Saturday, February 16, 2013

Kaum Jabariyah

Pendapat saya terhadap ajaran Jabariah ini, bahwa manusia tidak mempunyai kemerdekaan dalam menentukan kehendak dan perbutannya. Manusia dalam faham ini terikat pada kehendak mutlak Tuhan. Jadi nama Jabariyah berasal dari kata jabara yang mengandung arti memaksa. Memang dalam aliran ini berpendapat faham bahwa manusia mengerjakan perbutannya dalam keadaan terpaksa. Dalam istilah inggris faham ini disebut fatalism atau predestination. Perbuatan-perbutan manusia telah ditentukan dari semula oleh kada dan kadarnya[1].


Istilah Jabariyah dapat diartikan menolak adanya perbuatan dari manusia dan menyandarkan semua perbuatan kepada Allah SWT. Berdasarkan pengertian ini, Jabariah ada dua bentuk:

1. Jabariah murni, yang menolak adanya perbutan dari manusia dan memandang manusia tidak mempunyai kemampuan untuk berbuat, dan

2. Jabariah pertengahan yang moderat, yang mengakui adanya perbutan diri manusia namun perbutan manusia tidak membatasi.

Orang yang mengaku adanya perbutan dari makhluk ini menamakan “kasab” bukan termasuk Jabariah[2].

Faham jabariah, kelihatannya ditonjolkan buat pertama kali dalam sejarah teologi islam oleh al-Ja’d ibn Dirham. Tetapi yang menyiarkannya adalah Jahm ibn Safwan (124 H) dari Khurasan. Jahm yang terdapat dalam aliran jabariah ini sama dengan Jahm yang mendirikan golongan al-jahmiah dalam kalangan Murji’ah sebagai sekretaris dari Syuraih ibn al-Haris, ia turut dalam gerakan melawan kekuasaan Bani Umayyah. Dalam perlawanan itu Jahm sendiri dapat ditangkap dan kemudian dihukum bunuh ditahun (131-H)[3] ia mati dibunuh Muslim Ibn Ahwas al-Mazini pada akhir masa pemerintahan khalifah Malik ibn Marwan, salah seorang khalifah Bani Umayyah.

Aliran ini tersebar di daerah Tirmiz, Sekalipun ia sependapat dengan Mu’tazilah yang menolak adanya sifat amaliyah bagi Allah namun ia berbeda pendapat dengan Mu’tazilah dalam beberapa hal:

1. Menurutnya makhluk tidak boleh memiliki sifat yang sama dengan sifat Allah dan kalau terjadi berarti menyamakan Allah dengan makhluk-Nya. Ia menolak kedaan Allah maha Hidup dan maha mengetahui, namun ia mengakui keadaan Allah maha kuasa. Allah-lah yang mebuat dan menciptakan, karena itu makhluk tidak mempunyai kekuasaan.

2. Ia mengakui Ilmu Allah bukan sifat zat-Nya. Katanya: suatu yang belum diciptakan Allah belum diketahui Allah. Kalau Allah yang lebih dahulu mengetahuinya baru diciptakan apakah ilmu Allah terhadap sesuatu yang belum diciptakan sama dengan ilmu Allah sudah diciptakan? Dan kalau ilmu Allah sebelum dan sesudah diciptakan sama maka dapat dikatakan Allah itu jahil. Karena itu ilmu Allah terhadap sesuatu yang belum diciptkan tidak sama dengan ilmu Allah terhadap Sesuatu yang sudah diciptakan. Dan juga kalau ilmu Allah dan sesudah sesuatu diciptkan tidak sama berarti ilmu Allah berubah, sedangkan yang dapat menerima perubahan itu adalah makhluk yang bukan qadim, pendapat ini nampaknya sama dengan pendapat yang pernah diungkapkan terdahulu oleh Hisyam ibn al-Hakam. Katanya: kalau dikatakan ilmu Allah itu termasuk baharu (ciptaan-Nya) maka akan terjadi salah satu dari kedua hal; sifat baharu terjadi pada zat Allah yang mengakibatkan zat-Nya berubah, sedangkan zat itu tidak terjadi pada zat yang menjadi tempat sifat yang baru sedangkan sifat itu sendiri bukan zat Tuhan. Karena itu dapat dikatkan sifat tidak mempunyai tempat. Ia mengakui bahwa ilmu Allah itu baru karena banyak yang baru yang diketahui Allah.

3. Manusia tidak mempunyai kekuasaan sedikit pun, manusia tidak dapat dikatakan mempunyai kemapuan (istithaah). Perbutan yang tampaknya lahir dari manusia bukan dari perbuatan manusia, karena manusia tidak mempunyai pilihan antara memperbuat atau tidak memperbuat. Sama perbutan yang terjadi pada makhluk adalah perbutan Allah dan perbuatan itu disandarkan kepada makhluk hanya penyandaran majazi. Sama seperti kata orang pohon berbuah, air mengalir, batu bergerak, matahari terbit dan tenggelam, langit berawan, hujan turun, bumi beredar dan biji-bijian tumbuh dan sebagainya. Pahala da siksa adalah perbuatan Allah yang lahir pada manusia, dan demikian semua perbutan lahir dari makhluk itu adalah perbutan Allah maka termasuk semua macam ibadah dan perintah serta larangan juga manusia termasuk perbutan Allah.

4. Manusia akan kekal, baik dalam surga maupun di dalam neraka. Surga dan neraka akan fana apabila semua calon penghuninya masuk kedalamnya. Penghuni neraka merasakan kepedihan siksa. Karena itu tidak akan tergambark akan berakhirdan berubah, ia menakwilakan firman Allah:



خَالِدِيِنَ فِيْهاَ



“…mereka kekal di dalamnya….”

Menurutnya hanya menunjukkan terlalu lama, bukan karena kekal, seperti dalam ungkapan “Allah mengekalkan kekuasaan si fulan”. Ia juga mengemukakan alasan bahwa keadaan penghuni surga mereka tidak berubah degan firman Allah:

* $¨Br&ur tûïÏ%©!$# (#r߉Ïèß™ ’Å"sù Ïp¨Ypgø:$# tûïÏ$Î#»yz $pkŽÏù $tB ÏMtB#yŠ ßNºuq»yJ¡¡9$# ÞÚö‘F{$#ur žwÎ) $tB uä!$x© y7•/u‘ ( ¹ä!$sÜtã uŽöxî 7Œrä‹øgxC ÇÊÉÑÈ

Artinya: Adapun orang-orang yang berbahagia, Maka tempatnya di dalam syurga, mereka kekal di dalamnya selama ada langit dan bumi, kecuali jika Tuhanmu menghendaki (yang lain); sebagai karunia yang tiada putus-putusnya. (huud: 108).

Menurutnya ayat ini mencakup syarat dan pengecualian, sedangkan kekekalan dalam surga dan di dalam neraka tidak dapat dikecualikan.

5. siapa yang memiliki ma’rifat (pengenalan) kepada Allah, kemudian ia mengingkari Allah dengan lisannya ia tidak dapat dikatakan kafir. Karena pengetahuan dan ma’rifat tidak akan terhapus dengan adanya keinginan dan ia katakan masih mukmin. Katanya: iman tidak tidak berdiri dari tashdiq, perbuatan. Iman bentuknya sama, baik baik iman para nabi maupun iman umatnya. Karena ma’rifah itu sendiri tidak ada tingkatannya. Para ulama salaf seluruhnya menolak pendapat ini, mereka menganggap Jaham termasuk orang yang tidak mengakui adanya Tuhan. Jaham juga sependapat dengan kelompok mu’tazilah diakhirat dan ia mengatakan bahwa Kalam Allah termasuk makhluk dan wajib mencapai ma’rifah sebelum diturunkan wahyu[4].



Dampak negative yang mempengaruhi ajaran Jabariah

Menurut faham ekstrim ini, segala perbuatan manusia tidak merupakan perbuatan yang timbul dari kemauan sendiri, tetapi perbuatan yang dipaksakan atas dirinya. Kalau manusia mencuri, umpamanya, maka perbuatan mencuri itu bukanlah terjadi atas kehendaknya sendiri, tetapi timbul karena kada dan kadar Tuhan menghendaki demikian. Dengan kata kasarnya, ia mencuri bukanlah atas kehendaknya, tetapi tuhanlah yang memaksanya mencuri. Manusia, dalam faham ini hanya merupakan wayang yang digerakkan dalang, demikian pula manusia bergerak dan berbuat karena digerakkan Tuhan. Tanpa gerak dari Tuhan mausia tidak bisa berbuat apa-apa[5]

Kalau faham fatalisme yang dibawa Jahm seperti diuraikan di atas merupakan fatalisme dalam bentuk ekstrim, al-Syahratani menyebut faham Jabariah lain bersifat moderat. Faham itu dibawa oleh al-husain Ibn Muhammad al-Najjar. Tuhanlah, kata al-Najjar, yang menciptakan perbutan-perbuatan manusia, baik perbutan jahat maupun perbutan baik, tetapi manusia mempunyai bahagian dalam perwujudan perbuatan-perbutan itu. Tenaga yang diciptakan dalam diri manusia mempunyai efek untuk wujudkan perbutan-perbutannya. Dan inilah yang dimaksud dengan kasb atau acquisition, faham yang sama diberikan oleh Dirar ibn ‘Amr ketika ia katakana bahwa perbutan-perbuatan manusia hakekatnya diciptakan Tuhan, dan diperoleh (aquired, iktasaba) pada hakekatnya oleh manusia.

Dalam faham yang dibawa al-Nijjar dan Dirar manusia tidak lagi hanya merupakan wayang yang digerakkan dalang. Manusia telah mempunyai bahagian dalam perwujudan pebutan-perbutannya, bahagaian yang efektif dan bukan bahagian yang tidak wajib efektif. Menurut faham ini Tuhan dan manusia bekerja sama dalam mewujudkan perbutan-perbutan manusia. Manusia tidak semata-mata dipaksa dalam melaksanakan perbutan-perbutannya.

Faham kasb al-Najjar dan Dirar merupakan faham tengah antara faham qadariah yang dibwa Ma’bad serta Ghailan dan faham jabariah yang dibawa Jahm.

Mungkin timbul pertanyaan, bagaimana sebenarnya soal jabariah atau fatalisme dan qadariah atau freewill dalam alqur’an sebagai sumber utama dan pertama mengenai ajaran-ajaran islam. Kalau kita kembali pada al-qur’an akan kita jumpai di dalam ayat-ayat yang boleh membawa kepada faham qadariah dan sebaliknya pula akan kita jumpai ayat-ayat yang boleh membawa kepada faham jabariah.


(referensi: Harun Nasution, Teologi Islam, Universitas Indonesia (UI), jakarta, 1986, dan Asy- Syahratani, Al-Milal Wa Al-Nihal, PT. Bina Ilmu, Surabaya, 2006)

[1] Harun Nasution, Teologi Islam, Jakarta, PT. Universitas Indonesia, cet, V, 1986, h. 31.

[2] Asy-Syharastani, Al-Milal Wa Al-Nihal, Surabaya, PT Bina Ilmu, 2006, h. 71.

[3] Harun Nasuton, op, cit., h. 31-33.

[4] Asy-Syahrastani, op, cit., h. 71-73.

[5] Harun Nasution, op, cit., h. 34.

Emoticon Ini Tidak Untuk Komentar Lewat Facebook.Copas Kode Pada Komentar Mu....
:a: :b: :c: :d: :e: :f: :g: :h: :i:
:j: :k: :l: :m: :n: :o: :p: :q: :r:
:s: :t: :u: :v: :w: :x: :y: :z: :ab:
Previous Post Next Post Home
Comments
0 Comments

0 komentar:

Post a Comment

Mohon maaf apabila terdapat komentar yang sesuai kriteria di bawah ini akan dihapus, demi kenyamanan bersama

1. Komentar berbau pornografi, sara, dan menyinggung.
2. Mencantumkan link hidup.
3. Mengandung SPAM.
4. Mempromosikan Iklan.

Terima kasih atas perhatiannya.