Makalah ini telah dipresentasikan oleh: Arief Rahman dan Nuur Salim dalam pelajaran hadist tarbawi
BAB
II
PENJELASAN
1.1 Hadis Tentang Anjuran Supaya Mempermudah Dan Jangan
Menggusarkan (LM: 1131)
حديث
أَنَسٍ ,عَنِ النَّبِىِّ صَلى الله عليه و سلم قال:
(يَسِّرُوا وَلاَ تُعَسِّرُوا, وَبَشِّرُوا وَلاَ تُنَفِّرُوا) أخرجه
البخرى
Artinya: Anas r.a berkata: Nabi SAW. Bersabda.
Ringankanlah ajaran da’wahmu dan jangan mempersukar, dan bergembiralah
pengikutmu dan jangan kamu gusarkan. (Bukhari, Muslim)[1].
1.2 Mufradat
Ringankanlah :
يَسِّرُوا
Bergembiralah :
وَبَشِّرُوا
1.3
Penjelasan Hadis
Faidah penambahan
kalimat وَلاَتُعَسِّرُوا
adalah sebagai
penegasan. Imam Nawawi berkata, “jika hanya menggunakan kata يَسِّرُوا (berilah kemudahan), maka orang yang hanya
memberikan kemudahan sekali da sering mempersulit orang lain termasuk dalam
hadis tersebut. Oleh karena itu, Rasulullah bersabda وَلاَ
تُعَسِّرُوا (janganlah mempersulit) dengan maksud untuk mengingatkan, bahwa
memberikan kemudahan kepada orang lain harus selalu dilakukan dalam setiap
situasi dan kondisi. Dengan demikian pula dengan sabda Nabi, وَلاَ
تُنَفِّرُوا setelah kata وَبَشِّرُوا.
وَبَشِّرُوا (dan berilah berita gembira). Dalam bab
“Adab”, Imam Bukhari meriwayatkan dari Adam, dari Syu’bah dengan menggunakan
lafaz وَسَكِّنُوا
(berilah
ketenangan) yang merupakan antonym (lawan kata) dari وَلاَ
تُنَفِّرُوا. Sebab سُكُوْنkata (keterangan)
adalah lawan kata نُفُوْر (meninggalkan), seperti halnya kata البَشَارَةُ (berita gembira) merupakan lawan dari kata
النذَارَةُ (berita buruk). Akan tetapi karena
menyampaikan kabar buruk pada awal sebuah pengajaran dapat menyebabkan orang
tidak menghiraukan nasihat yang akan diberikan kepadanya, maka kata البَشَارَةُ (berita gembira) disini diikuti dengan
kata تَنْفِيْرُ (meninggalkan).
Adapun maksud
dari hadis ini adalah:
- kita harus berlaku ramah kepada orang yang baru memeluk Islam dan tidak mempersulitnya.
- lemah lembut dalam melarang perbuatan maksiat agar dapat diterima dengan baik.
- menggunakan metode bertahap dalam megajarka suatu ilmu, karena segala sesuatu jika diawali dengan kemudahan, maka akan dapat memikan hati dan menambah rasa cinta. Berbeda halnya jika pengajaran itu dimulai dengan kesulitan. Wallahu A’lam[2].
2.1 Hadis Tentang Bayi Dilahirkan dalam Keadaan Fitrah
(LM: 1702)
حديث
أَبِى هُرَيْرَةَ رَضِيَ اللهُ عَنْهُ.
قَالَ النَّبِىِّ صلى الله عليه و سلم:
(مَا مِنْ مَوْلُوْدٍ إَلاَّيُوْلَدُ عَلَى الفِطْرَةِ. فَأَبَوَهُ يُهَوِّدَانِهِ
أَوْ يُنَصِّرَانِهِ أَوْ يُمَجِّسَانِهِ. كَمَا تُنْتَجُ البَهِيْمَةُ بَهِيْمَةً
جَمْعَاءَ هَلْ تُحِسُّوْنَ فِيْهَا مِنْ جَدْعَاءَ ؟)
ثُمَّ
يَقُوْلُ أَبُوْهُرَيْرَةَ رضي اللهُ عنه:
فِطْرَةَ اللهِ التِّى فَطَرَ النَّاسَ عَلَيْهَا لاَتَبْدِيْلَ لِخَلْقِ اللهِ, ذَالِكَ
الدِّيْنُ القَيِّمُ- أخرجه البخرى
Artinya: Abuhurairah r.a berkata: Nabi SAW. Bersabda:
Tiada bayi yang dilahirkan melainkan lahir di atas fitrah, maka ayah bundanya
yang menjadikan yahudi, nasrani, dan majusi, sebgai lahirnya binatang yang
lengkap sempurna. Apakah ada binatang yang lahir terputus telinganya? Kemudian
Abuhurairah r.a membaca: fitrah yang diciptakan Allah pada semua manusia, tiada
perubahan terhadap apa yang dicipta oleh Allah. Itulah agama yang lurus
(Bukhari, Muslim)[3].
2.2 Mufradat
lahirnya binatang : تُنْتَجُ
البَهِيْمَةُ
lengkap / sempurna : جَمْعَاءَ
tiada perubahan : لاَتَبْدِيْل
2.3 Penjelasan
Hadis
At-Thabari dan Ibn al-Mundzir menjelaskan, dengan
mengutip pendapat Mujahid, bahwa fitrah yang dimaksud adalah agama (dîn) Islam.
Ini juga makna yang dipegang oleh Abu Hurairah dan Ibn Syihab. Maknanya bahwa
seorang anak dilahirkan dalam keadaan selamat dari kekufuran. Itulah janji
setiap jiwa kepada Allah tatkala masih dalam kandungan, sebagaimana
diisyaratkan dalam surah al-A’raf 172-173 :
øÎ)ur xs{r& y7/u .`ÏB ûÓÍ_t/ tPy#uä `ÏB óOÏdÍqßgàß öNåktJÍhè öNèdypkôr&ur #n?tã öNÍkŦàÿRr& àMó¡s9r& öNä3În/tÎ/ ( (#qä9$s% 4n?t/ ¡ !$tRôÎgx© ¡ cr& (#qä9qà)s? tPöqt ÏpyJ»uÉ)ø9$# $¯RÎ) $¨Zà2 ô`tã #x»yd tû,Î#Ïÿ»xî ÇÊÐËÈ
÷rr& (#þqä9qà)s? !$oÿ©VÎ) x8sõ°r& $tRät!$t/#uä `ÏB ã@ö7s% $¨Zà2ur ZpÍhè .`ÏiB öNÏdÏ÷èt/ ( $uZä3Î=ökçJsùr& $oÿÏ3 @yèsù tbqè=ÏÜö7ßJø9$# ÇÊÐÌÈ
Artinya:
172. Dan (ingatlah), ketika Tuhanmu mengeluarkan
keturunan anak-anak Adam dari sulbi mereka dan Allah mengambil kesaksian terhadap
jiwa mereka (seraya berfirman): "Bukankah Aku Ini Tuhanmu?" mereka
menjawab: "Betul (Engkau Tuban kami), kami menjadi saksi". (Kami
lakukan yang demikian itu) agar di hari kiamat kamu tidak mengatakan:
"Sesungguhnya kami (Bani Adam) adalah orang-orang yang lengah terhadap Ini
(keesaan Tuhan)",
173. Atau agar kamu tidak mengatakan:
"Sesungguhnya orang-orang tua kami Telah mempersekutukan Tuhan sejak
dahulu, sedang kami Ini adalah anak-anak keturunan yang (datang) sesudah
mereka. Maka apakah Engkau akan membinasakan kami Karena perbuatan orang-orang
yang sesat dahulu[4]?"
Maka fitrah yang adalah seperti yang disampaikan oleh Ibn
Abd al-Bar dan Ibn ‘Athiyah, yaitu karakter ciptaan dan kesiapan yang ada pada
diri anak ketika dilahirkan, yang menyediakan atau menyiapkan untuk
mengidentifikasi ciptaan-ciptaan Allah dan menjadikan dalil pengakuan terhadap
Robb-nya, mengetahui syaritnya dan mengamatinya.
Abu al-‘Abbas menyatakan bahwa Allah Swt. menciptakan
hati anak Adam siap untuk menerima kebenaran seperti menciptakan mata siap
untuk melihat dan telinga siap untuk mendengar. Hanya saja, faktor-faktor
berupa bisikan setan jin maupun setan manusia serta hawa nafsu bisa
meggelincirkannya dari kebenaran. Jadi, ibu-bapaknya dalam hadis di atas
merupakan permisalan dari bisikan setan yang menjadikannya seorang kafir atau musyrik.
Ibn al-Atsir mengomentari hadis di atas: Fitrah adalah ciptaan atau kreasi. Fitrah di antaranya adalah kondisi seperti berdiri atau duduk. Hadis tersebut bermakna bahwa setiap insan dilahirkan di atas suatu jenis dari jibillah (ciptaan) dan tabiat yang siap-sedia untuk menerima agama. Hal senada diungkapkan oleh Zamakhsyari. (Al-Fâ’iq, 3/128).
Berdasarkan nash-nash di atas, maka makna fitrah adalah karakteristik ciptaan, yaitu karakteristik bawaan yang melekat dalam diri setiap manusia sejak dilahirkan.
Jika kita analisis, karakteristik bawaan itu tidak lain adalah potensi kehidupan manusia berupa hajât al-‘udhâwiyah (kebutuhan untuk tetap hidup) dan gharâ’iz—jamak dari gharîzah—(naluri/insting). Tabiat yang berupa kesiapan menerima agama dan kelurusan itu tidak lain adalah gharîzah at-tadayyun (naluri beragama). Jadi, kesaksian dalam surat al-A'raf tersebut adalah kesaksian naluriah/instingtif (syahâdah ghâriziyyah atau syahâdah fithriyyah) dan bukan kesaksian imani (syahâdah îmâniyyah). Kesaksian itu tidak akan bisa dilupakan oleh manusia karena melekat dalam dirinya dan tidak akan hilang sampai kematiannya dan sampai generasi manusia yang terakhir. Itulah yang ditegaskan Allah dalam al-A'raf ayat 172-173[5].
Ibn al-Atsir mengomentari hadis di atas: Fitrah adalah ciptaan atau kreasi. Fitrah di antaranya adalah kondisi seperti berdiri atau duduk. Hadis tersebut bermakna bahwa setiap insan dilahirkan di atas suatu jenis dari jibillah (ciptaan) dan tabiat yang siap-sedia untuk menerima agama. Hal senada diungkapkan oleh Zamakhsyari. (Al-Fâ’iq, 3/128).
Berdasarkan nash-nash di atas, maka makna fitrah adalah karakteristik ciptaan, yaitu karakteristik bawaan yang melekat dalam diri setiap manusia sejak dilahirkan.
Jika kita analisis, karakteristik bawaan itu tidak lain adalah potensi kehidupan manusia berupa hajât al-‘udhâwiyah (kebutuhan untuk tetap hidup) dan gharâ’iz—jamak dari gharîzah—(naluri/insting). Tabiat yang berupa kesiapan menerima agama dan kelurusan itu tidak lain adalah gharîzah at-tadayyun (naluri beragama). Jadi, kesaksian dalam surat al-A'raf tersebut adalah kesaksian naluriah/instingtif (syahâdah ghâriziyyah atau syahâdah fithriyyah) dan bukan kesaksian imani (syahâdah îmâniyyah). Kesaksian itu tidak akan bisa dilupakan oleh manusia karena melekat dalam dirinya dan tidak akan hilang sampai kematiannya dan sampai generasi manusia yang terakhir. Itulah yang ditegaskan Allah dalam al-A'raf ayat 172-173[5].
3.1 Hadis Tentang Memilih Waktu yang Efektif dalam
Bernasihat (LM: 1796)
حديث
عَبْدِ اللهِ بنِ مَسْعُوْدٍ. كَانَ يُذَكِّرُ النَّاسَ فِى كُلَِّ خَمِيْسِ, فَقَالَ
لَهُ رَجُلٌ: يَا أَبَا عَبْدِالرَّحمن! ,لَوَدِدْتُ أنَّكَ ذَكَّرْتَنَا كُلَّ يَوْمٍ.
قَالَ: أَماَّ إنَّهُ يَمْنَعُنىِ مِنْ ذَالِكَ أنِّى أَكْرَهُ أَنْ أُمَلِّكُه. وَإِنِّى
أَتَخَوَّلُكُمْ بِالمَوْعِظَةِ, كَمَا كَانَ النَّبِىُّ صلى
الله عليه و سلم يَتَخَوَّلُنَا بِهَا, مَخَافَة السَّآمَةِ
عَلَيْنَا- أخرجه البخرى
Artinya: Abdullah bin Mas’ud r.a biasa memberi
nasihat pada orang-orang tiap hari kamis, dan ketika ditanya oleh seseorang:
hai Abu Abdirrahman !, aku ingin sekira anda dapat memberi ajaran dan nasihat
itu tiap hari. Jawab Ibn Mas’ud: sesungguhnya yang mencegah diriku untuk
memberi nasihat kepada kalian setiap hari itu, karena aku kuatir menjemukan
kalian, maka aku jarang-jarang memberi nasihat kepada kalian sebagaimana Nabi
SAW. Dahulu berbuat sedemikian terhadap kami kuatir menjemukan kami.(Bukhari,
Muslim).
Sebab nasihat
yang menjemukan itu sama sekali tidak berguna tidak berpengaruh atau berbekas,
bahkan kemungkinan menyebabkan dosa, yaitu jika dinasihati ngomel, karena
jemunya[6].
3.2 Mufradat
Mengajarkan : يُذَكِّر
Aku
kuatir :
أَكْرَهُ
kuatir
menjemukan kami / Menjaga : يَتَخَوَّلُنَا
Saya mengharap : لَوَدِدْتُ
3.3 Penjelasan Hadis
Abdullah dalam
hadis ini adalah Abdullah bin Mas’ud,
yang biasa dipanggil Abu Abdurrahman. Sedangkan laki-laki yang bertanya kepada
Abdullah bin Mas’ud tidak diketahui dengan jelas, mungkin Yazid bin Mu’awiyah
an-Nakha’I, sebagaimana disinyalir oleh imam Bukhari pada abad akhir bab “Dakwah”.
لَوَدِدْتُ (saya
mengharap) disini huruf “lam” sebagai jawaban dari sumpah yang tidak
disebutkan, jadi asal kalimat tersebut adalah وَلله
لَوَدِدتُ (demi
Allah, saya mengharap).
Mengenai matan hadis
ini telah dijelaskan pada bab sebelumnya. Sanad hadis ini terdiri dari
orang-orang Kufah, sedangkan dalam hadis Anas sebelumnya adalah orang-orang
dari Bashrah[7].
Kita ketahui bersama agama Islam memerintahkan kita untuk selalu saling
nasehat menasehati. Dari hal tersebut ketika kita telaah maknanya, sesungguhnya
hal itu mempertegas posisi manusia yang lemah, sering pelupa, lalai, tidak
sabar, dan sering membuat kesalahan dan kerusakan. Nasehat menasehati adalah
proses menempa kejujuran, kerendahan hati, keterbukaan, komitmen dan rasa
kebersamaan. Nilai sebuah nasehat menurut hemat saya ditentukan oleh sedikitnya
4 hal utama yaitu (1). Kemampuan Penasehat, (2). Kesadaran yang dinasehati,
(3). Etika, dan (4). Waktu.
Oleh karena itu dalam bernasehat menasehati tentu ada etika yang harus
kita kedepankan, karena bisa saja kegiatan tersebut berkait dengan aib dan
kelemahan orang lain. Untuk itu nasehat harus diprioritaskan bahwa semua untuk
Allah SWT semata. Lalu upayakan untuk memegang kerahasian masalah, dan yang
tidak kalah penting adalah cara penyampaian nasehat yang penuh sopan-santun dan
menggunakan bahasa yang mudah dipahami. Semua hal di atas masih perlu
memperhatikan waktu yang baik untuk memberi nasehat. Maka waktu yang tepat
adalah waktu dimana nasehat itu diminta[8].
BAB
III
PENUTUP
KESIMPULAN
Adapun maksud dari hadis Tentang Anjuran Supaya
Mempermudah Dan Jangan Menggusarkan (LM: 1131) adalah:
- kita harus berlaku ramah kepada orang yang baru memeluk Islam dan tidak mempersulitnya.
- lemah lembut dalam melarang perbuatan maksiat agar dapat diterima dengan baik.
- menggunakan metode bertahap dalam megajarka suatu ilmu, karena segala sesuatu jika diawali dengan kemudahan, maka akan dapat memikan hati dan menambah rasa cinta. Berbeda halnya jika pengajaran itu dimulai dengan kesulitan. Wallahu A’lam
dan Hadis
Tentang Bayi Dilahirkan dalam Keadaan Fitrah (LM: 1702) At-Thabari dan Ibn
al-Mundzir menjelaskan, dengan mengutip pendapat Mujahid, bahwa fitrah yang
dimaksud adalah agama (dîn) Islam.
Hadis Tentang
Memilih Waktu yang Efektif dalam Bernasihat (LM: 1796) mengenai nasihat
yang menjemukan itu sama sekali tidak berguna tidak berpengaruh atau berbekas,
bahkan kemungkinan menyebabkan dosa, yaitu jika dinasihati ngomel, karena
jemunya
DAFTAR
PUSTAKA
Ibnu hajar al-Asqolani, al-Imam al-Hafizh, Fathul Baari Syarah Shahih
al-Bukhari,diterjemahkan oleh Ghazirah Abdi Ummah, Fathul Baari jus 1,
Jakarta, Pustaka Azzam, 2003.
M. Fuad Abdul Baqi, al-Lu’lu wal Marjan, diterjemahkan oleh H.
Salim Bahreisy, al-Lu’lu wal Marjan jus 2, Surabaya, PT. Bina Ilmu,
2003.
http://kamalsuraba.wordpress.com/author/kamalsuraba/page/2/
[1] M. Fuad
Abdul Baqi, al-Lu’lu wal Marjan, diterjemahkan oleh H. Salim Bahreisy, al-Lu’lu
wal Marjan jus 2, Surabaya, PT. Bina Ilmu, 2003, h. 650-651.
[2] Ibnu
hajar al-Asqolani, al-Imam al-Hafizh, Fathul Baari Syarah Shahih al-Bukhari,diterjemahkan
oleh Ghazirah Abdi Ummah, Fathul Baari jus 1, Jakarta, Pustaka Azzam,
2003, h. 309.
[3] M. Fuad
Abdul Baqi, al-Lu’lu wal Marjan, diterjemahkan oleh H. Salim Bahreisy, al-Lu’lu
wal Marjan jus 2, h. 1010.
[4] Maksudnya: agar orang-orang musyrik
itu jangan mengatakan bahwa bapak-bapak mereka dahulu Telah mempersekutukan
Tuhan, sedang mereka tidak tahu menahu bahwa mempersekutukan Tuhan itu salah,
tak ada lagi jalan bagi mereka, hanyalah meniru orang-orang tua mereka yang
mempersekutukan Tuhan itu. Karena itu mereka menganggap bahwa mereka tidak
patut disiksa Karena kesalahan orang-orang tua mereka itu.
[6] M. Fuad
Abdul Baqi, al-Lu’lu wal Marjan, diterjemahkan oleh H. Salim Bahreisy, al-Lu’lu
wal Marjan jus 2, h. 1093-1094.
[7] Ibnu
hajar al-Asqolani, al-Imam al-Hafizh, Fathul Baari Syarah Shahih al-Bukhari,diterjemahkan
oleh Ghazirah Abdi Ummah, Fathul Baari jus 1, h. 310.
[8] http://kamalsuraba.wordpress.com/author/kamalsuraba/page/2/