Makalah Perbandingan Agama yang berjudul (Hindu Dharma) ini telah dipresentasikan dan direvisi ulang
oleh Arief Rahman
Mahasiswa STAIN P. Raya
oleh Arief Rahman
Mahasiswa STAIN P. Raya
A. PENDAHULUAN
Pada
hakikatnya, manusia mempunyai naluri dalam hal kepercayaan terhadap sesuatu
yang memiliki kekuatan atau yang menguasai dan mengendalikan alam semesta ini
yang berbentuk kekuatan gaib. Dengan kepercayaan demikianlah orang dapat
membangun sebuah peradaban dan kebudayaan yang sangat maju sehingga dapat
diwariskan kepada generasi berikutnya. Sehingga lama kelamaan banyak yang
mengikuti atau menjadi anggota kepercayaan tersebut.
Di
Indonesia banyak sekali kepercayaan-kepercayaan yang dianut oleh masyarakatnya.
Salah satu kepercayaan atau agama tersebut terdapat beberapa yang tua dan besar
salah satunya adalah Islam, Kristen dan Hindu.
Kira-kira
pada permulaan abad Tarikh Masehi agama Hindu tersebut masuk ke Indonesia dari India.
Di Jawa agama ini bercampur kepercayaan animism Jawa, sedangkan di Bali juga
bercampur dengan kepercayaan animism di Bali yang telah ada sebelumnya.
Agama
Hindu adalah salah satu agama tertua yang ada di Indonesia, Namun yang berkembang di Indonesia
khususnya di Bali adalah Agama yang mereka menamai dengan “Gama Bali” atau “Gama Tirta” yang kini lebih dikenal
dengan “Hindu Dharma”.
Beranjak paparan sedikit mengenai Agama Hindu
Dharma di atas, penulis akan membahas lebih banyak lagi tentang Agama Hindu
Dharma, baik yang bersangkutan dengan 1) Sekilas tentang Hindu Dharma, 2) Konsep
Ketuhanan, 3) Tradisi dan Adat Istiadat, 4) Hari-Hari Besar Umat Hindu Dharma,
5) Salam dalam Agama Hindu, dan 6) Kasta dalam Agama Hindu Dharma.
B. PEMBAHASAN
HINDU DHARMA
HINDU DHARMA
Agama Hindu Dharma
atau Agama Tirtha ("agama Air Suci") adalah sejenis
agama Hindu yang umumnya diamalkan oleh kebanyakan orang Bali di Indonesia.[1] Hindu Dharma adalah
penamaan atas agama yang dianut oleh masyarakat Bali. Untuk mengetahui apa itu
Hindu Dharma berikut ini akan diuraikan, baik yang berkaitan dengan sejarah munculnya
agama tersebut dan juga yang berkaitan dengan konsep ketuhanannya.
1.
Sekilas Tentang Hindu Dharma
Membicarakan
Hindu Dharma di Bali, sebaiknya diawali dengan membicarakan agama Hindu di
Indonesia. Menurut catatan sejarah agama Hindu masuk ke Indonesia diperkirakan
awal tahun Masehi, oleh musafir dari India bernama Maha Resi Agastya, yang di
Pulau Jawa dikenal dengan sebutan Batara Guru/ Dwipayana dan juga musafir dari
Tiongkok, bernama Pahyien.
Kedua tokoh
tersebut mengadakan perjalanan keliling Nusantara menyebarkan Dharma.
Bukti-bukti ini sangar banyak berupa sisa-sisa kerajaan Hindu, seperti Kerajaan
Tarumanegara dengan rajanya Pernawarman di Jawa Barat. Kerajaan Kutai dengan
rajanya Mulawarman di Kalimantan Timur. Kerajaan Mataram Hindu di Jawa Tengah
dengan rajanya Sanjaya. Kerajaan Singosari dengan rajanya Kartanegara. Kerajaan
Watu Renggong di Bali. Raja-raja Hindu ini dengan para ulamanya memiliki
pengaruh yang sangat besar dalam mengembangkan agama, seni, dan budaya serta
kesusateraan pada masa itu.
Meskipun agama
Hindu masuk ke Indonesia pada permulaan tahun Masehi, berkembang dari pulau ke
pulau, namun Pulau Bali baru mendapat perhatian mulai abad ke-8 M oleh
pendeta-pendeta Hindu yang bernama Empu Markandeya yang bertempat tinggal di
wilayah Gunung Raung (Jawa Timur).
Dialah pemimpin ekspedisi pertama ke Pulau Bali sebagai penyebar agama Hindu
dengan membawa pengikut sekitar 400 orang. Ekspedisi pertama itu diceritakan
mengalami kegagalan.
Ekspedisi kedua
dilaksanakan dengan membawa pengikut sekitar 2.000 orang yang akhirnya dengan
berhasil gemilang. Adapun hutan yang pertama dibuka adalah hutan Taro di
wilayah Payangan Gianjar dan dia mendirikan sebuat pura tempat pemujaan di desa
Taro. Pura ini dberi nama pura Murwa yang berate permulaan. Dari daerah ini dia
dengan pengikutnya mengembangkan wilayah menuju pangkal Gunung Agung di wilayah
Besakih saat ini.
Agama Hindu di
Bali sampai saat ini terus berkembang dan mendapat pembinaan secara teratur,
sehingga menurut keterangan jumlah penganutnya sekitar 95%.[2]
2.
Konsep Ketuhanannya
Perlu diketahui
bahwa agama Hindu Bali percaya kepada Tuhan Yang Maha Esa, yang dalam
praktiknya dapat dicapai melalui perantaraan dewa. Orang Hindu Bali juga
mengenal dewa Brahma, Wisnu, dan Syiwa, hanya saja dalam agama Hindu Bali lebih
memuliakan dewa Syiwa dari pada dewa lainnya.
Mereka percaya
kepada satu Tuhan Yang Maha Esa. Soal nama Tuhan, tergantung pada cara mereka
menyembutkannya. Kadang-kadang disebut dewa Brahma, Hyang Widhi, Hyang Wasa,
dan lain-lain, namun yang memegang kekuasaan tertinggi itu hanya satu saja.
Dalam Weda
disebutkan: “Ekan Eva Adwiyam Brahman” yang artinya: “hanya satu tiada
dua-Nya, yaitu Brahman”.
Meskipun Tuhan
satu tapi dapat dimanifestasikan dalam bermacam-macam nama menurut sifat dan
kekuasaan yang ada pada-Nya. Bila dilihat dari fungsi-fungsinya Sang Hyang
Widhi itu dapat disebut dengan nama utama dari Trisaykti yaitu Brahma, yaitu
Sang Hyang Widhi dalam fungsi sebagai pencipta. Wisnu, Sang Hyang Widhi dalam
fungsinya sebagai pemelihara, dan Syiwa, Sang Hyang Widhi dalam fungsinya
sebagai pelebur/ perusak dunia beserta isinya.[3]
3.
Tradisi dan Adat Istiadat
Tradisi dan adat istiadat agama hindu bali (hindu dharma) dapat
dikemukakan sebagai berikut:
a.
Upacara
1)
Upacara Korban (Yadnya);
Untuk
menghindari hal-hal yang tidak diinginkan masyarakat Bali senantiasa mengadakan
uapacara-upacara untuk dewa-dewa. Dalam upacara pemujaan dewa-dewa Hindu Dharma
terdapat beberapa macam yajnya (kurban). yajnya dimaksud adalah
“Butta Yatnya” yaitu kurban-kurban kepada makhluk halus/ dewa penjaga alam. Butta
Yajnya tersebut dilakukan dalam 3 maca bentuk upacara kurban: pertam tawur
agung yaitu, kurban yang dilaksakan dalam satu tahun sekali. Kedua Tawur
Panca Wali Karma yaitu upacara kurban yang dilakukan tiap 10 tahun sekali
dan ketiga Tawur Eka Dsas Rudra, upacara kurban yang dilakukan setiap
100 tahun sekali.
2)
Sakremen (upacara suci);
Adapun upacara
yang paling utama ialah Tawur Agung Eka Dasa Rudra, karena upacara ini
usaha mencari keselamatan hidup disamping pengakuan dosa-dosa manusia selam 100
tahun. (tawur artinya pembayaran, penebusan atau pembersihan. Agung
artinya bersar-besaran. Eka dasa artinya seratus dan Rudra adalah
makhluk halus penjaga mata angina/alam).
Sedangkan
upacara yang bersifat perorangan ialah. Upacara Ngaben, yaitu upacara
pembakaran jenasah. Upacara ini dilakukan sesuai dengan kemampuan kelauarga yang
meninggal, kadang-kadang dilakukan dengan biaya besar, sedang dan kecil. Ngben
terkadang dilakukan secara masal yang sebaian biaya, bantuan dari berbagai
pihak dan juga pemerintah. Upacara ini dilakukan untuk membersihkan roh yang
meninggal.[4]
b.
Tempat ibadat/ tempat pemuja dewa-dewa
Tempat untuk
memuja para dewa ialah kuil, yang oleh orang Bali dinamakan pura, sanggar, dewa
griha dan sebagainya. Di bawah ini dapat kita sebutkan beberapa nama pura
beserta fungsinya:
a.
Sanggar : yaitu kuil yang berada di rumah-rumah
orang biasa
b.
Pamerajan : yaitu kuil yang berada dirumah-rumah
orang yang terkemuka.
c.
Pura
desa/
Bali Agung : yaitu kuil yang berada di desa-desa.
d.
Pura
dalam : yaitu kuil kematian pada
tiap-tiap desa.
e.
Pura
subak : yaitu pura untuk
orang-orang anggopta subak (subak irigasi)
f.
Pura
danau : yaitu kuil yang dibuat
orang di tepi telaga.
g.
Pura
segara : yaitu kuil untuk memuja
dewa Baruna (dewa laut).
h.
Pura
kabuyutan : yaitu kuil untuk memuja arwah
nenek moyang.
Pada umumnya
pura-pura tersebut di atas terdiri atas 3 bagian:
1.
Bagian
muka berupa ruangan kosong.
2.
Bagian
tengah adalah tempat untuk menyiapkan sesaji.
3.
Bagian
belakang adalah yang terpenting, karena merupkan tempat paling suci. Bagian ini
dibagi lagi 3 bagian kecil, masing-masing sebagai tempat bersemayamg dewa-dewa
yaitu dewa Brahma, Wisnu, dan Siwa.
Pimpinan
upacara penyembahan terhadap dewa-dewa disebut: pedanda. Tugasnya ialah membuat
air suci pada tiap-tiap upacara. Adapun caranya ialah dengan mengosongkan
rohnya (bersemedi) agar dimasuki oleh dewa Siwa yang kemudian membuat air suci.
Sesusah itu buah-buahan dan sajian-sajian yang hendak dipersembahkan kepada
dewa tadi diperciki dengan air seci ini sambil mengucapkan mantera-mantera.[5]
4.
Hari-hari Besar Umat Hindu Dharma.
Dalam agama Hindu Dharma ditemui hari-hari besar/hari raya di
antaranya:
a. Hari Raya Galungan
Kata Galungan berasal dari Bahasa jawa. Kuno, yang
artinya "Menang atau Ber-tarung". Galungan juga sama artinya dengan
Dungulan yang juga berarti menang.
Kagan mula pertama hari raya. Galungan dirayakan masih
sulit ditentukan, hanya menurut keterangan, hari raya tersebut dilaksanakan
pada Tahun Saka 804 atau tahun 882 Masehi.
Inti upacara Galungan adalah menyatukan kekuatan rohani
agar mendapat pikiran dan pendirian yang terang. Bersatunya rohani dan pikiran
yang terang inilah wujud dharma dalarn. diri. Sedangkan segala
kekacauan pikiran itu adalah wujud adharma. Dengan kata lain hakikat
Galungan adalah memenangkan dharma melawan adharma.[6]
b.
Hari Raya Saraswati
Merayakan hari raya ini dianggap penting oleh umat
Hindu. Menurut legenda Saraswati adalah Dewi/istri Brahma. Saraswati adalah
Dewi Pelindung/Pelimpah pengetahuan, kesadaran. Berkat anugerah dewi Saraswati
manusia menjadi beradab dan berkebudayaan.
Dewi Saraswati digambarkan sebagai seorang wanita
cantik dan bertangan empat..Biasanya tangan-tangan tersebut memegang Gciiitri
(tasbih), Kropak (lontar), Witia (alat musik) dan sekuntum
bunga teratai dan di dekatnya biasanya terdapat burung merak dan angsa yang
bisa. terbang.
Peringatan hari raya ini, menurut beberapa kepustakaan
Hindu adalah dalam rangka mengingat kembali ajaran-ajaran agama dan kesusilaan.
Setelah Saraswati puja selesai, biasanya dilakukan seinedidi
tempat yang suci di malam hari atau melakukan pembacaan lontar-lontar semalam
suntuk dengan tujuan untuk menemukan pencerahan Ida Hyang Saraswati.
Besok harinya dilaksanakan Baizyii Pitiaruh (Pagi
buta berkeramas dengan air Kunikutilati).[7]
c.
Hari Raya Nyepi
Hari raya Nyepi dirayakan setiap Tahun Baru Saka.
Tujuan utama perayaan ini adalah memohon ke hadapanTuhai untuk mensucikan alam
manusia dan alam semesta.
Ada 4 (empat) pantangan yang wajib diikuti saat hari
raya Nyepi (Catur Berata Penyepian)
Pertama; Amati
Geni (mematikan api kosmos
untuk rnenghidupkan api spiritual yang ada dalam diri. Kedua; Amati
karya (menghentikar, kegiatan kerja dan mencari makna dan hakikat kerja
yang sesungguhnya) Ketiga; Amati Lelanguan (tidak bersuka-ria
agar menemukan kesadaran akan kenikmatan semu yang selama ini dinikmati.
Keempat; Atnati Lenguan (tidak mengikuti keinginan untuk
bepergian)."'
Pada saat pelaksanaan catur brata itu pula dilakukan
Mulat Sari, perenungan mendalam "mengaca diri" untuk membuka
tabir kegelapan agar memperoleh pengetahuan sejati dan kesadaran diri akan
nilai-nilai kemanusiaan.
Dalam kesenyapan hari Nyepi, diharapkan umatnya
mengadakan mawas diri, menyatukan pikiran, menyatukan cipta, rasa, dan karsa
menuju penemuan hakikat keberadaan diri dan inti sari kehidupan semesta.
Keesokan harinya yaitu hari raya Ngembak Geni, segenap
isi rumah keluar pekarangan dan bennaaf-maafan dengan tetangga dan handai tolan
yang ditemui, dalam suasana batin yang bersih dan dipenuhi kebijaksanaan.[8]
d.
Hari Raya Kuningan
Hari raya. Kuningan adalah hari raya yang dirayakan
oleh umat Hindu Dharma. perayaan ini jatuh pada hari Saiiiscara (Sabtu),
Kliwon, wuku Kuningan. Hari raya ini dilaksanakan setiap 210 hari, dengan
menggunakan perhitungan kalender Bali.
Sabtu, hari ketujuh dalam satu pekan. Konon kata Sabtu
diambil dari bahasa Iberani (Sabbat), yang berarti berhenti.
(Minggu-Senin-Selasa-RabuKamis-Jum'at-Sabtu). Perayaan hari raya ini, intinya
meminta perlindungan kepada Batara Indera.[9]
5.
Salam dalam Agama Hindu
Untuk membina hubungan yang harmonis dan mempererat
persaudaraan dalam pergaulan di masyarakat, agama Hindu mengajarkan salam
persaudaraan dengan ucapan "OM SWASTYASTU". Salam ini dapat
juga digunakan dalam memulai dan mengakhiri suatu kegiatan. Khusus dalam
mengakhiri suatu kegiatan dapat juga memakai "OM SANTI, SANTI, SANTI,
OM", yang artinya Semoga damai. "OM" yang berasal
dari "A" simbol Brahma; "U" adalah simbol
Wisnu dan "M" adalah simbol Syiwa. Lalu diucapkan AUM
atau OM.
Pada waktu mengucapkan salam, kedua tangan dicakupkan di
depan dada dengan ujung jari mengarah ke atas, tetapi kalau keadaan tidak
memungkinkan, sikap ini boleh tidak dilakukan. Yang menerima salam seyogyanya
menjawab dengan ucapan OM SWASTYASTU dengan sikap yang sama pula.
OM, = Tuhan, SU, = baik, ASTI, = ada dan ASTU =
semoga. Jadi OM SWASTYASTU artinya SEMOGA SELAMAT ATAS RAHMAT TUHAN
YANG MAHA ESA. Dengan demikian pada setiap kegiatan telah dilaksanakan
saling doa-mendoakan antara satu dengan yang lainnya.[10]
6.
Kasta dalam Agama Hindu Dharma
Kasta dari bahasa Portugis adalah pembagian masyarakat. Kasta yang sebenarnya merupakan perkumpulan
tukang-tukang, atau orang-orang ahli dalam bidang tertentu, semestinya harus
dibedakan dari warna atau Catur Warna (Hindu),
karena memang pengertian di antara kedua istilah ini tidak sama. Pembagian manusia dalam masyarakat agama Hindu:
Sedangkan di
luar sistem Catur Warna tersebut, ada pula istilah :
1. Kaum Paria, Golongan orang terbuang yang dianggap hina
karena telah melakukan suatu kesalahan besar
Dalam agama Hindu, istilah Kasta disebut dengan Warna (Sanskerta: varṇa).
Akar kata Warna berasal dari bahasa Sanskerta vrn yang berarti “memilih (sebuah
kelompok)”. Dalam ajaran agama Hindu, status seseorang didapat sesuai dengan
pekerjaannya. Dalam konsep tersebut diuraikan bahwa meskipun seseorang lahir
dalam keluarga Sudra (budak)
ataupun Waisya (pedagang),
apabila ia menekuni bidang kerohanian sehingga menjadi pendeta, maka ia berhak menyandang status Brahmana (rohaniwan). Jadi, status seseorang tidak didapat
semenjak dia lahir melainkan didapat setelah ia menekuni suatu profesi atau
ahli dalam suatu bidang tertentu.
Dalam tradisi Hindu, Jika seseorang ahli dalam bidang kerohanian
maka ia menyandang status Brāhmana. Jika seseorang ahli atau menekuni bidang
administrasi pemerintahan ataupun menyandang gelar sebagai pegawai atau
prajurit negara, maka ia menyandang status Ksatriya. Apabila
seseorang ahli dalam perdagangan, pertanian, serta profesi lainnya yang
berhubungan dengan niaga, uang dan harta benda, maka ia menyandang status Waisya. Apabila seseorang menekuni profesi sebagai
pembantu dari ketiga status tersebut (Brahmana, Ksatriya, Waisya), maka ia
menyandang gelar sebagai Sudra.
Pada masyarakat
Hindu di Bali, terjadi kesalahan dan kekaburan dalam pemahaman dan
pemaknaan warna, kasta, dan wangsa yang berkepanjangan. Dalam agama Hindu tidak
dikenal istilah Kasta. Istilah yang termuat dalam kitab suci Veda adalah Warna.
Apabila kita mengacu pada Kitab Bhagavadgita, maka yang dimaksud dengan Warna
adalah Catur Warna, yakni pembagian masyarakat menurut Swadharma
(profesi) masing-masing orang. Sementara itu, yang muncul dalam kehidupan
masyarakat Bali adalah Wangsa, yaitu sistem kekeluargaan
yang diatur menurut garis keturunan. Wangsa tidak menunjukkan stratifikasi sosial yang
sifatnya vertikal (dalam arti ada satu Wangsa yang lebih tinggi
dari Wangsa yang lain). Namun demikian, tidak dapat dipungkiri bahwa masih ada
warga masyarakat yang memiliki pandangan bahwa ada suatu Wangsa yang dianggap
lebih tinggi daripada Wangsa yang lain. Untuk merubah pandangan seperti ini
memang perlu sosialisasi dan penyamaan persepsi. Oleh karena itu, lebih baik
tidak diperdebatkan lagi.[11]
C. PENUTUP
KESIMPULAN
Hindu Dharma adalah penamaan atas agama yang dianut oleh masyarakat
Bali. Perlu diketahui bahwa agama Hindu Bali percaya kepada Tuhan Yang Maha
Esa, yang dalam praktiknya dapat dicapai melalui perantaraan dewa. Orang Hindu
Bali juga mengenal dewa Brahma, Wisnu, dan Syiwa, hanya saja dalam agama Hindu
Bali lebih memuliakan dewa Syiwa dari pada dewa lainnya dan semuanya itu adalah
penamaan saja terhadap tuhan mereka, sebenarnya dalam Weda disebutkan: “Ekan
Eva Adwiyam Brahman” yang artinya: “hanya satu tiada dua-Nya, yaitu
Brahman”.
Dalam agama Hindu Dharma terdapat upacara seperti korban (Yadnya)
dan sekremen (upacara suci). Sedangkan dari tempat ibadatnya untuk memuja dewa
adalah kuil, yang oleh orang Bali dinamakan pura, sanggar, dewa
griha dan sebagainya. Di bawah ini dapat kita sebutkan beberapa nama pura
beserta fungsinya.
Hindu dharma terdapat hari-hari raya (hari yang wajib diperhatikan
oleh umatnya), yaitu:
- Hari Raya Galungan;
- Hari Raya Saraswati;
- Hari Raya Nyepi;
- Hari Raya Kuningan.
Agama Hindu mengajarkan salam persaudaraan dengan ucapan "OM
SWASTYASTU". Salam ini dapat juga digunakan dalam memulai dan
mengakhiri suatu kegiatan. Khusus dalam mengakhiri suatu kegiatan dapat juga
memakai "OM SANTI, SANTI, SANTI, OM".
Dalam agama Hindu tidak dikenal istilah Kasta. Istilah yang termuat
dalam kitab suci Veda adalah Warna. Apabila kita mengacu pada Kitab
Bhagavadgita, maka yang dimaksud dengan Warna adalah Catur Warna, yakni
pembagian masyarakat menurut Swadharma (profesi) masing-masing
orang. Sementara itu, yang muncul dalam kehidupan masyarakat Bali adalah Wangsa,
yaitu sistem kekeluargaan yang diatur menurut garis keturunan.
DAFTAR PUSTAKA
Ahmadi, Abu, Perbandingan Agama, Jakarta: PT Asdi Mahasatya,
1980.
Jirhanuddin, Perbandingan Agama, Yogyakarta: Pustaka
Pelajar, 2010.
Http://id.wikipedia.org/wiki/Agama_Hindu_Dharma, diakses pada tanggal 15 Mei 2012