Wednesday, March 7, 2012

Perbandingan Mazhab Fiqih "WUDHU"

Wudhu’ adalah salah satu syarat yang harus dipenuhi sebelum melakukan shalat. Sah, atau tidak shalat, sangat bergantung kepada wudhu’ disamping syarat-syarat lainnya. Oleh sebab itu, masalah wudhu’ ini supaya diperhatikan benar sehingga shalat dikerjakan tidak sia-sia.
Mengenai hal-hal yang membatalkan wudhu’, terdapat perbedaan pendapat para ulama mujtahid. Para ulama itu mempersoalkan:

1. Keluar sesuatu dari dua jalan
Keluar sesuatu dari dua jalan ( qubul dan dubur ), seperti buang air kecil, buang air besar, keluar madzi (air kuning encer yang biasanya keluar dari qubul ketika seseorang merasakan nikmat), wadi (air kental dan putih, serupa dengan mani, biasanya keluar setelah kencing), mani, angin dan lain-lain. Sebagaimana dalilnya dalam firman Allah:
….      …..
Artinya: “….atau telah mendatangi kamu sesuatu dari tempat buang air….”
( An-Nisaa: 43)
Rasulullah SAW. bersabda:
Abu Hurairah radhiallahu ‘anhu berkata: Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
لاَ يَقْبَلُ اللهُ صَلاَةَ أَحَدِكُمْ، إِذَا أَحْدَثَ، حَتَّى يَتَوَضَّأَ
Artinya : “Allah tidak menerima shalat seseorang apabila dia berhadats (keluar sesuatu dari salah satu qubul atau dubur). Sebelum dia berwudhu.” (HR. Muttafaq ‘Alaih).
Nabi memerintahkan berwudhu kepada wanita-wanita yang sedang istihadhah ( semacam darah penyakit ) pada tiap-tiap akan shalat setelah membersihkannya, dan tidak usah mandi.
 Hanafiyah berpendapat apapun yang keluar dari qubul dan dubur, membatalkan wudhu, baik yang biasa maupun yang tidak biasa ( benda-benda yag tertelan yang bukan makanan, kemudian keluar melalui dubur).
 Malikiyah berpendapat bahwa mani yang biasa keluar tanpa rasa nikmat tidak diwajibkan mandi, dan hanya membatalkan wudhu. Adapun batu kecil, ulat, cacing, darah dan nanah (yang bercampur dengan darah atau tidak), yang keluar dari qubul dan dubur tidak membatalkan wudhu dengan ketentuan, batu kecil (batu ginjal), ulat dan cacing itu berasal dari dalam perut. Namun apabila batu atau ulat itu tidak berasal dari dalam perut, seperti tertelan umpamanya, kemudian keluar melalui dubur, membatalkan wudhu.
 Syafi’iyah berpendapat bahwa keluar mani tidak sampai membatalkan wudhu, apakah keluarnya terasa nikmat atau tidak. Namun mandi wajib, harus dilaksanakan sebab yang mewajibkan mandi salah satunya adalah keluar mani.
 Hanabilah berpendapat bahwa Apabila seseorang terus menerus berhadats, seperti air kencing terus menerus atau sebentar-sebentar menetes, tidak membatalkan wudhu, asal setiap shalat melakukan wudhu.

2. Hilang akal
Hilang akal bisa disebabkan gila, ayan, pingsan, mabuk, minum arak, minum obat tidur atau tidur nyenyak sehingga hilang kesadaran seseorang.
Mengenai hilang akal karena gila, pingsan dan mabuk telah sepakat ulama Hanafiyah, Malikiyah, Syafi’iyah dan Hanabilah, membatalkan wudhu, karena seseorang tidak tahu apakah ia berhadats atau tidak, seperti keluar angin dan sebab-sebab lainnya yang membatalkan wudhu.
Mereka berbeda pendapat, mengenai orang yang tidur apakah batal wudhu atau tidak.
 Hanafiyah berpendapat bahwa tidur itu sendiri tidak membatalkan wudhu, akan tetapi tidur dapat membatalkan wudhu dalam tiga hal:
1. Tidur dengan berbaring miring
2. Tidur telentang di atas punggungnya
3. Tidur di atas salah satu pangkal pahanya
Wudhu seseorang menjadi batal, apabila dia tidur seperti yang disebutkan di atas.
 Malikiyah berpendapat bahwa tidur dapat membatalkan wudhu, apabila seseorang tidur nyenyak, baik sebentar maupun lama, baik orang yang tidur itu dalam keadaan berbaring atau duduk atau sujud. Dan wudhu itu tidak batal dengan tidur ringan (tidak nyenyak) itu berlangsung lama. Yang dimaksud tidur nyenyak adalah apabila orang yang tidur itu tidak lagi merasa mendengar suara di sekitarnya.
 Syafi’iyah berpendapat bahwa tidur dapat membatalkan wudhu apabila orang yang tidur itu tidak duduk mantap di atas tempatnya, misalnya ia tidur sambil duduk atau sambil mengendarai sesuatu tanpa ada renggang antar tempat duduk dan tempat menetapnya. Jika ia tidur telentang atau miring; atau tempat duduknya renggang karena ia kurus, maka batalla wudhunya. Dan wudhu tidak batal disebabkan karena rasa nagntuk, yaitu rasa berat pada otak tetapi bersamaan dengan itu pula masih dapat mendengar pembicaraan orang-orang yang ada disekitarnya walaupun tidak dapat memahaminya.
 Hanabilah berpendapat bahwa wudhu seseorang dapat batal dalam dalam keadaaan bagaimanapun juga, kecuali apabila tidurnya itu sebentar menurut ukuran ‘urf, sedangkan orang itu dalam keadaan duduk atau berdiri.

4. Bersentuhan laki-laki dengan perempuan
Sentuhan dalam bahasa Arab disebut dan .
Oleh Syafi’iyah dan Hanabilah kedua istilah tersebut mempunyai pengertian yang sama. Berbeda dengan Haafiyah dan Malikiyah, kedua istilah tersebut mempunyai pengertian tersendiri.
 Hanafiyah berpendapat, bahwa persentuhan kulit laki-laki dengan perempuan, tidak membatalkan wudhu. Hanafiyah mendasarkan mazhab mereka kepada salah satu hadits dari Aisyah:
فَقَدْتُ رَسُوْلَ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ لَيْلَةً مِنَ الْفِرَاشِ فَلْتَمَسْتُهُ فَوَقَعَتْ يَدِي عَلَى بَطْنِ قَدَمَيْهِ وَهُوَ فِي الْمَسْجِدِ
Artinya: “Suatu malam, aku pernah kehilangan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam dari tempat tidurku. Maka aku pun meraba-raba mencari beliau hingga kedua tanganku menyentuh bagian dalam kedua telapak kaki beliau yang sedang ditegakkan. Ketika itu beliau di tempat shalatnya (dalam keadaan sujud).
Pendapat mereka dikuatkan dengan adanya hadits yang memberikan keterangan bahwa Rasulullah SAW pernah menyentuh para istrinya dan langsung mengerjakan shalat tanpa berwudhu` lagi.
Dari Habib bin Abi Tsabit dari Urwah dari Aisyah ra dari Nabi SAW bahwa Rasulullah SAW mencium sebagian istrinya kemudian keluar untuk shalat tanpa berwudhu`”. Lalu ditanya kepada Aisyah,”Siapakah istri yang dimaksud kecuali anda ?”. Lalu Aisyah tertawa.( HR. Turmuzi Abu Daud, An-Nasai, Ibnu Majah dan Ahmad).

 Malikiyah berpendapat, bahwa apabila seseorang menyentuh orang lain dengan tangannya atau dengan anggota badan lainnya, maka wudhunya batal dengan beberapa syarat.
Persyaratan bagi yang menyentuh adalah menjadikan wudhunya batal, yaitu:
a. Dia sudah balig
b. Merasakan kenikmatan atau rangsangan sesudah terjadi sentuhan sengaja atau tidak.
Sedangkan bagi orang yang disentuh, wudhunya menjadi batal apabila:
a. Apabila kulit yang disentuh tanpa ada batas penghalang seperti kain, ataupun batasnya ada, tetapi terlalu tipis.
b. Bagi yang disentuh adalah orang yang dapat mengundang syahwat atau ada rangsangan.
Wudhu tidak batal jika bersentuhan dengan gadis kecil dan wanita tua yang tidak mengundang syahwat. Jadi, persoalan inti dari mazhab Malikiyah ini adalah ada rangsangan (syahwat), baik bagi yang menyentuh maupun yang disentuh.
 Syafi`iyah, menyentuh kulit lawan jenis yang bukan mahram termasuk yang membatalkan wudhu` secara mutlak. Pendapat mereka didasarkan pada penafsiran ayat Al-Quran yaitu :
…..          …. 
Artinya : “….atau kamu telah ‘menyentuh’ perempuan…(QS. An-Nisa : 43)
Para ‘ulama mengartikan kata ‘menyentuh’ sebagai kiasan yang maksudnya adalah jima` (hubungan seksual). Sehingga bila hanya sekedar bersentuhan kulit, tidak membatalkan wudhu`. Ulama kalangan Syafi`iyah cenderung mengartikan kata ‘menyentuh’ secara harfiyah, sehingga menurut mereka sentuhan kulit antara laki-laki dan wanita yang bukan mahram itu membatalkan wudhu`.
Menurut mereka, bila ada kata yang mengandung dua makna antara makna hakiki dengan makna kiasan, maka yang harus didahulukan adalah makna hakikinya. Kecuali ada dalil lain yang menunjukkan perlunya menggunakan penafsiran secara kiasan.
 Hanabilah berpendapat, bahwa wudhu seseorang menjadi batal, apabila bersentuhan laki-laki dengan wanita disebabkan ada syahwat dan tidak ada batas penghalang. Golongan ini tidak membedakan antara wanita mahram dan bukan mahram (ajnabiyah= orang lain), hidup atu mati, muda atau tua, besar atau kecil. Dalam banyak hal antar Syafi’iyah dan Hanabilah dalam persoalan ini adalah sama, seperti menyentuh kuku, rambut dan gigi, tidak membatalkan wudhu. Ada satu hal yang mendasari perbedaan pndapat antara keduanya yaitu mengenai “mahram”.

5. Menyentuh kemaluan
Menyentuh kemaluan sendiri dan kemaluan orang lain terdapat perbedaan pendapat.
 Hanafiyah berpendapat, bahwa menyentuh kemaluan, tidak membatalkan wudhu apakah menyentuh kemaluan sendiri atau orang lain. Mereka berpegang kepada hadits yang artinya:
Seorang bertanya kepada Nabi: “ Saya menyentuh kemaluan saya sendiri atau katanya seseorang menyentuh kemaluannya sewaktu shalat, haruskah ia berwudhu? Nabi menjawab, “Tidak, sesungguhnya ia (kemaluan) adalah bagian dari tubuhmu” (HR.Lima Ahli Hadits dan dinyatakan shahih oleh Ibnu Hibban).
Kemudian hadits berikutnya, bertentangan dengan hadits di atas yang berbunyi:
من مس ذكره فليتوضأ
Artinya : “Siapa saja yang menyentuh kemaluannya, hendaklah ia berwudhu.” (HR.Lima Ahli Hadits dan dinyatakan shahih oleh Ibnu Hibban).
Golongan Hanafiyah memahami hadits tersebut dari segi bahasa, bahwa pengertian: فليتوضأ adalah membersihkan (membasuh) tangannya.
 Malikiyah berpendapat, bahwa seseorang yang menyentuh kemaluan wudhunya batal dengan ketentuan sebagai berikut:
1. Orang itu menyentuh kemaluannya sendiri.
2. Orang itu sudah balig.
3. Sentuhan itu tanpa batas penghalang.
4. Sentuhan itu dengan bagian dalam telapak tangan, atau bagian tepi telapak tangan, atau bagian dalam jemari, atau bagian tepi jemari atau ujung jari tangan.
Golongan Malikiyah, tidak mempersoalkan, apakah sentuhan itu merasakan nikmat atau tidak, asal sudah memenuhi ketentuan di atas, wudhu menjadi batal.
 Syafi’iyah berpendapat, bahwa menyentuh kemaluan sendiri dan orang lain, membatalkan wudhu, bahkan menyentuh kemaluan mayat pun membatalkan wudhu. Sabda Rasulullah:

“Siapa saja laki-laki yang menyentuh kemaluannya, hendaklah ia berwudhu, dan siapa saja wanita yang menyentuh kemaluannya hendaklah ia berwudhu.” (H.R. Ahmad).
Sebagaimana telah dijelaskan pada uraian dahulu, bahwa menyentuh wanita tanpa pengahalang batas, membatalkan wudhu. Menyentuh kemaluan tentu sudah termasuk pengertian di atas, baik menyentuh kemaluan anak kecil maupun orang mati.
Hendaknya diingat bahwa pengertian “farj” dalam hadits di atas adalah “qubul dan dubur”. Dengan demikian, menyentuh dubur pun membatalkan wudhu.
 Hanabilah pendapat mereka sama dengan Syafi’iyah, dan yang berbeda adalah sentuhan dengan belakang telapak tangan pun membatalkan wudhu, sedangkan Syafi’iyah sentuhan dengan telapak tangan bagian dalam, membatalkan wudhu, dengan belakang telapak tangan tidak.

5. Sesuatu yang keluar dari tubuh selain qubul dan dubur
Sesuatu yang keluar dari tubuh, seperti nanah, darah dan najis dapat membatalkan wudhu, menurut sebagian ulama dan tidak membatalkan wudhu menurut pendpaat ulama yang lain.
 Malikiyah dan Syafi’iyah berpendapat, bahwa sesuatu yang keluar selain qubul dan dubur, tidak membatalkan wudhu.
Mereka berpegang kepada Hadits Anas:


“ Sesungguhnya Nabi pernah berbekam (diambil darah dari kepala) kmudian beliau shalat tanpa wudhu lebih dahulu.” (Dikeluarkan oleh Daruquthni)
Hasan mengatakan, bahwa kaum muslimin tetap mengrjakan shalat dengan luka-luka mereka. Demikian juga ‘Umar bin Khattab, melakukan shalat, sedangkan lukanya mengeluarkan darah. Demikian juga Ubbad bin Basyr terkena panah sewaktu shalat, dan ia tetap meneruskan shalatnya.
 Hanafiyah dan Hanabilah berpendapat, bahwa sesuatu yang keluar dari tubuh selain qubul dan dubur dapat membatalkan wudhu.
Hanabilah mengatakan batal wudhu, bila yang keluar itu banyak menurut ukuran umum sedangkan menurut Hanafiyah, wudhu batal, bila benda yang keluar itu mengalir dari tempat keluarnya.
Sebagai landasan adalah hadits Aisyah:
“Siapa saja (sewaktu sedang shalat) muntah, mimisan (keluar dahak, atau madzi hendaklah ia berpaling lalu berwudhu, kemudian meneruskan shalatnya kembali dan dalam melakukan itu semua ia tidak boleh berkata-kata.” ( Ibnu Majah )

6. Ketawa terbahak-bahak
Ketawa terbahak-bahak membatalkan shalat dan wudhu menurut Hanafiyah dan tidak batal menurut ulama selain Hanafiyah.
Bila ketawa seseorang didengar oleh orang yang disampingnya, maka shalat dan wudhunya batal, tetapi bila tertawanya tidak didengar orang disampingnya, maka yang batal hanya shalatnya saja, tidak wudhunya. Kalau hanya tersenyum saja, tidak membatalkan wudhu.

7. Memakan daging unta
Menurut Hanabilah, orang yang memakan daging unta, wudhunya batal , berdasarkan pada pertanyaan seorang sahabat kepada Rasulullah SAW. berikut ini: “Apakah kami harus berwudhu karena memakan daging kambing, wahai Rasulullah? Rasulullah menjawab: Ya kalau engkau berkehendak. Lalu apakah kami juga harus berwudhu setelah memakan daging unta? Beliau menjawab, Ya.” ( H.R. Muslim)
Namun demikian, sebagian besar dari para sahabat tidak mengharuskan berwudhu karena memakan daging hewan sembelihan, dengan alasan bahwa hadits itu telah mansukh (telakh di nasakh). Di antar para sahabat itu adalh emapt khalifah terkemuka yaitu Abu Bakar Ash-Shiddiq, Umar bin Khaththab, Utsman bin Affan dan Ali bin Abi Thalib, di maa mereka tidak berwudhu setelah memakan daging hewan sembelihan.


8. Memandikan dan membawa mayat
Menurut Hanabilah, seseorang yang memandikan mayat, wudhunya batal , berdasarkan hadits Aisyah:
“ Rasulullah SAW mandi karena empat sebab: karena janabah, hari Jum’at, berbekam dan karena memandikan mayat.” (HR. Abu Daud, Ahmad, dan Bayhaqi ).
Juga berdasarkan keterangan yang menyatakan, bahwa Ibnu Umar dan Ibnu Abbas memerintahkan orang yang memandikan mayat supaya berwudhu. Batal wudhu seseorang, bila langsung memandikan mayat itu, dan tidak batal kalau hanaya sekedar membantu mengguyurkan air saja pada saat mayat dimandikan.
Dalam keterangan lain, bahwa disunnahkan untuk berwudhu setelah memandikan mayat, baik yang dimandikan itu anak kecil maupun orang dewasa. Karena tidak jarang (mungkin) tangan menyentuh kemaluan sang mayat.
Dalam perkara lain tentang wudhu karena membawa mayat, Ash- Shan’ani dalam kitab Subul As-Salam mengatakan, “ Saya tidak pernah tahu seorang mengatakan, bahwa membawa mayat itu mewajibkan wudhu.” Menurutnya, barangsiapa yang membawa mayat langsung dengan tangannya, ia dianjurkan untuk membasuh tangannya, berdasarkan hadits yang menyatakan, “…Barangsiapa yang membawa mayat hendaklah berwudhu.” (HR. Ahmad, At-Tirmidzi, dan An-Nasa’i). Tetapi menurut sebagian besar ulama, hadits dhaif.

9. Murtad
Murtad keluar dari agam Islam dan berarti orang itu kafir. Murtad adakalanya dengan perbuatan, keyakinan dan ucapan. Murtad dengan ucapan umpamanya mencaci maki Allah, Rasul, Agama Islam, menganggap Allah lemah tidak berdaya, dan menyipati Allah dengan sifat-sifat yang tidak layak.
Murtad dengan perbuatan dan keyakinan, sebenarnya sudah jelas keluar dari agam Islam. Tetapi, murtad dengan ucapan ini yang ditekankan di sini, sebab mungkin orang masih menganggap dirinya tidak murtad dengan ucapannya itu dan dia masih shalat, sedangkan shalat baru dianggap sah kalu dia berwudhu.
 Hanafiyah, Syafi’iyah dan Malikiyah, berpendapat bahwa wudhu itu tidak batal disebabkan karena murtad.
Namun menurut Syafi’iyah, bahwa murtad itu tidak membatalkan wudhu bila orang itu murtad (keluar dari Islam) dalam keadaan sehat dari penyakit beser dan yang semacamnya. Sedangkan orang yang terkena penyakit beser, maka wudhunya iru batal dengan sebab murtad, karena kesuciannya itu lemah.
 Hanabilah berpendapat bahwa murtad itu dapat membatalkan wudhu.
Murtad dapat membatalkan wudhu, karena menghapuskan semua amal, sedangkan wudhu termasuk juga dalam kategori amal. Allah berfirman:
…        
Artinya: "…Jika kamu mempersekutukan (Tuhan), niscaya akan hapuslah amalmu dan tentulah kamu termasuk orang-orang yang merugi.( QS. Az-Zumar: 65 )

10. Ragu berwudhu
Menurut Malikiyah orang yang yakin ia berwudhu atau berat dugaan masih suci, kemudian ia ragu, maka ia wajib berwudhu. Kemudian apabila yakin seseorang berhadats, kemudian ia ragu ia masih suci, maka ia harus berwudhu. Berbeda dengan Jumhur selain Malikiyah, bahwa wudhu seseorang tidak batal sekiranya sudah yakin ia berwudhu. Sebab sesuatu yang sudah diyakini, tetap berpegang kepada yang diyakini, jangan berpegang kepada yang ragu. Juga berpegang kepada kaidah:

Artinya: “ Keyakinan tidak dapat dihilangkan dengan keraguan.”
Sebagaimana diriwayatkan dari Abbad bin Tamim, dari pamannya, dimana ia menceritakan:



“ Ada seseorang mengadu kepada Nabi yang membayangkan bahwa ia merasakan sesuatu (kentut) di dalam shalatnya. Maka beliau pun bersabda: hendaklah ia tidak berpaling, sehingga mendengar atau mencium baunya.” (HR. Jama’ah, kecuali At-Tirmidzi )
Hadits di atas menunjukkan diperbolehkannya mengabaikan keragu-raguan yang muncul dalam diri seseorang yang tengah mengerjakan shalat. Juga rasa bimbang yang oleh Rasulullah disebut sebagai godaaan setan.

11. Muntah
Di antara ulama ada yang berpendapat bahwa muntah mengharuskan seseorang untuk berwudhu dengan dalil hadits Ma’dan bin Abi Thalhah dari Abu Ad-Darda bahwasanya Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah muntah, lalu beliau berbuka dan berwudhu. Kata Ma’dan: “Aku berjumpa dengan Tsauban di masjid Damaskus, maka aku sebutkan hal itu padanya, Tsauban pun berkata: “Abu Ad-Darda benar, akulah yang menuangkan air wudhu beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam.” (HR. At-Tirmidzi no. 87).
Al-Imam Asy-Syaukani rahimahullah berkata: “Al-Baihaqi mengatakan bahwa hadits ini diperselisihkan (mukhtalaf) pada sanadnya. Kalaupun hadits ini shahih maka dibawa pemahamannya pada muntah yang sengaja.” Di tempat lain Al-Baihaqi berkata: “Isnad hadits ini mudhtharib (goncang), tidak bisa ditegakkan hujjah dengannya.” (Nailul Authar, 1/268).
Asy-Syaikh Ahmad Syakir rahimahullah di dalam ta’liq beliau terhadap kitab Ar-Raudhatun Nadiyyah mengatakan: “Hadits-hadits yang diriwayatkan dalam masalah batalnya wudhu karena muntah adalah lemah semuanya, tidak dapat dijadikan hujjah.” (ta’liq beliau dinukil dari Ta’liqat Ar-Radhiyyah, 1/174)2
 Ulama berselisih pendapat dalam masalah muntah ini:
Di antara mereka ada yang berpendapat muntah itu membatalkan wudhu seperti Abu Hanifah dan pengikut mazhab Abu Hanifah, dengan syarat muntah itu berasal dari dalam perut, memenuhi mulut dan keluar sekaligus. (Nailul Authar, 1/268).
Al-Imam At-Tirmidzi rahimahullahu berkata: “Sebagian ahlul ilmi dari kalangan sahabat Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam dan selain mereka dari kalangan tabi’in berpandangan untuk berwudhu disebabkan muntah dan mimisan. Demikian pendapat Sufyan Ats-Tsauri, Ibnul Mubarak, Ahmad dan Ishaq. Sementara sebagian ahlul ilmi yang lainnya berpendapat tidak ada keharusan berwudhu karena muntah dan mimisan, demikian pendapat Malik dan Asy-Syafi’i. (Sunan At-Tirmidzi, 1/59).
 Adapun ulama yang lain seperti 7 imam yang faqih dari Madinah, Asy-Syafi‘i dan orang-orang yang mengikuti mazhab Asy-Syafi’i, juga satu riwayat dari Al-Imam Ahmad menunjukkan bahwa keluar sesuatu dari tubuh selain qubul dan dubur tidaklah membatalkan wudhu, baik sedikit ataupun banyak, kecuali bila yang keluar dari tubuh itu kencing ataupun tahi. (Nailul Authar, 1/268, Asy-Syarhul Mumti’, 1/234).


Mereka berdalil sebagai berikut:
1. Hukum asal perkara ini tidaklah membatalkan wudhu. Sehingga barangsiapa yang menyatakan suatu perkara menyelisihi hukum asalnya maka hendaklah ia membawakan dalil.
2. Sucinya orang yang berwudhu dinyatakan dengan pasti oleh kandungan dalil syar‘i, maka apa yang telah pasti tidaklah mungkin mengangkat kesuciannya (menyatakan hilang/ membatalkannya) kecuali dengan dalil syar‘i.
3. Hadits yang dijadikan dalil oleh pendapat pertama telah dilemahkan oleh mayoritas ulama.
4. Apa yang ditunjukkan dalam hadits ini adalah semata-mata fi‘il (perbuatan) sedangkan yang semata-mata fi‘il tidaklah menunjukkan suatu yang wajib. (Asy-Syarhul Mumti‘, 1/224-225)
Al-Imam An-Nawawi rahimahullah berkata: “Tidaklah batal wudhu dengan keluarnya sesuatu dari selain dua jalan (qubul dan dubur) seperti pendarahan, darah yang keluar karena berbekam, muntah dan mimisan, sama saja baik keluarnya banyak ataupun sedikit.
Demikian pendapat Ibnu ‘Abbas, Ibnu ‘Umar, Ibnu Abi Aufa, Jabir, Abu Hurairah, ‘Aisyah, Ibnul Musayyab, Salim bin Abdillah bin ‘Umar, Al-Qasim bin Muhammad, Thawus, ‘Atha, Mak-hul, Rabi’ah, Malik, Abu Tsaur dan Dawud. Al-Baghawi berkata: “Ini merupakan pendapat mayoritas shahabat dan tabi`in.” (Al-Majmu’, 2/63)
Adapun Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah rahimahullah dalam Majmu’atur Rasail Al-Kubra, beliau berpendapat hukumnya di sini adalah sunnah sebagaimana dinukilkan oleh Asy-Syaikh Al Albani rahimahullah. Demikian juga beliau menyatakan sunnahnya berwudhu setelah muntah. (Tamamul Minnah, hal. 111, 112)
Sementara hadits ‘Aisyah radhiallahu ‘anha bahwasanya Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
مَنْ أَصَابَهَ قَيْءٌ أَوْ رُعَافٌ أَوْ قَلَسٌ أَوْ مَذِيٌ فَلْيَنْصَرِفْ، فَلْيَتَوَضَّأْ…
“Siapa yang ditimpa (mengeluarkan) muntah, mimisan, qalas4 atau madzi (di dalam shalatnya) hendaklah ia berpaling dari shalatnya lalu berwudhu.” (HR. Ibnu Majah no. 1221)
Al-Imam Asy-Syaukani rahimahullah berkata: “Hadits ini dinyatakan cacat oleh sebagian Ahlul Hadits karena setiap periwayatan Isma’il ibnu ‘Iyasy dari orang-orang Hijaz semuanya dinilai lemah. Sementara dalam hadits ini Isma’il meriwayatkan dari Ibnu Juraij yang dia itu orang Hijaz. Juga karena para perawi yang meriwayatkan dari Ibnu Juraij –yang mereka itu adalah para tokoh penghapal– meriwayatkannya secara mursal (menyelisihi periwayatan Isma’il yang meriwayatkannya secara ittishal (bersambung) – pen.), sebagaimana hal ini dikatakan oleh penulis kitab Muntaqal Akhbar. Terlebih lagi riwayat yang mursal ini dinyatakan shahih oleh Adz-Dzuhli, Ad-Daruquthni dalam kitab Al-’Ilal, begitu pula Abu Hatim dan beliau mengatakan telah terjadi kesalahan dalam periwayatan Isma’il. Ibnu Ma’in berkata hadits ini dha’if. (Nailul Authar, 1/269)
Al-Hafidz Ibnu Hajar rahimahullah mengatakan bahwa Al-Imam Ahmad dan selain beliau men-dha’if-kan hadits ini (Bulughul Maram hal. 36).


DAFTAR PUSTAKAAli, Hasan, M.,Perbandingan Mazhab Fiqh, PT.Raja Grafindo Persada: Jakarta, 2000.
Al-Jaziri, Syekh Abdurrahman, Fiqh Emapat Mazhab diterjemahkan dari Kitab Al-Fiqh ‘Ala Al- Mazahib Al-Arba’ah oleh Prof.H.Chatibul Umam dan Abu Hurairah, Darul Ulum Press: Jakarta, 1996.
Ayyub, Syaikh Hasan, Fikih Ibadah diterjemahkan dari kitab Fiqh al-‘Ibadaat bi Adaltihaa fii Al-Islam oleh Abdul Rosyad Shiddiq, Pustaka Al-Kautsar: Jakarta Timur, 2004.
Muhammad ‘Uwaidah, Syaikh Kamil , Fiqh Wanita diterjemahkan dari kitab Al-Jami’ fii Fiqhi An-Nisa’ oleh M.Abdul Ghoffar E.M, Pustaka Al-Kautsar: Jakarta Timur, 2008.
http://kampussyariah.com/webx/e2.php?id=38.
http://www.asysyariah.com/syariah.php?menu=detil&id_online=237.

Emoticon Ini Tidak Untuk Komentar Lewat Facebook.Copas Kode Pada Komentar Mu....
:a: :b: :c: :d: :e: :f: :g: :h: :i:
:j: :k: :l: :m: :n: :o: :p: :q: :r:
:s: :t: :u: :v: :w: :x: :y: :z: :ab:
Comments
0 Comments

0 komentar:

Post a Comment

Mohon maaf apabila terdapat komentar yang sesuai kriteria di bawah ini akan dihapus, demi kenyamanan bersama

1. Komentar berbau pornografi, sara, dan menyinggung.
2. Mencantumkan link hidup.
3. Mengandung SPAM.
4. Mempromosikan Iklan.

Terima kasih atas perhatiannya.