Wednesday, March 7, 2012

Perbedaan Pendapat Tentang Hukum Asuransi dalam Islam

A.PENGERTIAN ASURANSI
Kata asuransi berasal dari bahasa Inggris, insurance, yang dalam bahasa Indonesia telah menjadi popular dan diadopsi dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia dengan padangan kata “pertanggungan”. Echolsdan Shadilly memaknai kata insurance dengan (a) asuransi, dan (b) jaminan. Dalam bahasa Belanda biasa disebut dengan istilah assurantie (asuransi) dan verzekering (pertanggungan).
Wirjono Prodjodikoro dalam bukunya Hukum Asuransi di Indonesia memaknai asuransi sebagai: “Suatu persetujuan di mana pihak yang menjamin berjanjikepada pihak yang dijamin, untuk menerima sejumlah uang premi sebagai pengganti kerugian, yang mungkin akan diderita oleh yang dijamin, karena akibat dari suatu peristiwa yang belum jelas.
Sedang dalam pandangan Abbas Salim, asuransi dipahami sebagai “suatu kemauan untuk menetapkan kerugian-kerugian kecil (sedikit) yang sudah pasti sebagai (substitusi) kerugian-kerugian yang belum pasti”.
Dalam eksiklopedi Hukum islam disebutkan bahwa asuransi (Ar: at-ta’min) adalah “transaksi perjanjian antara dua pihak; pihak yang satu berkewajiban membayar iuran dan pihak yang lain berkewajiban memberikan jaminan sepenuhnya kepada pembayar iuran jika terjadi sesuatu yang menimpa pihak pertama sesuai dengan perjanjian yang dibuat”
Herman Darmawi dalam bukunya Manajemen Asuransi memberikan definisi asuransi dari berbagai sudut pandang, yaitu dari sudut pandang ekonomi, hukum, bisnis, sosial, ataupun berdasarkan pengertian matematika.
Definisi asuransi menurut Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 2 Tahuns 1992 tentang usaha perasuransian Bab I Pasal 1: “Asuransi atau Pertanggungan adalah perjanjian antara dua pihak atau lebih, dengan mana pihak penanggung mengikatkan diri kepada tertanggung dengan menerima premi asuransi, untuk memberikan penggantian kepada tertanggung karena kerugian, kerusakan, atau kehilangan keuntungan yang diharapkan, atau tanggung jawab hukum kepada pihak ketiga yang mungkin akan diderita tertanggung, yang timbul dari suatu perisitwa yang tidak pasti, atau untuk memberikan suatu pembayaran yang didasarkan atas meninggal atau hidupnya seseorang yang dipertanggungkan”.
Islam memandang “pertanggungan” sebagai suatu fenomena sosial yang dibentuk atas dasar saling tolong-menolong dan rasa kemanusiaan. Secara definitive, Billah memaknai “takaful” dengan “mutual guarantee provided by a group of people living in the same society against a defined risk or catastrophe befalling one’s life, property or any form of valuable things (jaminan bersama yang disediakan oleh sekelompok masyarakat yang hidup dalam satu lingkaran yang sama terhadap resiko atau bencana yang menimpa jiwa seseorang, harta benda, atau segala sesuatu yang berharga).
Searti dengan kata “takaful” adalah lafadz “tadhamun” yang pemaknaannya sama, yaitu saling menanggung. Adalah Muhammad Sauqi Al-Fanjari yang memakai kata “tadhamun” sebagai pengungkapan arti tanggung jawab sosial bersama.
Jadi yang dimaksud dengan “asuransi atau pertanggunagan jiwa adalah perjanjian antara dua pihak atau lebih, dengan mana pihak penanggung mengikatkan diri kepada tertanggung dengan menerima premi asuransi, untuk memberikan suatu pembayaran yang didasarkan atas meninggal atau hidupnya seseorang yang dipertanggungkan. Adapun yang dimaksud dengan usaha asuransi kerugian menurut Undang-Undang nomor 2 tahun 1992 tentang Usaha Perasuransian ialah “usaha yang memberikan jasa-jasa dalam penanggulangan risiko atau kerugian, kehilangan manfaat dan tanggung jawab hukum kepada pihak ketiga yang timbul dari peristiwa yang tidak pasti.

2.PRINSIP-PRINSIP ASURANSI
Ada beberapa prinsip asuransi, yang terpenting daripadanya ialah prinsip-prinsip sebagai berikut:
1.Prinsip Insurable Interest, jika tertanggung tidak memiliki kepentingan terhadap objek yang diasuransikan, maka objek tidak dapat dijamin. Dengan demikian, prinsip ini mengharuskan adanya kepentingan tertanggung terhadap objek yang dijadikan sebagai tanggungan. Unsur-unsur yang terkandung dalam prinsip insurable interest meliputi hal-hal berikut:
a.Harus berupa suatu harta, hak, kepentingan, jiwa atau tanggung gugat.
b.Keadaan pada point a diatas harus dapat dipertanggungkan
c.Tertanggung harus memiliki hubungan hukum dengan suatu yang dapat dipertanggungkan dimana pihak tertanggung memperoleh manfaat dari tidak terjadinya peristiwa atau kerusakan; dan sebaliknya, yang bersangkutan menderita kerugian bila yang dipertanggungkan mengalami kerusakan.
d.Antara pihak tertanggung dan suatu yang dipertanggungkan harus memiliki hubungan sah menurut hukum.
2.Prinsip indemnity; indemnity adalah konpensasi keuangan yang eksak, cukup untuk mengembalikan tertanggung pada posisi keuangan sesaat sebelum kerugian terjadi. Bentuk indemnity yaitu: cash, repair, replacement, dan reinstatement.
a.Cash, maksudnya jika terjadi klaim oleh tertanggung, maka penanggung (perusahaan asuransi) mengganti kerugian tersebut dalam bentuk uang tunai (cash) sesuai dengan jumlah yang harus dibayarkan.
b.Repair, dalam arti melakukan perbaikan terhadap objek tanggungan yang menderita kerugian.
c.Replacement, yang dimaksudkan ialah jika terdapat kerugian pada objek tanggungan yang tidak dapat/mungkin dilakukan perbaikan(repair), maka objek tanggungan tersebut diganti dengan objek tanggungan yang sama (objek dan nilainya) seperti keadaan semula.
3.Prinsip subrogasi; yang dimaksud adalah hak seseorang yang teelah membayar ganti kerugian kepada orang lain karena kewajiban hukumnya, untuk menggantikan orang lain itu serta menggunakan semua hak dan upaya hokum orang lain itu, baik sudah maupun belum dilaksanakan.
4.Prinsip proximate cause, adalah suatu penyebab aktif, efisien yang membentuk suatu rangkaian kegiatan atau kejadian yang menimbulkan sebab akibat.
5.Prinsip Contribution, adalah hak dari seseorang penanggung untuk meminta sesama penanggung membayar ganti rugi secara bersama-sama kepada seseorang tertanggung dan bagian dari masing-masing penanggung ini tidak bisa sama besar.
6.Prinsip utmost good faith, adalah kewajiban untuk mengungkapkan dengan suka rela, secara penuh dan akurat, semua fakta material atau resiko-resiko yang diajukan baik diminta atau tidak.
Pada dasarnya prinsip-prinsip umum yang terdapat didalam asuransi konvensional sebagaimana telah dikemukakan diatas, juga berlaku atau menjadi prinsip-prinsip dasar pada asuransi syariah. Namun, dalam asuransi syariah diberikan beberapa prinsip tambahan yang semata-mata bersumber pada ajaran islam dan belum tercover didalam prinsip-prinsip diatas. Prinsip-prinsip dasar tambahan yang dimaksud ialah:
1.Prinsip ikhtiar dan berserah diri, Allah adalah pemilik mutlak atas segala seuatu karena itu menjadi kekuasaan-Nya pula untuk member dan mengambil sesuatunya kepada/dari hamba-hamba-Nya yang ia kehendaki. Manusia memiliki kewajiban untuk berusaha (ikhtiar) sesuai dengan kesanggupannya, tetapi pada saat yang bersamaan manusia juga harus berserah diri (tawakkal) hanya kepada Allah SWT
2.Prinsip tolong menolong (ta’awun), prinsip yang paling utama dalam konsep asuransi Syariah adalah prinsip tolong-menolong. Hal ini mengandung arti bahwa setiap peserta asuransi (pemegang polis) ketika melangsungkan akad, harus memiliki niat tolong-menolong diantara atau dengan sesame peserta lain.
3.Prinsip bertanggung jawab; para peserta asuransi setuju untuk saling bertanggung jawab antara asatu sama lain, dan harus melaksanakan kewajiban di balik menerima yang menjadi hak-haknya.
4.Prinsip saling kerja sama da n bantu-membantu; salah satu keutamaan umat iskam ada;lah saling bekerja sama untuk membantusesamanya dalam berbuat kebajikan. Kerjasama dan membantu dalam islam, antara lain tersimbolkan dalam konsep kehidupan berjamaah dan berukhwah dalam konteksnya yang luas.
5.Prinsip saling melindungi dari berbagai kesusahan; para pesera asuransi Syariah setuju untuk saling melindungi dari musibah, kesusahan , bencana, dan sebaginya, terutama melalui perhimpunann dana tabarru’ melalui perusahaaan yang diberi kepercayaaan untuk itu. Asas saling melindungi ini dijunjung tingggi dalam agama islam, sebagai mana dapat difahami dari bebrapa ayat al-Qur’an.

Perbandingan Asuransi Syariah dan Asuransi Konvensional
Prinsip Asuransi Syariah Asuransi Konvensional
Konsep Sekumpulan orang yang saling membantu, saling menjamin dan bekerja sama, dengan cara masing-masing mengeluarkan dana tabarru’ Perjanjian antar dua pihak atau lebih, dengan mana pihak penanggung mengikatkan diri kepada tertanggung, dengan menerima premi asuransi, untuk memberikan pergantian kepada tertanggung.
Asal-usul Dari Al-Aqidah, kebiasaan suku arab jauh sebelum Islam datang. Kemudian disahkan oleh Rasulullah menjadi hukum Islam, bahkan telah tertuang dalam konstitusi pertama di dunia (Konstitusi Madinah) yang dibuat langsung Rasulullah Dari masyarakat Babilonia 4000-3000 SM yang dikenal dengan perjanjian Hammurabi. Dan tahun 1668 M di Coffe House London berdirilah Lioyd of London sebagai cikal bakal asuransi konvensional.

Sumber Hukum Bersumber dari Wahyu Ilahi. Sumber hukum dalam syariah Islam adalah al-Qur’an, sunnah atau kebiasaan Rasul, Ijma’,Fatwa Sahabat, Qiyas, Istihsan, ‘urf ‘tradisi’, Maslahah Mursalah. Bersumber dari pikiran manusia dan kebudayaan. Berdasarkan hukum positif, hukum alami, dan contoh sebelumnya.
DPS (Dewan Pengawas Syari’ah) Ada, yang berfungsi untuk mengawasi pelaksanaan operasional perusahaan agar terbebas dari praktik-praktik muamalah yang bertentangan dengan prinsip-prinsip syariah. Tidak ada, sehingga dalam praktiknya bertentangan dengan kaidah syara’.
Akad Akad tabarru’ dan akad tijarah (Mudharabah, wakalah, wadiah, syirkah dan sebagainya) Akad jual-beli (akad mu’awadhah, akad idz’aan, akad gharar, dan akad mulzim)
Jaminan / risk (resiko) Sharing of Risk Transfer of Risk
Bagi hasil Ada Tidak Ada
Misi dan visi Misi yang diemban dalam asuransi syariah adalah misi aqidah, ibadah (ta’awun), ekonomi (iqtishad) dan pemberdayaan umat (sosial) Secara garis besar misi utama dari asuransi konvensional adalah misi ekonomi dan misi sosial.

3.IKHTILAF PENDAPAT ‘ULAMA TENTANG ASURANSI
1.Pendapat Ulama Yang Mengharamkan
Pertama, pendapat Syaikh ibnu Abidin dari Mazhab Hanafi
orang yang pertama kali berbicara tentang asuransi di kalangan ahli fiqih islam adalah Muhammad Amin Ibnu Umar, yang terkenal dengan sebutan Ibnu Abidin Addimasyyiqi.
Dalam kitabnya terkenal, Hasyiyah ibnu A’bidin, bab jihad, pasal isti’man al-Kafr, ia menulis, “telah menjadi kebiasaan bila para pedagang menyewa kapal dari seorang harby, mefreka membayar upah pengangkutannya. Di samping itu, ia membayar juga sejumlah uang untuk seorang harby yang berada di negeri asal penyewa kapal, yang disebut sebagai sukarah ‘premi asuransi’ dengan ketentuan bahwa barang-barang pemakai kapal yang berada di kapal yang disewa itu , bila musnah karena kebakaran, atau kapal tenggelam, atau dibajak dan sebaginya, maka uang penerima premi asuransi itu menjadi penganggung, sebagi imbalan dari uang yang diambil dari pedagang itu. Penanggung itu mempunyai wakil yang mendapat perilndungan (musta’man) yang di negeri kita berdiam di kota-kota pelabuhan Negara Islam atas seizin penguasa. Siwakil tersebut menerima premi asuransi dari para pedagang, dan bila brang-barang mereka tertimpa peristiwa yang disebutkan di atas, dia (si wakil) yang membayar kepada para pedagangsebagai uang pengganti sebesar uang yang pernah di terimanya.
Kemudian Dia mengatakan tidak boleh atau halal bagi si pedagang mengambil uang pengganti dari barang-barangnya yang telah musnah. Dengan ungkapan inilah, sehinggga ia dianggap orang pertama di kalanagan fuqaha yang membahas asuransi.
Kedua, pendapat Syekh Muhammad al-Gazhali, ulama dan tokoh haraki dari mesir.
Dalam kitabnya Al-Islam wal Munaahiji Al-Isytiraakiyah (Islam dan Pokok-pokok Ajaran Islam) halaman 29, ia menyatakan bahwa asuransi itu mengandung riba, karena beberapa hal.
1.Apabila waktu perjanjian telah habis, maka uang premi dikembalikan kepada terjamindengan disertai bunganya dan ini adalah riba. Apabila jangka waktu yang tersebut di dalam polis belum habis dan perjanjian diputuskan, maka uang premi dikembalikan dengan dikurangi biaya-biaya administrasi. Dan, muamalah semacam ini dilarang oleh hokum agama.
2.Maskapai asuransi di dalam kebanyakan usahanya, menjalankan pekerjaan riba (pinjaman berbunga, dan lain-lainnya) .
Ketiga, Syekh Muhammad Yusuf al-Qardawi, ulama dan Dai terkemuka di dunia Islam saat ini, guru besar Universitas Qatar.
Al-Qardawi dalam kitabnya Al-halal Wal Haram Fil Islam (Halal dan Haram dalam Islam) mengatakan bahwa asuransi (konvensional) dalam praktik sekarang ini bertentangan dengan prinsip-prinsip syriah islam. Ia mencontohkan dalam asuransi kecelakaan, yaitu seorang anggota membayar sejumlah uang (x rupiah misal nya) setiap tahun. Apabila dia bisa lolos dari kecelakaan, maka uang jaminan itu hilang ( hangus). Sedangkan, si pemilik perusahaan akan menguasai sejumlah uang tersebut dan sedikit pun ia tidak mengembalikannya kepada anggota asuransi itu. Tetapi bila terjadi suatu kecelakaan, maka perusahaan akan membayar sejumlah uang yang telah diperjanjikan bersama.
Usaha senmacam ini, kata al-Qaradhwi, sama sekali jauh dari watak dari perdagangan dan solidaritas bersyariat.
Keempat, Syekh Abu Zahro, ulama fiqih termasyhur dan banyak menulis karya ilmiah tentang hokum islam, Guru Besar Universitas Kairo Mesir.
Abu Zahro menyimpulkan bahwa asuransi social (saling menolong) adalah halal dan sebagai perkara alami yang perlu diadakan. Sedangkan, asuransi, yang semata-mata bersifat komersial/nonsosial hukumnya haram. Dalam banyak pembahasannya tentang tentang asuransi, ia berkesimpulan sebagai berikut;
1.Asuransi yang besifat perkumpulan dengan tujuan social adalah halal (hukumnya) dan tidak ada subhah di dalamnya.
2.Ada riba di dalamnya, karena adanya bunga yang diperhitungkan. Ini satu pihak, dan dari pihak lain ia memberrikan sejumlah kecil uang. Lalu menerima lebih banyak jumlahnya.
3. Merupakan persetujuan jual beli uang, dan itu tidak sah bila tidak tunai
4.Tidak ada keadaan memaksa dalam bida ng perekonomkian yang mewajibkannya.
Kelima, DR. Muhammad Muslehuddin, Guru Besar hokum Islam Universitas London.
Dia mengatakan bahwa kontrak asuransi konvensional ditolak oleh ulama atau kalangan cendikiawan muslim dengan berbagai alas an, semetara penyokong modernis islam berkeras bahwa asuransi boleh menurut hokum islam. Keberatan para ulama terutama adalah sebagai berikut;
1.Asuransi merupakan kontrak perjudian
2.Asuaransi hanyalah pertaruhan
3.Asuransi bersifat tidak pasti
4.Asuransi jiwa adalah alat dengan mana suatu usaha dilakukan untuk mengganti kehendak tuhan.
5.Dalam asuransi jiwa, jumlah premi tidak tentu, karena peserta asuransi tidak tahu berapa kali cicilan yang akan dibayarkan sampai ia meninggal.
6.Perusahaan asuransi menginvestasikan uang yang dibayarkan oleh peserta asuransi dalam surat-surat berharga (sekuritas) berbunga. Dan dalam hal hal asuransi jiwa, si peserta asuransi atas kematiannya, berhak mendapatkan jauh lebih banyak dari jumlah yang telah dibayarkannya yang itu merupakan riba (bunga).
7.Seluruh bisnis asuransi didasrkan pada riba, yang hukumnya haram karena itulah, para ulama dengan keras menyatakan perang terhadap asuransi, dan secara tegas berpendapat bahwa kontrak asuransi diametric bertentangan dengan standar-standar etika ya ng ditetapklan oleh hokum islam. Asuransi berbahaya, tidak adil, dan tidak pasti.
Keenam, Prof. DR.Wahbah az-Zuhaili, ulama ahli fiqih, Guru Besar Universitas Damascus Syiria.
Dia mengatakan bahwa pada hakikatnya akad asuransi termasuk dalam aqd gharar yaitu akad yang tidak jelas tentang ada tidaknya sesuatu yang diakadakan. Padahal, Nabi Muhammad saw. Melarang jual beli gharar . jika di qiyaskan kepadanya aqad pertukaran harta, maka akad asurasi member kesan gharar seperti gharar ya ng terdapat dalam jual beli. Aqad asuransi bersama (mutud ) juga merupakan aqad pertukaran harta ia juga termasuk gharar, sebagaimana gharar yang terjadi dikebanyakan akad pertukaran harta. Ahli syariah memasukkannya dalam kelompok aqd-gharar ini disebabkan akad asuransi itu adalah untuk kejadian yang akan datang yang belum pasti berlaku dan tidak diketahui terjadinya, karenanya gharar melekat dan menyatu dalam praktik dan akad asuransi. Oleh karena itu, kata az-Zuhail tidak halal ( haram) bagi seorang pedagangdan bagi seorang mukmin mengambil ganti rugi dari harta, yang diberikan oleh asuransi.
Ketujuh, Dr. Husain Hamid Hisan, ulama dan cendikiawan muslim dari Universitas Al-Malik Abdul Aziz Mekah Al-Mukarramah.
Secara garis besar Hamid Hasan berkesimpulan tentang Asuransi dalam Hukum Islam sebagai berikut;
1.Akad asuransi adalah Mu’awadhah Maliyah yang mengandung gharar. Pengharaman terhadap perjanjian-perjanjian asuransi yang dilangsungkan oleh perusahaan asuransi dengan tertanggung adalah karena adannya akad-akad Mu’awadhah Maliyah ‘perjanjian saling memberikan pengganti berupa harta/uang’ yang mengandung gharar yang amat besar.
2.Akad asuransi mengandung judi dan taruhan. Dalil yang mengharamkan akad-akad yang dilangsungkan oleh perusahaan asurasnsi adalah karena akad-akadanya merupakan perjudian dan pertaruhan. Berdasarkan ittiqaf fuqaha, judi dan taruhan hukumnya haram, maka asuransi pun haram befrdasarkan ittiqaf. Para pakar hokum sepakat bahwa ciri-ciri akad judi dan taruhan sama dengan ciri-ciriyang ada dalam asuransi.
3.Akad asuransi mengandung riba. Akad asuransi adalah kesepakatan antara perusahaan asuransi dan tertanggung. Dalam ketentuannya tertanggung berjanji akan membayar premi-premi secara sekaligus atau berangsur-angsur, sebagai pengganti uang asuransi yang di bayar oleh perusahaan asuransi ketika terjadi peristiwa. Uang asuransi tersebut terkadang jumlahnya sama dengan premi-premi yang dibayar, kadang lebih banyak dan kadang lebih sedikit.
Kedelapan, Prof. KH.Ali Yafie, mantan ketua MUI, mantan Rais Am NU, Guru Besar Ilmu Fiqih, salah satu ulama yang sangat iondependen pendapatnya di indonesia .
setelah mengkaji dan membahas secara rinci apa itu asuransi, bentuk-bentuk tujuan, dan kaitannya dengan perundang-undangan di Indonesia, serta menelaah pendapat-pendapat ulama ternama yang dikutip dalam tulisannya, kemudian ia berkesimpulan sebagai berikut;
1. Asuransi diciptakan di dunia barat dan di atur oleh hukum barat sehinggga ia mempunyai watak, bentuk, sifat, dan tujuannya sendiri yang membedakan ia (dalam kebutuhnnnya) dari wujud muawalat yang dikenal dalam fiqih yang beredar dalam dunia islam.
2. Asuransi perusahaan tidak memberikan pemecahan atas pangkal ide asurasnsi yang baik. dan menurut hokum dan prakteknya, ia kait-mengait dengan hal-hal yang dilarangoleh hukum agama di dalam muamalah.
Kesembilan, pandangan-pandangan ulama yang dituangkan dalam pendapat lembaga internasional maupun nasional, muktamar atau fatwa oleh majlis, majma’, dan atau ormas islam, diantaranya sebagai be rikut:
1. Muktamar Ekonomi Islam, bersidang pertama kali tahun 1975 M di mekkah, dihadiri sekitar 200 ulama, propesor Syariah, dan pakar-pakar ekonomi dari berbagai Negara muslim. Dalam keputusannya tentang asuransi, muktamar berkesimpulan bahawa asuransi konvensional hukumnya haram karena mengandung riba da n gharar.
2. Kesatuan Ulama Fiqih Dunia, bersidang pada tahun 1979 M di Mekkah. Keputusan mayoritas ulama: asuransi jenis perniagaan haram hukumnya, baik asuiransi jiwa maupun yang lainnya.
3. Majelis Kesatuan Ulama Besar, dalam musyawarah pada tahun 1977 M, di Arab Saudi. Keputusannya: asuransi jenis perniagaan (konvensional) adalah haram.
4. Fatwa Majlis Ulama Indonesia (MUI). MUI pada prinsipnya menolak asuransi konvensional, tetapi menyadari realita dalam masyarakat bahwa asuransi tidak dapat dihindari, karena itu DSN-MUI dalam fatwanya memutuskan tentang pedoman umum asuransi Syariah sebagai berikut.
Pertama, ketentuan umum
1. Asuransi syariah adalah usaha saling melindungi dan saling tolong menolong di antara sejumlah orang/pihak melalui investasi dalam bentuk aset yang memberikan pola pengembalian untuk menghadapi risiko tertentu melalui akad yan g sesuai dengan syariah.
2. Akad yang sesuai dengan syariah
3. Akad tijarah adalah semua bentuk akad yang dilakukan untuk tujuan komersial
4. Akad tabarru semua bentuk akad yang dilakuakan dengan tujuan kebaikan dan tolog-menolong,
5. Premi adalah kewajiaban peserta asuransi untuk mem berikan sejumlah dana kepada perusahaan asuransi sesuai kesepakatan dalam akad.
6. Klaim adalah hak peserta asuransi yang wajib diberikan oleh pihak perusahaan asuransi sesuai dengan kesepakatan dalam akad.
Kedua, akad dalam asuransi
1. Akad yang dilakukan antara pesarta dengan perusahaan terdiri atas akad tijarah dan atau tabarru.
2. Dalam akad sekurang-kurangnya harus disebutkan:
a. Hak dan kewajiban peserta ddan perusahaan
b. Cara dan waktu pembayaran
c. Jenis akad tijarah dan atau tabarru serta syarat-syarat yang disepakati sesuai dengan jenis asuransi yang diakadkan.
5. Keputusan musyawarah Nasional Alim-Ulama Nahdatul Ulama (NU), tentang Asuransi Menurut Islam. Setelah mengkaji tentang tulisan tenntang Konsep Asuransi Menurut Islam, kemudian mendengarkan tanggapan para alim ulama yang hadir, munas memutuskan hukum asuransi sebagai berikut.
Pertama, Asuransi social diperbolehkan dengan ketentuan ketentuan sebagai berikut.
1. Asuransi social tidak termasuk akad mu’awadhah
2. Diselenggarakan oleh pemerintah, sehingga kalau ada kerugian ditanggung oleh pemerintah, dan jika untung dikembalikan untuk kepentingan masyarakat.
Kedua, Asuransi kerugian diperbolehkan dengan syarat apabila memenuhi ketentuan persyaratan sebagai berikut.
1. Apabial asuransi kerugian tersebut merupakan persyaratan bagi objek-objek yang menjadi agunan bank.
2. Apabila asuransi kerugian tersebut tidak dapat dihindari, karena terkait oleh ketentuan-ketentuan pemerintah, seperti asuransi untuk barang-barang yang diimpor dan ekspor.
6. Keputusan Muktamar Muhammadiyah di malang tahun 1987. Muhammadiyah berkesimpilan bahwa asuransi hukumnya haram, klarena mengandung unsure gharar, riba, kecuali asuransi social yang diselenggarakan oleh pemerintah, seperti taspen, Astek, asuransi beasiswa karena banyak mengandung maslahat, maka untuk sementara masih dibolehkan.

2 . Pendapat Ulama Yang Membolehkan
Pertama, Syaikh Abdur Rahman Isa, seorang Guru Besar Universitas Al-Azhar. Dengan tegas ia menyatakan bahwa asuransi merupakan praktek mu amalah gaya baru yang belum dijumpai imam-imam terdahulu, demikian juga para sahabat nabi. Pekerjaan ini menghasilkan kemaslahatan ekonomi yang banyak. Ulama telah menetapkan bahwa kepentingan umum yang selaras dengan hokum syara’ patut diamalkan. Oleh karena asuransi menyangkut kepentingan umum, maka halal menurut syara’. Menurutnya, perjanjian asuransi adalah sama dengan perjanjian al-ji’alah ‘memberi janji upah’.
Dia mengatakan bahwa sesungguhnya perusahaan asuransi dengan nasabahnya saling mengikat dalam perbuatan ini atas dasar saling meridhai. Perusahaan asuransi memperoleh laba yang memadai, yang disepakati oleh kedua belah pihak. Kedua belah pihak sepakat atas perbuatan yang mengandung maslahat yang berhubungan dengan apa yang telah di ciptakan oleh Allah SWT. Bagi kepentingan kita dan bagaimana manusia perbuata n ini diperlukan. Sementara tidak di[peroleh nash yang melaranganya.
Kedua, Prof. Dr. Muhammad Yusuf Musa (Guru Besar Universitas Kairo) Dia mengatakan bahwa asuransi bagaimana bentuknya merupakan koperasi yang menguntungkan masyarakat. Asuransi jiwa menguntungkan nasabah sebagaimana halnya menguntung kan perusahaan yang mengolala asuransi. Ia mengemukakan pandanagan bahwa sepanjang dilakukan bersih dari riba, maka asuransi hukumnnya boleh. Dengan pengertian, apabila nasabah masih hidup menurut jangka waktu yang ditentukan dalam polis, maka dia meminta pembayaran kembali, hanya sebesra premi yang pernah dibayarkan, tanpa ada tambahan. Tetapi manakala sang nasabah meninggal sebelum batas akhir penyetoran premi, maka ahli warisnya berhak menerima nilai asuransi, sesuai yang tercntum dalam polis, dan ini halal menurut ukuran syara.
Ketiga, Syekh Abdul Wahab Kholaf, Guru Besar Hukum Islam Universitas Kairo.
Ia mengatakan bahwa asuransi itu boleh sebab termasuk akad mudharobah. Akad mudharobah dalam syariat islam ialah perjanjian persekutuan dalam keuntungan, denagn modal yang diberikan oleh satu pihak dan dengan tenaga di pihak yang lain. Demikian pula dalam asuransi, orang yang berkongsi (nasabah), memberikan hartnya dengan jalan membayar premi, sementara dari pihak lain (perusahaan asuransi) “memutarkan” harta tadi,sehingga dapat menghasilkan keuntungan timbale balik, baik bagi para nasabah maupun bagi perusahaan, sesuai dengan perjanjian mereka.
Pendapat dia dalam majalah Hiwaul Islam No 11 tahun VII ditutupnya dengan kesimpulan bahwa perikatan asuransi jiwa adalah akad yang sah, berguna bagi para anggota (nasabah), bagi perusahaan asuransi, bagi masyarkat, dan tidak merusak sesorang. Jugha tidak memakan harta seseorang dengan tidak benat, melainkan merupakan tabungan, koperasi, dan memberikan kecukupan bagi kepentingan nasabah-nasabah yang usianya telah lanjut dan kepemntingan ahli warisnya, ketika ia tiba-tiba meninggal dunia. Syariat isl;am hanya mengharamkan yang merusak atau bahayanya lebih besar dari manfaatnya
Keempat, Prof. Dr. Muhammad al-Bahli, Wakil Rektor Universitas Al-Azhar Kairo.
Dalam kitabnya Nidlomut Ta’min fi Hadighi Ahkamil Islam wa Dlaruroti Mujtamil Mu’ashir, ia berpendapat bahwa asuransi itu hukumnya halal karena beberapa sebab.
1. Asuransi merupakan suatuusaha yang bersifat tolong menolong.
2. Asuransi mirip dengan akad mudharobah dan untuk mengembangkan harta benda.
3. Asuransi tidak mengandung unsur riba.
4. Asuransi tidak mengandung tipu daya.
5. Asuransi tidak mengurangi tawakal kepada Allah SWT.
6. Asuransi suatu usaha untuk menjamin anggotanya yang jatuh melarat karena suatu musisbah.
7. Asuransi memperluas lapangan kerja baru.
Kelima, Ustadz Bahjah Ahmad Hilmi, Penasihat Pengadilan Tinggi Mesir.
Ia mengatakan bahwa tujuan asuransi ialah meringankan dan memperlunak tekanan kerugian dan memelihara harta nasabah, yang sekiranya ia menanggung sendiri kerugian itu, betapa berat beban yang dipikulnya, akibat hilangnya harta bendanya. Karena terpeliharanya harta benda merupakan salah satu tujuan agama. Maka asuransi boleh menurut syara’. Dia menerangkan bahwa denagan usaha menghindarkan penanggung (perusahaan asuransi) memenuhu janji membayar polis kepada nasabah ketika mengalami halterlampau banayak daripada pem bayaran preminya. Beban musibah ini dibebankan kepada perusahaan pada lahirnya saja. Namun, sebenarnya beban itu jatuh pada tabungan bersama atau kembali ke pundak semua nasabah yang menjadi pemilik tabungan.
Keenam, Syaikh Muhammad Dasuki.
Dalam kitabnya Majmaul Bukhtus al-Islamiyah, ia mengatakan bahwa asuransi itu hukumnya halal dikarenakan beberapa hal.
1. Asuransi sama dengan Syirkah Mudharabah
2. Pelaksanaan asuransi dapat didasrkan atas firman Allah dalam surah al-Anam ayat 82, “orang-orang yang beriman dan tidak mencampuradukkan iman mereka dengan kezaliman (syirik) mereka itulah orang-orang yang mendapat keamanan dan mereka itu adalah orang yang mendapat pertunjuk.”
Ketujuh, Syaikh Muhammad Ahmad, MA, LLB, sarjana dan pakar ekonomi Pakistan.
Dia membolehkan asuransi jiwa dan asuransi konvesional lainnya dengan alasan sebagai berikut.
1. Persetujuan asuransi tidak menghilangkan arti tawakal kepada Allah.
2. Di dalam asuransi tidak ada pihak yang dirugikan dan merugikan.
3. Tujuan asuransi adalah kerja sama dan tolong menolong.
Kedelapan, Syaikh Muhammad al-Madani, seorang ulama yang cukup dikenal di Al-Azhar.
Dia mengtakan bahwa asuransi itu hukumnya menurut syara’ boleh, sebab premi (iuran) asuransi itu diinvestasikan dan bermnanfaat untuk tolong-menolong. Demikian pula sahabat al-Madani Ustadz Ahnad Thoha as-Sanusi, salah satu cendikiawan di Al-Azhar Mesir, mengatakan hal yang sama
Kesembilan, Prof. Mustafa Ahmad az-Zahra, guru besar pada Universitas Syria, dan cukup produktif dalam menulis seputar ekonomi Islam.
Dia berpendapat, jika ada di antara anggota sebuah asuransi sebelum preminya selesai diangsur, maka kepadanya di bayar penuh oleh perusahaan asuransi sebesar uang yang telah diperjanjikan. Asuransi yang semacam ini tidak mengandung tipuan bagi kedua belah pihak, karena itu hokum syara’ membolehkan.
Lebih lanjut ia mengatakan bahwa sistem asuransi ini memberi keamanan dan ketenangan hati bagi para anggotannya. Bagi dia kebolehannya kareana tidak ada gharar. Perikatan asuransi dipandang sebagai prinsip dharuri menurut syara’ dan harus dipraktekkan di lingkungan pegawai negeri, yaitu peraturan pensiunan dan pendapatan pegawai.
Secara umum, terutama ditinjau dari aspek pertanggungan atau tepatnya objek yang dipertanggung jawabkan, asuransi biasanya dikelompokkan kedalam dua jenis yaitu asuransi jiwa (life insurance) dan asuransi umum (general insurance) yang juga lazim dikenal dengan istilah asuransi kerugian. Undang-undang Republik Indonesia nomor 2 tahun 1992 (tentang usaha perasuransian), misalnya tegas-tegas membedakan asuransi kedalam dua jenis, yakni “asuransi kerugian” dan “asuransi jiwa”
Pengelompokan asuransi kedalam asuransi jiwa dan asuransi umum/kerugian, secara umum dan keseluruhan juga tampak dikenal dan diterima keberadaannya oleh asuransi syariah. Dalam literature islam, asuransi jiwa bisa dikenal dengan sebutan ta’min al-asykhash (jamak dari kata as-syakhash)yang makna asalnya adalah orang. Sedangkan asuransi kerugian/general, diistilahkan dengan sebutan ta’min al-adharar, jamak dari kata ad-dharuu/ad-dhurru atau ad-dharrar.






DAFTAR PUSTAKA
Suma, M. Amin Asuransi Syariah dan Asuransi Konvensional, Jakarta: kholam Publishing, 2006.
Wirdyaningsih, Bank dan Asuransi Islam di Indonesia, Jakarta: Prenada Media, 2005.
Hasan Ali, Asuransi dalam Perspektif Hukum Islam, Jakarta: Kencana, 2004.

Syakir , Sula, Muhammad, Asuransi Syariah (life and general): Konsep dan system operasional, Cet.1, Jakarta: Gema Insani Press, 2004.

Emoticon Ini Tidak Untuk Komentar Lewat Facebook.Copas Kode Pada Komentar Mu....
:a: :b: :c: :d: :e: :f: :g: :h: :i:
:j: :k: :l: :m: :n: :o: :p: :q: :r:
:s: :t: :u: :v: :w: :x: :y: :z: :ab:
Previous Post Next Post Home
Comments
0 Comments

0 komentar:

Post a Comment

Mohon maaf apabila terdapat komentar yang sesuai kriteria di bawah ini akan dihapus, demi kenyamanan bersama

1. Komentar berbau pornografi, sara, dan menyinggung.
2. Mencantumkan link hidup.
3. Mengandung SPAM.
4. Mempromosikan Iklan.

Terima kasih atas perhatiannya.