stratifikasi sosial yang sifatnya vertikal (dalam arti ada satu Wangsa yang lebih tinggi dari Wangsa yang lain). Namun demikian, tidak dapat dipungkiri bahwa masih ada warga masyarakat yang memiliki pandangan bahwa ada suatu Wangsa yang dianggap lebih tinggi daripada Wangsa yang lain. Untuk merubah pandangan seperti ini memang perlu sosialisasi dan penyamaan persepsi. Oleh karena itu, lebih baik tidak diperdebatkan lagi.[11]

 

C. PENUTUP
KESIMPULAN

Hindu Dharma adalah penamaan atas agama yang dianut oleh masyarakat Bali. Perlu diketahui bahwa agama Hindu Bali percaya kepada Tuhan Yang Maha Esa, yang dalam praktiknya dapat dicapai melalui perantaraan dewa. Orang Hindu Bali juga mengenal dewa Brahma, Wisnu, dan Syiwa, hanya saja dalam agama Hindu Bali lebih memuliakan dewa Syiwa dari pada dewa lainnya dan semuanya itu adalah penamaan saja terhadap tuhan mereka, sebenarnya dalam Weda disebutkan: “Ekan Eva Adwiyam Brahman” yang artinya: “hanya satu tiada dua-Nya, yaitu Brahman”.
Dalam agama Hindu Dharma terdapat upacara seperti korban (Yadnya) dan sekremen (upacara suci). Sedangkan dari tempat ibadatnya untuk memuja dewa adalah kuil, yang oleh orang Bali dinamakan pura, sanggar, dewa griha dan sebagainya. Di bawah ini dapat kita sebutkan beberapa nama pura beserta fungsinya.
Hindu dharma terdapat hari-hari raya (hari yang wajib diperhatikan oleh umatnya), yaitu:
  1. Hari Raya Galungan;
  2. Hari Raya Saraswati;
  3. Hari Raya Nyepi;
  4. Hari Raya Kuningan.
Agama Hindu mengajarkan salam persaudaraan dengan ucapan "OM SWASTYASTU". Salam ini dapat juga digunakan dalam memulai dan mengakhiri suatu kegiatan. Khusus dalam mengakhiri suatu kegiatan dapat juga memakai "OM SANTI, SANTI, SANTI, OM".
Dalam agama Hindu tidak dikenal istilah Kasta. Istilah yang termuat dalam kitab suci Veda adalah Warna. Apabila kita mengacu pada Kitab Bhagavadgita, maka yang dimaksud dengan Warna adalah Catur Warna, yakni pembagian masyarakat menurut Swadharma (profesi) masing-masing orang. Sementara itu, yang muncul dalam kehidupan masyarakat Bali adalah Wangsa, yaitu sistem kekeluargaan yang diatur menurut garis keturunan.

DAFTAR PUSTAKA

Ahmadi, Abu, Perbandingan Agama, Jakarta: PT Asdi Mahasatya, 1980.
Jirhanuddin, Perbandingan Agama, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2010.
Nurshofiah, http://nurshofiah.wordpress.com/category/kasta/, Diakses pada tanggal 5 Mei 2012
Http://id.wikipedia.org/wiki/Agama_Hindu_Dharma, diakses pada tanggal 15 Mei 2012



[1] http://id.wikipedia.org/wiki/Agama_Hindu_Dharma, diakses pada tanggal 15 Mei 2012
[2] Jirhanuddin, Perbandingan Agama, Yogyakarta: pustaka pelajar, 2010, h. 79
[3] Ibid,.h 80
[4] Ibid.,h 81
[5] Abu Ahmadi, Perbandingan Agama, Jakarta: PT Asdi Mahasatya 1980, h 128.
[6] Jirhanuddin, Perbandingan Agama, h. 81
[7] Ibid.,h. 82
[8] Ibid., h. 82-83
[9] Ibid., 83-84
[10] Ibid., h 84-85
[11] Nurshofiah, http://nurshofiah.wordpress.com/category/kasta/, Diakses pada tanggal 5 Mei 2012

Emoticon Ini Tidak Untuk Komentar Lewat Facebook.Copas Kode Pada Komentar Mu....
:a: :b: :c: :d: :e: :f: :g: :h: :i:
:j: :k: :l: :m: :n: :o: :p: :q: :r:
:s: :t: :u: :v: :w: :x: :y: :z: :ab:
Previous Post Next Post Home
Comments
0 Comments

0 komentar:

Post a Comment

Mohon maaf apabila terdapat komentar yang sesuai kriteria di bawah ini akan dihapus, demi kenyamanan bersama

1. Komentar berbau pornografi, sara, dan menyinggung.
2. Mencantumkan link hidup.
3. Mengandung SPAM.
4. Mempromosikan Iklan.

Terima kasih atas perhatiannya.