Faham keadilan Tuhan banyak tergantung pada faham kebebasan manusia dan faham sebaliknya, yaitu kekuasaan mutlak Tuhan.
Kaum
mu’tazilah, karena percaya pada kekuatan akal dan kemerdekaan serta
kebebasan manusia. Mempunyai tendensi untuk meninjau wujud ini dari
sudut rasio dan kepentingan manusia. Memang dalam faham Mu’tazilah semua
makluk lainnya diciptakan Tuhan untuk kepentingan manusia. Mereka
selanjutnya berpendapat bahwa manusia yang berakal sempurna, kalau
berbuat sesuatu, meski mempunyai tujuan. Manusia yang demikian berbuat
untuk kepentingannya sendiri ataupun untuk kepentingan orang lain. Tuhan
juga mempunyai tujuan dalam perbuatan-perbuatan-Nya, tetapi karena
Tuhan maha suci dari sifat berbuat untuk kepentingan diri sendiri,
perbuatan-perbutan Tuhan adalah untuk kepentingan mawjud lain,
selain Tuhan. Berlandaskan argument-argumen ini kaum Mu’tazilah
berkeyakinan, bahwa wujud ini diciptakan untuk manusia, sebagai makhluk
tertinggi, dan oleh karena itu mempunyai kecenderungan untuk melihat
segala-galanya dari sudut kepentingan manusia.
Kaum
Asy’ariah, karena percaya pada mutlaknya kekuasaan Tuhan, mempunyai
tendensi yang sebaliknya. Mereka menolak faham Mu’tazilah bahwa Tuhan
mempunyai tujuan dalam perbuatan-perbutan-Nya. Bagi mereka
perbutan-perbutan Tuhan tidak mempunyai tujuan, tujuan dalam arti sebab
mendorong Tuhan untuk berbuta sesuatu. Betul mereka mengakui bahwa
perbutan-perbutan Tuhan menimbulkan kebaikan dan keuntungan bagi manusia
dan bahwa Tuhan mengakui kebaikan dan keuntungan itu, tetapi
pengetahuan maupun kebaikan serta serta keuntungan-keuntungan itu,
tidaklah menjadi pendorong bagi Tuhan untuk berbuat. Tuhan berbuat
semata-mata karena kekuasaan dan kehendak mutlak-Nya dan bukan karena
kepntingan manusia atau karena tujuan lain. Dengan demikian kereka
mempunyai tendensi untuk meninjau wujud dari sudut kekuasaan dan
kehendak mutlak Tuhan.
Dalam hal ini, kaum Muturidiah golongan bukhara
mempunyai sikap yang sama dengan kaum Asy’ariyah. Menurut Al-Bazdawi,
tidak ada tujuan yang mendorong Tuhan untuk menciptakan kosmos ini.
Tuhan sekehendak hati-Nya. Keadaan tuhan bersifat bijaksana tidaklah
mengandung arti bahwa disebalik perbutan-perbutan Tuhan terdapat
hikmat-hikmat. Dengan lain kata, Al-Bazdawi berpendapat bahwa alam tidak
diciptakan Tuhan untuk kepentingan manusia.
Kaum maturidiah golongan Samarkand, karena menganut faham free will dan free act, serta
adanya batasan bagi kekuasaan mutlak Tuhan, dalam hal ini mempunyai
posisi yang lebih dekat kepada kaum Mu’tazilah dari pada kaum Asy’ariah.
Tetapi tendensi golongan ini meninjau wujud dari sudut kepentingan
manusia yang lebih kecil dari tendensi kaum Mu’tazilah. Hal itu mungkin
disebabkan oleh karena kekuasaan yang diberikan golongan samarkand kepada akal serta batasan yang mereka berikan kepada kekuasaan mutlak Tuhan, lebih kecil dair yang diberikan kaum Mu’tazilah.
Berdasarkan
atas tendensi Mu’tazilah yang dijelaskan di atas, soal keadilan mereka
tinjau dari sudut pandangan manusia. Bagi mereka, sebagai diterangkan
oleh ‘Abd al-jabbar, keadilan erat hubungannya dengan hak, dan keadilan
diartikan memberi seseorang akan haknya. Kata-kata “Tuhan Adil”
mengandung arti bahwa segala pebutan-Nya adalah baik, bahwa ia tidak
dapat berbuat buruk, dan bahwa ia tidak dapat mengabaikan
kewajiban-kewajiban-Nya. Terhadap mausia. Oleh karena itu Tuhan tidak
dapat berisfat zalim dalam memberi hukuman, tidak dapat menghukum anak
orang musyrik lantaran dosa orang tuanya, tidak dapat meletakkan
beban yang tak dapat dipikul oleh manusia, dan semesti memberi upah
kepada orang yang patuh pada-Nya. Dan memberi hukuman kepada orang yang
menentang perintah-Nya. Selanjutnya keadilan juga mengandung arti
berbuat menurut semestinya serta sesuai dengan kepentingan manusia, dan
memberi upah atau hukuman kepada manusia sejajar dengan corak
perbutannya. Menurut al-Nazzam dan pemuka-pemuka Mu’tazilah lainnya,
tidak dapat dikatakan bahwa Tuhan berdaya untuk bersifat zalim,
berdusta, dan untuk tidak berbuat apa yang terbaik bagi manusia.
Jelaslah
kiranya, bahwa faham keadilan bagi kaum Mu’tazilah mangandung arti
kewajiban-kewajiban yan harus dihormati Tuhan. Keadilan bukanlah hanya
berarti memberi upah kepada yang berbuat baik dan memberi hukuman kepada
yang berbuat salah. Faham “Tuhan berkewajiban membuat apa yang terbaik
bagi manusia” saja mangandung arti yang luas sekali, seperti tidak
memberi beban yang terlalu berat bagi manusia, pengiriman Rasul dan
Nabi-nabi, memberi manusia daya untuk melaksanakan kewajiban-kewajiban
yang sebagainya. Semua ini merupakan menghendaki supaya Tuhan
melasanakan kewajiban-kewajiban itu. Demikian kaum Mu’tazilah.
Kaum
Asy’ariah memberikan interpretasi yang berlainan sekali dengan
interpretasi Mu’tazilah di atas. Sesuai dengan tendensi mereka untuk
menjau segala-galanya dari sudut kekuasaan dan kehendak mutlak Tuhan,
keadilan mereka artikan “menempatkan sesuatu pada tempat yang
sebenarnya, yaitu mempunyai kekuasaan mutlak terhadap harta yang
dimiliki serta mempergunakannya seuasi dengan kehendak dan pengetahuan
pemilik”. Dengan demikian keadilan Tuhan mengandung arti bahwa Tuhan
mempunyai kekuasaan mutlak tehadap makhluknya dan dapat berbuat
sekehendak hati-Nya dalam kerajaan-Nya. Ketidak adilan, sebaliknya
berarti “menempatkan sesuatu tidak pada tempatnya, yaitu berkuasa mutlak
terhadap hak milik orang”.
Oleh
Karena itu, Tuhan dalam faham kaum Asy’ ariah dapat berbuat apa saja
yang dikehendaki-Nya, sungguhpun hal sedemikian itu, menurut pandangan
manusia, adalah tidak adil, Al-Asy’ari sendiri berpendapat bahwa tuhan
tidaklah berbuat salah kalau memasukkan seluruh manusia ke dalam sorga
dan tidaklah zalim jika ia memasukkan seluruh manusia ke dalam neraka.
Perbuatan salah dan tidak adil adalah perbutan yang melanggar hukum, dan
karena diatas tuhan tidak ada undang-undang atau hukum. Dengan demikian
Tuhan tidak bisa dikatakan bersifat tidak adil. Al-Ghazali mengeluarkan
pendapat yang sama. Ketidak adilan dapat timbul hanya jika seseorang
melanggar hak orang lain dan jika seseorang harus berbuat sesuai dengan
perintah dan kemudian melanggar perintah itu, perbuatan yang demikian
tidak mungkin ada pada Tuhan.
Oleh
karena itu, Tuhan sebagai pemilik yang berkuasa mutlak, dapat berbuat
apa saja yang dikehendaki-Nya dengan makhluk-Nya. Al-Asy’ari memang
berpendapat bahwa Tuhan dapat menyakiti anak-anak kecil di hari kiamat,
dapat menjatuhkan hukuma pada orang mukmin dan dapat memasukkan orang
kafir ke dalam sorga. Sekiranya ini dilakukan Tuhan, Tuhan tidaklah
berbuat salah. Tuhan tetap bersifat adil. Upah yang diberikan Tuhan
hanyalah rahmat dan hukuman tetap merupakan keadilan Tuhan. Tuhan tidak
berkewajiban memberikan pahala. Sebagai kata Al-Ghazali, Tuhan
memberikan upah kepada manusia, jika yang demikian dikehendaki-Nya, dan
memberikan hukuman, jika itu pula dikehendaki-Nya, bahkan mengahancurkan
manusia, jika demikianlah yang dikehendaki-Nya. Sungguhpun demikian
Tuhan tetap bersifat adil. Demikianlah pendapat kaum Asy’ariah.
Jelaslah
sudah kiranya bahwa faham Asy’ariah tentang keadilan Tuhan bertentangan
benar dengan faham yang dibawa kaum Mu’tazilah. Keadilan dalam faham
kaum Asy’ariah ialah keadilan raja. Absolut, yang memberi hukuman
menurut kehendak mutlaknya, tidak terikat pada kekuasaan, kecuali
kekuasaan sendiri. Keadilan faham kaum Mu’tazilah adalah keadilan Raja
kanstitusionil, yang kekuasaannya dibatasi oleh hukum, sungguhpun
hukuman itu adalah perbuatannya sendiri. Ia mengeluarkan hukuman sesuai
dengan hukum dan bukan dengan sewenang-wenang.
Kaum maturidiah golongan bukhara mengambil posisi yang lebih dekat kepada posisi kaum Asy’ariah dalam hubungan ini, sedangkan gologan samarkand mengambil posisi lebih dekat kepada kaum Mu’tazilah.
Jika
dalam soal keadilan ini kaum Mu’tazilah tidak mengdapi dilemma, kaum
Asy’ariah sebaliknya, dihadapkan dengan persoalan yang sulit. Karena
pada hakekatnya adalah perbutan Tuhan, maka Tuhan akan bersifat adil,
bahkan zalim, jika memberikan hukuman kepada seseorang atas kejahatan
yang terpaksa ia lakukan atau lebih tegas lagi atas kejahatan yang ada
pada hakekatnya bukanlah perbuatannya. Untuk mengatasi kesulitan ini,
kaum Asy’ariah, seperti dilihat diatas, merobah definisi yang biasa
dipakai untuk keadilan, sehingga keadilan dalam hal ini sesuai dengan
teori mereka tentang al-kasb dan tentang kekuasaan serta kehendak mutlak Tuhan.
Bagi kaum Mu’tazilah dan kaum maturidiah golongan samarkand
persolan demikian timbul, karena bagi mereka perbutan manusia bukanlah
perbutan Tuhan tetapi adalah perbutan manusia sendiri. Jadi manusia
dihukum atas perbutan yang dikehendakinya dan yang dilakukannya atas
perbutan yang dikehendakinya dan yang dilakukannya bukan dengan paksaan
serta kehendak mutlak Tuhan.
Bagi kaum Maturidiyah golongan Bukhara, karena sefaham dengan kaum Asy’ariah, persoalan itu pada dasarnya ada, tetapi faham masyi’ah dan rida membebaskan golongan Bukhara
dari persoalan ini. Sebagai telah dijelaskan sebelumnya, sengguhpun
manusia, dalam faham Maturidiah, berbuat buruk atas kehendak Tuhan,
dalam faham itu tidak diridai Tuhan. Karena menentang rida Tuhan,
tidaklah dapat dikatakan bahwa Tuhanlah bersifat tidak adil kalau Ia
memberi hukuman kepada orang yang berbuat jahat. (Referensi: Harun
Nasution, Teologi Islam, Universitas Indonesia (UI), jakarta, 1985)