Telah
dipresentasikan dalam mata kuliah telaah materi SKI dan direfisi oleh:
Muhammad Ridho
Nuur Salim
Mahasiswa STAIN Palangkaraya angkatan 2009
Mahasiswa STAIN Palangkaraya angkatan 2009
untuk mengunduh file
dalam bentuk power point dapat klik disini
diedit oleh Arief
Rahman
BAB I
PENDAHULUAN
PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang
Perkembangan
organisasi gerakan Islam di Indonesia tumbuh dan berkembang sejak dari negeri
ini belum mencapai kemerdekaan secara fisik sampai pada masa reformasi sekarang
ini. Perkembangannya, bahkan, kian pesat dengan dilakukannya tajdid
(pembaharuan) di masing-masing gerakan Islam tersebut. Diantaranya yang
berkembang yakni muhammadiyah dan NU.
NU dan Muhammadiyah
adalah dua organisasi Islam terbesar di Indonesia dengan mengantongi jumlah
massa masing-masing puluhan juta. Keduanya mempunyai pengalaman kesejarahan
amat kaya. Dan proses kristalisasi sejarah semakin mengutungkan NU dan
Muhammadiyah sebagai dua sosok organisasi sosial keagamaan yang disegani. Yang
pertama sering disebut oleh para pengamat sejarah sebagi sebuah organisasi yang
mewakili golongan Muslim tradisional, sedang yang kedua sering dikatakan
sebagai sebuah perkumpulan yang mewakili kelompok Muslim modernis.
Tatkala Muhammadiyah
sedang menyelenggarakan Sidang Tanwir (mulai tanggal 24 Januari dan berakhir
pada tanggal 27 Januari 2002 yang bertempat di Denpasar Bali), maka tepat pada
tanggal 31 Januari 2002 Nahdhatul Ulama (NU) merayakan ulang tahunnya yang
ke-76. Inilah sebuah koinsidensi historis menarik yang terjadi awal tahun 2002
ini. Pertanyaannya kemudian, apakah sesuatu yang menarik itu juga merupakan hal
penting dan signifikan. Jawabannya bisa dua, “ya” dan “tidak”.
Kalau dipandang dari
dimensi “teks”nya semata, maka jelas koinsidensi historis itu merupakan
peristiwa biasa yang normal terjadi, karena ia berlangsung secara kebetulan dan
natural, tanpa ada disain dan rekayasa. Dengan demikian, tidak ada yang bisa
diharapkan darinya. Namun, jika ditelaah dari sudut konteksnya, maka
koinsidensi historis itu bisa diberi makna yang lebih strategis dan penting.
Dan agaknya cukup tepat memaknai koinsidensi historis itu Kalau dilihat dari sudut pandang dimensi “teks”nya semata, maka jelas
koinsidensi historis itu merupakan peristiwa biasa yang normal terjadi, karena
ia berlangsung secara kebetulan dan natural, tanpa ada disain dan rekayasa.
Dengan demikian, tidak ada yang bisa diharapkan darinya. Namun, jika ditelaah
dari sudut konteksnya, maka koinsidensi historis itu bisa diberi makna yang
lebih strategis dan penting. Dan agaknya cukup tepat memaknai koinsidensi
historis itu dari sudut pandang kontekstual ini.
Melihat
kematangan usianya yang telah melebihi usia kemerdekaan Republik Indonesia,
keduanya jelas memiliki pengalaman interaksi dengan langkap sejarah
keindonesiaan yang lengkap dan utuh. maka, penulis akan memaparkan sedikit
tentang kedua organisasi ini pada makalah.
BAB II
PEMBAHASAN
PEMBAHASAN
A. MUHAMMADIYAH
a.
Sejarah berdirinya Muhammadiyah
Organisasi
Islam Muhammadiyah yang kini lebih dikenal dengan sebutan Persyarikatan
Muhammadiyah, didirikan oleh Muhammad Darwis—yang kemudian dikenal dengan nama
K.H. Ahmad Dahlan—di Kauman Yogyakarta, pada tanggal 8 Dzulhijjah 1330 H / 18
Nopember 1912. Ahmad Dahlan lahir di Kauman (Yogyakarta) pada tahun 1968 dan
meninggal pada tanggal 25 Februari 1921. Ia berasal dari keluarga yang didaktis
dan terkenal alim dalam ilmu agama. Ayahnya bernama K.H. Abu Bakar, seorang
imam dan khatib masjid besar KratonYogyakarta. Sementara ibunya bernama Siti
Aminah, putri K.H. Ibrahim yang pernah menjabat sebagai penghulu di Kraton
Yogyakarta.
Ia
adalah putra keempat dari tujuh bersaudara, yaitu Katib Harum, Mukhsin atau
Nur, Haji Shaleh, Ahmad Dahlan, ’Abd Al-Rahim, Muhammad Pakin dan Basir.
Semenjak kecil, Dahlan diasuh dan dididik sebagai putera kiyai. Pendidikan dasarnya dimulai dengan belajar membaca, menulis, mengaji Al-Qur’an, dan kitab-kitab agama. Pendidikan ini diperoleh langsung dari ayahnya. Menjelang dewasa, ia mempelajari dan mendalami ilmu-ilmu agama kepada beberapa ulama besar waktu itu. Diantaranya ia K.H. Muhammad Saleh (ilmu fiqh), K.H. Muhsin (ilmu nahwu), K.H. R. Dahlan (ilmu falak), K.H. Mahfudz dan Syekh Khayyat Sattokh (ilmu hadis), Syekh Amin dan Sayyid Bakri (qira’at Al-Qur’an), serta beberapa guru lainya. Dengan data ini, tak heran jika dalam usia relatif muda, ia telah mampu menguasai berbagai disiplin ilmu keislaman. Ketajaman intelektualitasnya yang tinggi membuat Dahlan selalui merasa tidak puas dengan ilmu yang telah dipelajarinya dan terus berupaya untuk lebih mendalaminya.Beliau adalah pegawai kesultanan Kraton Yogyakarta sebagai seorang Khatib dan sebagai pedagang. Melihat keadaan ummat Islam pada waktu itu dalam keadaan jumud, beku dan penuh dengan amalan-amalan yang bersifat mistik, beliau tergerak hatinya untuk mengajak mereka kembali kepada ajaran Islam yang sebenarnya berdasarkan Qur`an dan Hadist. [1]
Semenjak kecil, Dahlan diasuh dan dididik sebagai putera kiyai. Pendidikan dasarnya dimulai dengan belajar membaca, menulis, mengaji Al-Qur’an, dan kitab-kitab agama. Pendidikan ini diperoleh langsung dari ayahnya. Menjelang dewasa, ia mempelajari dan mendalami ilmu-ilmu agama kepada beberapa ulama besar waktu itu. Diantaranya ia K.H. Muhammad Saleh (ilmu fiqh), K.H. Muhsin (ilmu nahwu), K.H. R. Dahlan (ilmu falak), K.H. Mahfudz dan Syekh Khayyat Sattokh (ilmu hadis), Syekh Amin dan Sayyid Bakri (qira’at Al-Qur’an), serta beberapa guru lainya. Dengan data ini, tak heran jika dalam usia relatif muda, ia telah mampu menguasai berbagai disiplin ilmu keislaman. Ketajaman intelektualitasnya yang tinggi membuat Dahlan selalui merasa tidak puas dengan ilmu yang telah dipelajarinya dan terus berupaya untuk lebih mendalaminya.Beliau adalah pegawai kesultanan Kraton Yogyakarta sebagai seorang Khatib dan sebagai pedagang. Melihat keadaan ummat Islam pada waktu itu dalam keadaan jumud, beku dan penuh dengan amalan-amalan yang bersifat mistik, beliau tergerak hatinya untuk mengajak mereka kembali kepada ajaran Islam yang sebenarnya berdasarkan Qur`an dan Hadist. [1]
Pada
masa kepemimpinan KH. Ahmad Dahlan (1912-1922), daerah pengaruh Muhammadiyah
masih terbatas di karesidenan Yogyakarta, Surakarta, Pekalongan, dan
Pekajangan. Selain Yogya, cabang-cabang Muhammadiyah berdiri di kota-kota
tersebut pada tahun 1922. Pada tahun 1925, Abdul Karim Amrullah membawa
Muhammadiyah ke Sumatera Barat dengan membuka cabang di Sungai Batang, Agam.
Dalam tempo yang relatif singkat, arus gelombang Muhammadiyah telah menyebar ke
seluruh Sumatera Barat, dan dari daerah inilah kemudian Muhammadiyah bergerak
ke seluruh Sumatera, Sulawesi, dan Kalimantan. Pada tahun 1938, Muhammadiyah
telah tersebar keseluruh Indonesia.
KH A
Dahlan memimpin Muhammadiyah dari tahun 1912 hingga tahun 1922 dimana saat itu
masih menggunakan sistem permusyawaratan rapat tahunan. Pada rapat tahun ke 11,
Pemimpin Muhammadiyah dipegang oleh KH Ibrahim yang kemudian memegang
Muhammadiyah hingga tahun 1934. Rapat Tahunan itu sendiri kemudian berubah
menjadi Konggres Tahunan pada tahun 1926 yang di kemudian hari berubah menjadi
Muktamar tiga tahunan dan seperti saat ini Menjadi Muktamar 5 tahunan.
Di samping itu, Muhammadiyah juga mendirikan organisasi untuk kaum perempuan dengan Nama 'Aisyiyah yang disitulah Istri KH. A. Dahlan, yakani Nyi Walidah Ahmad Dahlan berperan serta aktif dan sempat juga menjadi pemimpinnya.
Daftar Pimpinan Muhammadiyah Indonesia sejak berdirinya sampai sekarang, yang dapat penulis susun adalah:[2]
Di samping itu, Muhammadiyah juga mendirikan organisasi untuk kaum perempuan dengan Nama 'Aisyiyah yang disitulah Istri KH. A. Dahlan, yakani Nyi Walidah Ahmad Dahlan berperan serta aktif dan sempat juga menjadi pemimpinnya.
Daftar Pimpinan Muhammadiyah Indonesia sejak berdirinya sampai sekarang, yang dapat penulis susun adalah:[2]
• KH
Ahmad Dahlan 1912-1922
• KH
Ibrahim 1923-1934
• KH
Hisyam 1935 – 1936
• KH Mas
Mansur 1937 – 1941
• Ki
Bagus Hadikusuma 1942 – 1953
• Buya
AR Sutan Mansur 1956
• H.M.
Yunus Anis 1959
• KH.
Ahmad Badawi 1962 – 1965
• KH.
Faqih Usman 1968
• KH. AR
Fachruddin 1971 – 1985
• KHA.
Azhar Basyir, M.A. 1990
• Prof.
Dr. H. M. Amien Rais 1995
• Prof.
Dr. H.A. Syafii Ma'arif 1998 – 2005
• Prof.
Dr. HM Din Syamsuddin 2005 - 2010
b. Ide
Dasar Pemikiran K.H.Ahmad Dahlan
Setelah
beberapa waktu belajar dengan sejumlah guru, pada tahun 1890 Dahlan berangkat
ke Mekkah untuk melanjutkan studinya dan bermukim di sana selama setahun.
Merasa tidak puas dengan hasil kunjungannya yang pertama, maka pada tahun 1903,
ia. berangkat lagi ke Mekkah dan menetap selama dua tahun. Ketika mukim yang
kedua kali ini, ia banyak bertemu dan melakukan muzakkarah dengan sejumlah
ulama Indonesia yang bermukim di Mekkah. Di antara ulama tersebut adalah; Syekh
Muhammad Khatib al-Minangkabawi, Kiyai Nawawi al-Banteni, Kiyai Mas Abdullah,
dan Kiyai Faqih Kembang. Pada saat itu pula, Dahlan mulai berkenalan dengan
ide-ide pembaharuan yang dilakukan melalui penganalisaan kitab-kitab yang
dikarang oleh reformer Islam, seperti Ibn Taimiyah, Ibn Qoyyim al-Jauziyah,
Muhammad bin Abd al-Wahab, Jamal-al-Din al-Afghani, Muhammad Abduh, Rasyid
Ridha, dan lain sebagainya.[3]
Ide
dasar Ahmad Dahlan mendirikan organisasi muhammadiyah antara lain:
1.
perlunya pembaharuan dalam berbagai bidang
kehidupan umat islam karena peranan umat Islam telah rusak dan hilang di
berbagai bidang. Misalnya; bidang politik, ekonomi, perdagangan, pendidikan,
kebudayaan, dan bidang keagamaan.
2.
memurnikan kembali ajaran Islam yang telah
tercampur dengan berbagai paham sehinga muncullah tahayul, khurafat, bid’ah,
dan syirik dikalangan masyarakat muslim.
3.
mempertahankan regenerasi Islam di masa kini
dan mendatang, karena derasnya arus kristenisasi di Indonesia
4.
mengembalikan citra Islam dikalangan pemuda dan
remaja serta pelajar karena derasnya informasi dan kebudayaan barat yang masuk
keindonesia telah mempengaruhi kepribadian umat Islam.[4]
c. Meneladani Sikap Intelektual Dan Semangat Keislaman
Serta Kepedulian Sosial K.H.Ahmad Dahlan
Usaha-usaha
Muhammadiyah bukan hanya bergerak pada bidang pengajaran, tapi juga
bidang-bidang lain, terutama sosial umat Islam. Sehubungan dengan itu,
Muhammadiyah sebagai gerakan sosial keagamaan mempunyai ciri-ciri khas sebagai
berikut:
Muhammadiyah sebagai gerakan Islam artinya
muhammadiyah dalam melaksanakan dan memperjuangkan keyakinan dan cita-cita
organisasinya berasaskan Islam. Menurut Muhammadiyah, bahwa dengan Islam bisa
dijamin kebahagiaan yang hakiki hidup di dunia dan akhirat, material dan
spiritual.
Muhammadiyah sebagai gerakan dakwah artinya
Untuk mewujudkan keyakinan dan cita-cita Muhammadiyah yang berdasarkan Islam,
yaitu amar ma’ruf dan nahi munkar. Dakwah dilakukan menurut cara yang
dicontohkan Nabi Muhammad SAW. Dakwah Islam dilakukan dengan hikmah, kebijaksanaan,
nasehat, ajakan, dan jika perlu dilakukan dengan berdialog.
Muhammadiyah sebagai gerakan tajdid artinya
Usaha-usaha yang dirintis dan dilaksanakan menunjukkan bahwa Muhammadiyah
selalu berusaha memperbarui dan meningkatkan pemahaman Islam secara rasional
sehingga Islam lebih mudah diterima dan dihayati oleh segenap lapisan
masyarakat.
Muhammadiyah sebagai gerakan sosial keagamaan,
lengkaplah ketika pada tahun 1917 M. membentuk bagian khusus wanita yaitu
‘Aisyah. Bagian ini menyelenggarakan tabligh khusus wanita, memberika kursus
kewanitaan. Pemeliharaan fakir miskin, serta memberi bantuan kepada orang
sakit. Kegiatan Muhammadiyah dengan ‘Aisyah ini berjalan baik, terutama karena
banyak orang Islam baik menjadi anggota maupun simpatisan memberikan zakatnya kepada organisasi ini.
Di samping ‘Aisyiah, kegiatan lain dalam bentuk kelembagaan yang berada di bawah organisasi Muhammadiyah ialah (1) PKU (Penolong Kesengsaraan Umum) yang bergerak dalam usaha membantu orang-orang miskin, yatim piatu, korban bencana alam dan mendirikan klinik-klinik kesehatan; (2) Hizb AI-Wathan, gerakan kepanduan Muhammadiyah yang dibentuk pada tahun 1917 M. oleh K.H. Ahmad Dahlan; (3) Majlis Tarjih, yang bertugas mengeluarkan fatwa terhadap masalah-masalah yang terjadi di masyarakat.[5]
Di samping ‘Aisyiah, kegiatan lain dalam bentuk kelembagaan yang berada di bawah organisasi Muhammadiyah ialah (1) PKU (Penolong Kesengsaraan Umum) yang bergerak dalam usaha membantu orang-orang miskin, yatim piatu, korban bencana alam dan mendirikan klinik-klinik kesehatan; (2) Hizb AI-Wathan, gerakan kepanduan Muhammadiyah yang dibentuk pada tahun 1917 M. oleh K.H. Ahmad Dahlan; (3) Majlis Tarjih, yang bertugas mengeluarkan fatwa terhadap masalah-masalah yang terjadi di masyarakat.[5]
Dengan
mengamati kecerdasan intelektual dan kepedulian K.H. Ahmad Dahlan, sebagai
muslim tentu kita dapat meneladaninya dalam beberapa aspek kehidupan sosial
ini, diantaranya:
1.
terus
menerus belajar, walaupun sampai kenegri orang dan mengambil ilmu-ilmmu orang
yang saleh
2.
mengamalkan
segala pengetahuan yang didapat demi kemakmuran, kemajuan, dan kebahagiaan
masyarakat
3.
terus
menggagas ide-ide yang bermutu demi meningkatkan kualitas agama dan pendidikan
umat Islam dimasa mendatang
4.
berpikir
dan bekerja keras tanpa mengenal usia untuk mengembangkan dakwah ke berbagai
pelosok negeri dengan berbagai berbagai pendekatan yang bersumber dari
Al-Qur’an dan Al-Hadist.
5.
mempelajari
berbagai ilmu pengetahuan dan umum
6.
peduli
terhadap kesejahteraan masyarakat, terutama masyarakat yang kurang mampu dengan
menciptakan sarana pendidikan, kesehatan, ekonomi, dan panti-panti sosial.[6]
B.
NAHDATUL ULAMA (NU)
- Materi
Nahdatul
Ulama artinya kebangkitan para Ulama. NU adalah sebuah organisasai sosial
keagamaan yang dipelopori oleh para ulama atau Kiyai mereka itu ialah K.H.
Hasyim Asy’ari, K.H. Wahab Hasbullah, K.H. Bisri Syamsuri, K.H. Mas Alwi, dan
K.H. Ridwan. Lahir disurabaya pada tanggal 31 Januari 1926 dan kini salah satu
Organisasi dan gerakan Islam terbesar di tanah Air. Bertujuan mengupayakan
berlakunya ajaran Islam yang berhaluan Ahlusunnah waljama’ah dan menganut salah
satu dari Empat Mazhab fikih (Imam Hanafi, Imam Syafi’i, Imam Hambali dan Imam
Maliki).
Pada
mulanya NU tidak mencampuri urusan politik, ia lebih menfokuskan diri pada
pengembangan dan pemantapan paham keagamaanya dalam masyarakat yang saat itu
sedang gencar-gencarnya penyebaran paham Wahabiyah yang dianggap membahayakan
paham Ahlussunnah Waljamaah. Hal ini tersirat dalam salah satu hasil keputusan
Kongresnya di Surabaya pada bulan Oktober 1928.
NU
semakin berkembang dengan cepat, pada tahun 1935 telah memiliki 68 cabang
dengan anggota 6700 orang. Padakongres tahun 1940 di Surabaya dinyatakan
berdirinya organisasi wanita NU atau Muslimat dan pemuda ansar. Pada
perkembangan selanjutnya, NU mengubah haluanya, selain sebagai organisasi yang
bergerak dalam bidang sosial keagamaan, juga mulai ikut dalam kehidupan
politik. Tahun 1937 bergabung dengan Majilis Islam A’la Indonesia (MIAI). Hal ini terus berlangsung sampai
dibubarkanya pada masa penjajahan Jepang tahun 1943, yang kemudian diganti
Masyumi. Dalam Masyumi, NU adalah bagian yang sangat penting sampai tahun 1952.
Dalam muktamarnya yang ke-19 tanggal 1 Mei 1952 menyatakan diri keluar dari
Masyumi dan menjadi partai politik tersindiri. Kemudian NU bersama dengan PSII
dan Perti membentuk Liga Muslim Indonesia sebagai wadah kerja sama partai
politik dan organisasi Islam. Dalam pemilu tahun 1955, NU muncul sebagai partai
politik terbesar ketiga. Pada masa orde baru, NU bersama partai politik lainya
(PSII, Parmusi, Perti) berfungsi dalam partai persatuan pembangunan (PPP).
Kemudian sejak tahun 1984, NU menyatakan diri
kembali ke khittah 1926, artinya melepaskan diri dari kegiatan
politik, meskipun secara pribadi-pribadi anggotanya tetap ikut berkiprah dalam
berbagai partai politik.
Pada
masa Repormasi (1999) para tokoh NU yang dimotori oleh KH. Abdurrahman Wahid
(Gusdur) mendirikan partai politik, Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) yang
kemudian termasuk 5 besar pemenang pemilu pada tahun tersebut. Melalui poros
tengah, Abdurrahman Wahid sebagai pemimpin NU saat itu berhasil menjadi orang
nomor satu di RI, meskipun hanya berumur satu tahun.
Peranan
NU sebagai organisasi dalam perjuangan mengusir penjajah dan mempertahankan
kemerdekaan tidak diragukan lagi, bahkan para Kyai dan santri memikul senjata
(bambu runcing atau golok) untuk berjihad fisabilillah, tercatat dalam sejarah
tanggal 30 Oktober 1945, NU mengeluarkan Rosolusi Jihad untuk melawan tentara
penjaja.
2.
Telaah materi
- Latar belakang berdirinya NU
Nahdlatul
Ulama (NU), adalah sebuah organisasi Islam yang terbesar di Indonesia.
Organisasi ini berdiri pada 31 Januari 1926 dan bergerak di bidang pendidikan,
sosial, dan ekonomi.Suatu waktu Raja Ibnu Saud hendak menerapkan asas tunggal
yakni mazhab Wahabi di Mekkah, kalangan pesantren yang selama ini membela
keberagaman, menolak pembatasan bermazhab dan penghancuran warisan peradaban
tersebut. Dengan sikapnya yang berbeda itu kalangan pesantren dikeluarkan dari
anggota Kongres Al Islam di Yogyakarta pada tahun 1925. Akibatnya kalangan
pesantren juga tidak dilibatkan sebagai delegasi dalam Mu’tamar ‘Alam Islami
(Kongres Islam Internasional) di Mekkah yang akan mengesahkan keputusan
tersebut. Didorong oleh minatnya yang gigih untuk menciptakan kebebasan
bermazhab serta peduli terhadap pelestarian warisan peradaban, maka kalangan
pesantren terpaksa membuat delegasi sendiri yang dinamakan Komite Hejaz, yang
diketuai oleh K.H. Wahab Hasbullah.
Atas
desakan kalangan pesantren yang terhimpun dalam Komite Hejaz, dan tantangan
dari segala penjuru umat Islam di dunia, maka Raja Ibnu Saud mengurungkan
niatnya. Hasilnya, hingga saat ini di Mekkah bebas dilaksanakan ibadah sesuai
dengan mazhab mereka masing-masing. Itulah peran internasional kalangan
pesantren pertama, yang berhasil memperjuangkan kebebasan bermazhab dan
berhasil menyelamatkan peninggalan sejarah dan peradaban yang sangat berharga.
Berangkan
komite dan berbagai organisasi yang bersifat embrional dan ad hoc, maka setelah
itu dirasa perlu untuk membentuk organisasi yang lebih mencakup dan lebih
sistematis, untuk mengantisipasi perkembangan zaman. Maka setelah berkordinasi
dengan berbagai kyai, akhirnya muncul kesepakatan untuk membentuk organisasi
yang bernama Nahdlatul Ulama (Kebangkitan Ulama) pada 16 Rajab 1344 H (31
Januari 1926). Organisasi ini dipimpin oleh K.H. Hasyim Asy’ari sebagai Rais
Akbar.
- Sejarah Berdirinya NU
Terbentuknya
Nahdatul Ulama tidak bisa dipisahkan dari keberadaan pondok-pondok pesantren
yang sudah berumur berabad-abad.
Meskipun masing-masing pesantren bersifat mandiri, tetapi ikatan batin
para pemimpin pesantren sangatlah kuat.
Dilandasi
pemikiran bahwa persaudaraan antara pesantren-pesantren cukup kuat, tetapi
masih berjalan sendiri-sendiri, maka beberapa orang kyai mulai munculkan
gagasan untuk mempersatukan tempat-tempat untuk mendidik para santri itu,
sekaligus menggerakkanya bersama-sama sehingga menjadi sebuah kekuatan umat
yang luar biasa besar. Oleh karena itu
pada tahun 1924 bertempat disebuah rumah di jalan Kebondalem Surabaya, Jawa
Timur beberapa orang kyai mempersiapkan kelahiran sebuah organisasi Islam yang
rencananya diberi nama Nahdatul Ulama, yang arti Harfiahnya kurang lebih adalah
kebangkitan para ulama. Untuk menentukan Anggaran Dasarnya para kiai minta
bantuan Mas Sugeng (Sekretaris Mahkamah Tinggi ). Sedangkan K.H. Ridwan dari
surabaya yang memiliki darah seniman, kebagian membuat lambang organisasi
tersebut.[7]
Ketika H. Wahab
Casbullah menyampaikan maksud pendirian Nahdatul Ulama tersebut kepada KH.
Hasyim Asy’ari sebagai seorang ulama yang sangat dihormati dan sebagai Gurunya
banyak kyai di Jawa, untuk meminta restu dan persetujuanya, beliau tidak
langsung setuju. KH. Hasyim Asy’ari sepertinya ragu, apakah pendirian organisasi
tersendiri bagi kalangan muslim Tradisional dipandang perlu, karena sudah ada
sejumlah organisasi Muslim yang terlebih dahulu lahir, Dengan kata lain
keraguan itu sebagai bentuk kekhawatiran beliau kalau pendirian itu disetujui,
bisa jadi malah akan merusak persatuan dan kesatuan umat.
Beberapa bulan
lamanya, KH. Hasyim Asy’ari masih dalam keraguan apakah menyetujui berdirinya
Nahdatul Ulama atau tidak. Beliau khawatir kalau pendirian tersebut akan
menyebabkan perpecahan umat Islam di Nusantara. Untuk itu beliau selalau berdoa
memohon petunjuk kepada Allah SWT, namun petunjuk itu tidak juga segera kunjung
datang. Rupa-rupanya petunjuk Allah SWT terhadap rencana berdirinya Nahdatul
Ulama tidak diberikan langsung kepada KH. Hasyim Asy’ari tetapi datang melalui
guru beliau yaitu KH. Kholil Bangkalan, Madura.
Ketika petunjuk
dari Allah SWT itu datang, KH. Kholil segera memanggil muridnya yang bernama
As’ad Syamsul Arifinseorang santri senior berumur 27 tahun untuk mengantarkan
tongkat beliau dan membacakan surah Thaahaa ayat 17-23 kepada KH. Hasyim As’ari
yang berada di Tebuireng di Jombang. Setelah KH. Asy’ari menerima tongkat dan
mendengar surah Thaahaa ayat 17-23 yang dibacakan oleh santri As’ad, hati KH.
Hasyim As’ari langsung bergetar pikiranya menerawang jauh keluar pondok
pesantren. Dipikiranya terbayang wajah KH. Kholil di Bangkalan, madura. Gurunya
yang sudah sangat tua dan bijaksana menaruh harapan yang besar dipundaknya.
“berarti ini berkaitan dengan rencana mendirikan Jam’iyah ulam itu...., batin KH.
Hasyim Asy’ari menangkap isyarat bahwa gurunya itu tidak keberatan bila dirinya
mendirikan sebuah organisasi jam’iyah Islam.
Beberapa hari
setelah utusan KH. Kholil kembali pulang kebangkalan, maka berkumpullah
beberapa orang kiai di Tebuireng untuk bermusyawarah dan merumuskan segala
sesuatu yang berkaitan dengan organisasi itu. Sungguhpun demikian, hari demi
hari, minggu demi minggu, bulan demi bulan, organisasi Jam’iyah yang
dicita-citakan belum juga berdiri, sampai kurang lebih satu setengah tahun kemudian,
utusan KH. Kholil kembali datang ke Tebuireng, untuk memberikan tasbih disertai
pesan dari KH. Kholil yaitu agar KH. Hasyim As’ari agar sering mengucapkan dua
buah asmaul husna yaitu ya jabbar dan ya qabbar.
Akhirnya dengan
kejernihan hati dan ketenangan berpikir yang beliau lakukan KH. Hasyim As’ari
bisa mengambil keputusan yang dianggap paling baik. Pada suatu hari, sejumlah
kiai di Jawa dan Madura antara lain: KH. Hasyim As’ari (tebu ireng), KH. Bisri
syamsuri (denayar), KH. Ridwan (surabaya), KH. R. Asnawi (kudus), KH. R.
Hambali (kudus), KH. Nawawi (pasuruan), KH. Nasrawi surabaya, mereka
bermusyawaroh dan sepakat mendirikan organisasi Islam Jam’iyah Nahdatul Ulama
di Indonesia pada tanggal 31 Januari 1926 Nahdatul Ulama resmi didirikan.[8]
- Ide Dasar Pemikiran K.H. Hasyim Asy’ari
K.H. Hasyim Asy’ari menganut paham Ahlussunah
waljama’ah, sebuah pola pikir yang mengambil jalan tengah antara ekstrim aqli
(rasionalis) dengan kaum ekstrim naqli (skripturalis). Karena itu sumber
pemikiran bagi NU tidak hanya al-Qur’an, sunnah, tetapi juga menggunakan
kemampuan akal ditambah dengan realitas empirik. Cara berpikir semacam itu
dirujuk dari pemikir terdahulu seperti Abu Hasan Al-Asy’ari dan Abu Mansur
Al-Maturidi dalam bidang teologi. Kemudian dalam bidang fiqih lebih cenderung
mengikuti mazhab: imam Syafi’i dan mengakui tiga madzhab yang lain: imam
Hanafi, imam Maliki,dan imam Hanbali sebagaimana yang tergambar dalam lambang
NU berbintang 4 di bawah. Sementara dalam bidang tasawuf, mengembangkan metode
Al-Ghazali dan Junaid Al-Baghdadi, yang mengintegrasikan antara tasawuf dengan
syariat.[9]
Tentang pendidikan
- Mendefinisikan pendidikan Islam sebagai upaya untuk mengeluarkan rakyat Indonesia dari cengkraman penjajah.
- Mendefinisikan pendidikan Islam sebagai upaya penyadaran bahwa betapa pentingnya pendidikan sebagai sarana untuk memperluas khazanah keilmuan rakyat Indonesia dan umat Islam.
d.
Mendefinisikan
pendidikan Islam upaya menyelamatkan umat Islam dari jurang kebodohan, yang
mampu berfikir dinamis untuk kemudian mengetahui jatidiri dirinya sebagai
makhluk yang diciptakan oleh Tuhan dankemudian tuntutan untuk menghambakan
dirinya kepada pencipta-Nya.
- Peranan K.H. Hasyim Asy’ari Dalam Kemerdekaan
Selain
mencintai umatnya KH. Hasyim Asy’ari juga mencintai bangsanya. Pada masa
penjajahan Jepang, yang berlangsung pada tahun 1942-1945, beliau juga
mengadakan perlawanan sebagai mana yang beliau lakukan terhadap penjajah
belanda, bentuk perjuangan nasionalisme religius KH. Hasyim Asy’ari antaralain
dengan memberikan patwa haram dan penolakan terhadap pemaksaan seikeirei jepang,
yaitu membungkukkan badan keistana kaisar serupa dengan ruku dalam shalat,
untuk menghindari kemusyrikan. sikapnya yang keras membuat dirinya ditangkap
dan dipenjarakan oleh jepang selama empat bulan.
KH. Hasyim
Asy’ari menolak segala bentuk Niponosasi (serba jepang) seperti ber-seikeirei,
menyayikan lagu kebangsaan “Kimigayo”, dan mengibarkan bendera Hinomaru.
Sebaliknya beliau malah sembunyi-sembunyi menyiapkan kader-kader Islam yang
militan dengan cara menganjurkan para santri untuk masuk tentara Pembela Tanah
Air (PETA) pada tahun 1943, yang diilhami dari gerakan Pandu Hisbul Wathan
milik Muhammadiyah, pembentukan PETA didaerah jombang dan sekitarnya dipelopori
oleh putranya yang bernama Abdul Kholiq. Kegiatan ini kemudian diikuti dengan
terbentuknya Laskar Hizbullah dan Barisan Sabilillah pada tahun 1944.
Ketika pada
tanggal 17 Agustus 1945, Sokarno Hatta, memproklamasikan Negara Kesatuan
Republik Indonesia berdasarkan Pancasila dan UUD 1945, KH. Hasyim Asy’ari
adalah salah satu tokoh yang paling awal berani mengatakan bahwa setatus Negara
yang baru merdeka ini sah secara Fiqh
islam karena itu umat Islam wajib mempertahankanya.
Begitu
mendengar kalau belanda dan sekutunya yang ingin menjajah kembali sudah
mendarat di Surabaya, KH. Hasyim Asy’ari segera melakukan reaksi, beliau
mengeluarkan sebuah patwa yang kemudian terkenal sebagai Rosulusi Jihad’ yang
isisnya antara lain :
1.
Kemerdekaan
Indonesia yang telah diploklamirkan pada tanggal 17 Agustus 1945 harus
dipertahankan.
2.
Pemerintah
Republik Indonesia sebagai satu-satunya pemerintahan yang sah harus
dipertahankan dengan jiwa maupun harta.
3.
Musuh-musuh
Indonesia khususnya orang-orang Belanda yang kembali ke Indonesia dengan
menumpang pasukan sekutu (Inggris), sangat mungkin ingin menjajah kembali
bangsa Indonesia setelah Jepang ditaklukkan.
4.
Umat
Islam Khususnya warga Nahdatul Ulama, harus siap bertempur melawan Belanda dan
sekutunya yang berusaha untuk menguasai Indonesia kembali.
5.
Kewajiban
jihad merupakan keharusan bagi setiap muslim yang tinggal dalam radius 90
kilometer. Mereka yang berada diluar radius itu, mempunyai tanggung jawab
mendukung saudara-sauara muslim mereka yang sedang berjuang dalam radius
tersebut.
- Menteladani Sikap Intelektual dan Semangat ke Islaman K.H. Hasyim Asy’ari
Beberapa
hal yang dapat diteladani dari K.H.Hasyim Asy’ari antara lain :
1.
Semangat
menuntut ilmu dan dakwah yang ditekuninya sejak kecil sampai akhir hayatnya
2.
Keuletan
dan kegigihan perjuangannya dalam menentang pemerintahan kolonial dengan
kecerdasannya mendirikan pesantren dan keuletannya dalam mendakwahkan ajaran
Islam
3.
Belajar
keberbagai lembaga pendidikan pesantren smpai ke negri Mekkah, menunjukkan
semangat yang terus menggelora dalam meningkatkan kecerdasan atau intelektual
4.
Membangun
lembaga pendidikan pesantren sebagai basis perjuangan dalam menciptakan
intelektual muslim yang berwawasan Islam baik dalam menumbuhkembangakan sikap
jihad dan ijtihad yang tidak pernah selesai.[10]
5.
Berdakwah
tidak hanya dengan secara lisan diapun semangat berdakwah melalui
tulisan-tulisan, banyak buku yang berhasil beliau buat untuk umat islam.
BAB III
PENUTUP
PENUTUP
A.
KESIMPULAN
1.
Muhammadiyah
Muhammad darwis atau yang dikenal dengan sebutan KH. Muhamad dahlan beliau salah satu
ulama besar Indonesia yang berperan besar dalam gerakan pembaharuan islam
sekaligus pendiri muhammadiyah yang mana ajaran beliau terpengaruh oleh ajaran
muhammad Abduh dan jamaluddin al-af-Agani di Mesir.
Pada
masa itu beliu melihat di indonesia terutama di desa kauman kota yokyakarta
yang mana ajaran-ajaran agamanya masih terpengaruh oleh ajaran syeh siti jenar
yang mencampurkan agama dengan taradisi maka dari itu beliau mengren konsepkan
pemikiran untuk pemurniran ajaran agama agar tidak tercampur dengan ajaran
syariat islam yakni rasionalitas harus dibangkitkan dan tradisional harus
ditinggalkan untuk membangun kesejahteraan umat islam terutama dalam agama
serta memodernisasikan sebuah gerakan untuk meninggalkan hal-hal yang lama
menuju ke hal-hal yang baru.
2. Nahdatul Ulama (NU)
Konsep pemikiran yang dapat diambil dari pemikiran dan sejarah KH.
Hasym Asy’ari yaitu:
1.
Tradisional
yaitu ajaran yang disampaikan oleh KH. Hasyim Asy’ari masih melanjutkan
cara-cara mengajar seperti orang-orang yang mendahuluinya dengan menggunakan
pesantren tetapi dia pertama kali yang menggunakan pesantren modern yaitu dalam
sistim mengajarnya dia tidak seluruhnya agama tetapi ada juga mengajar ilmu
umum.
2.
Akulturasi adalah bersatunya dua kebudayaan sehingga
membentuk kebudayaan baru tanpa menghilangkan unsur kebudayaan asli. contohnya KH. Hasyim Asy’ari mendakwahkan ajaran islam dengan cara
tidak dengan kekerasan dia memasukkan
ajaran-ajaran agama islam di dalam tradisi atau budaya masyarakat pada saat itu
dengan sedikit-sedikit memasukkan unsur islam dalam kebiasaan masyarakat
setempat, dan diterima oleh masyarakat setempat jadilah perpaduan antara
kebudayaan menjadikan kebudayaan yang bernapaskan islam.
3.
Penetrasi dalam
bahasa indonesia penetrasi berarti penekanan terhadap suatu unsur (bisa benda
atau apa saja) yg dilakukan secara bertahap & berkesinambungan demi suatu
tujuan tertentu. Yaitu dilakukan oleh KH. Hasyim Asy’ari dengan cara mendidik
umat islam agar uamat islam terbebas dari pembodohan oleh penjajah dan mau bahu
membahu melepaskan diri dari penjajah.
4.
Nasionalis
yaitu KH. Hasym Asy’ari cinta tanah air terbukti dia sangat berperan dalam
kemerdekaan Indonesia dan mempertahankan kemerdekaan, dengan cara membakar
semangat pejuang-pejuang indonesia untuk melawan penjajah dan menurunkan
langsung murid-muridnya untuk melawan penjajah.
Adapun grand konsep dari “Muhammadiyah” yang dapat
editor simpulkan dari hasil telaah diatas adalah “Amar Ma’ruf Nahi Munkar”
sebagaimana dalam surat Ali Imran :104
وَلْتَكُنْ مِّنْكُمْ أُمَّةٌ يَدْعُوْنَ إِلَى الخَيْرِ
وَيَأْمُرُوْنَ بِالمعْرُوْفِ وَيَنْهَوْنَ عَنِ المُنْكَرِج وَأُوْلَئِكَ
هُمُ المُفْلِحُوْنَ
Artinya: Dan hendaklah ada di antara kamu segolongan umat yang
menyeru kepada kebajikan, menyuruh kepada yang ma'ruf dan mencegah dari yang
munkar[11] merekalah orang-orang
yang beruntung.
Sedangkan dari NU (Nahdatul Ulama) yakni dari hasil seminar NU
tahun 1989 di Malang yakni ada dua konsep yakni Konservasi yaitu المحافظة بالقادم الصالح
(Menjaga nilai-nilai lama yang baik/ positif), dan Dinamisasi
الأخذ بالجديد الأصلاح (Mengambil
nilai-nilai baru yang lebih baik).
DAFTAR PUSTAKA
Heyrr,
Muhammad dkk. 2006 Tokoh-Tokoh Islam yang Berpengaruh Abad 20. Jakarta, Gema Insani Press.
Ishaq, Rusli. 2007. Sejarah Kebudayaan Islam. Sukamaju
Depok., Arya Duta.
Munir, Abdul. 1990. Pemikiran Kyai Ahmad Dahlan dan Muhamadiyah
dalam Perspektif Perubahan Sosial. Jakarta,
Bumi Aksara.
Nashir,
Haedar. 2000. Dinamika Politik
Muhammadiyah. Yogyakarta,CV Adipura
Wibowo,
satyo budi. 2011. Dahlan Asy’ari. Yogyakarta : Diva press
Zahro, Ahmad. 2004. Tradisi Intelektual. Yogyakarta, PT LkiS Pelangi Aksara, Mulkhan
http://www.muhammadiyah.or.id/index.php?option=com_content&task=view&id=22&Itemid=35
http//id.wikipedia.org/wiki/nahdatul
ulama dan muhammdiyah
[1] Mujib. A, dkk. Intelektualisme
Pesantren. ( Jakarta, Diva Pustaka, 2003). 24-25
[2] Muhammad Heyrr.dkk. Tokoh-Tokoh Islam yang Berpengaruh Abad 20. ( Jakarta, Gema Insani Press, Cet.1,
2006), 11.
[3] Haedar Nashir. Dinamika Politik
Muhammadiyah. (Yogyakarta,CV Adipura,2000),70-71
[4] Rusli Ishaq. Sejarah Kebudayaan
Islam. (Sukamaju Depok., Arya Duta, 2007),86
[5]http://www.muhammadiyah.or.id/index.php?option=com_content&task=view&id=22&Itemid=35
[6] Rusli Ishaq. Sejarah Kebudayaan
Islam. (Sukamaju Depok., Arya Duta, 2007), 88
[7] Susatya budi wibowo.Dahlan, Asy’ari kisah perjalanan wisata
hati.yokyakarta. hal. 210
[8] Ibid. 214
[9] Ahmad Zahro. Tradisi
Intelektual. (Yogyakarta, PT LkiS Pelangi Aksara, 2004 ).hal. 15
[10] Rusli Ishaq. Sejarah Kebudayaan
Islam. (Sukamaju Depok., Arya Duta, 2007),hal. 94
[11] Ma'ruf: segala perbuatan yang
mendekatkan kita kepada Allah; sedangkan Munkar ialah segala perbuatan yang
menjauhkan kita dari pada-Nya.