Makalah ini telah dipresentasikan dalam mata kuliah Tafsir oleh:
Arief Rahman
Muhammad Niamudin
Arief Rahman
Muhammad Niamudin
A. Pendahuluan
Ibadah secara
bahasa (etimologi) berarti merendahkan diri serta tunduk. Sedangkan menurut
syara’ (terminologi), ibadah mempunyai banyak definisi, tetapi makna dan
maksudnya satu. Definisi itu antara lain adalah:
·
Ibadah adalah taat kepada Allah dengan
melaksanakan perintah-Nya melalui lisan para Rasul-Nya.
·
Ibadah adalah merendahkan diri kepada Allah
Azza wa Jalla, yaitu tingkatan tunduk yang paling tinggi disertai dengan rasa
mahabbah (kecintaan) yang paling tinggi.
·
Ibadah adalah sebutan yang mencakup seluruh apa
yang dicintai dan diridhai Allah Azza wa Jalla, baik berupa ucapan atau
perbuatan, yang zhahir maupun yang bathin. Yang ketiga ini adalah definisi yang
paling lengkap.
Ibadah terbagi
menjadi ibadah hati, lisan, dan anggota badan. Rasa khauf (takut), raja’
(mengharap), mahabbah (cinta), tawakkal (ketergantungan), raghbah (senang), dan
rahbah (takut) adalah ibadah qalbiyah (yang berkaitan dengan hati). Sedangkan
tasbih, tahlil, takbir, tahmid dan syukur dengan lisan dan hati adalah ibadah
lisaniyah qalbiyah (lisan dan hati). Sedangkan shalat, zakat, haji, dan jihad
adalah ibadah badaniyah qalbiyah (fisik dan hati). Serta masih banyak lagi
macam-macam ibadah yang berkaitan dengan amalan hati, lisan dan badan.
Dalam makalah
ini penulis akan menjelaskan secara rinci tentang ayat-ayat yang berkenaan
dengan ibadah, seperti surah al-Baqarah: 21, ar-Rum: 30, dan Luqman: 13, 23 dan
24 sebagaimana berikut.
B. PEMBAHASAN
1.
Surah
Al-Baqarah: 21
$pkr'¯»t â¨$¨Y9$# (#rßç6ôã$# ãNä3/u Ï%©!$# öNä3s)n=s{ tûïÏ%©!$#ur `ÏB öNä3Î=ö6s% öNä3ª=yès9 tbqà)Gs? ÇËÊÈ
Artinya:
“Hai seluruh manusia, sembahlah Tuhan kamu yang telah menciptakan kamu dan
orang-orang sebelum kamu, agar kamu bertakwa”.
Mufradat
يأيها الناس : hai seluruh manusia
اعبدوا : sembahlah
خلفكم : menciptakan kamu
تتّقون : kamu bertaqwa
Munasabah Ayat
Dalam QS. al-Baqarah ayat 22 diterangkan
Ï%©!$# @yèy_ ãNä3s9 uÚöF{$# $V©ºtÏù uä!$yJ¡¡9$#ur [ä!$oYÎ/ tAtRr&ur z`ÏB Ïä!$yJ¡¡9$# [ä!$tB ylt÷zr'sù ¾ÏmÎ/ z`ÏB ÏNºtyJ¨V9$# $]%øÍ öNä3©9 ( xsù (#qè=yèøgrB ¬! #Y#yRr& öNçFRr&ur cqßJn=÷ès? ÇËËÈ
Artinya: “Dialah yang menjadikan
bumi sebagai hamparan bagimu dan langit sebagai atap, dan Dia menurunkan air
(hujan) dari langit, lalu Dia menghasilkan dengan hujan itu segala buah-buahan
sebagai rezki untukmu; karena itu janganlah kamu Mengadakan sekutu-sekutu bagi
Allah[1],
Padahal kamu mengetahui.”
Bahwa ketika Allah menyinggung
tentang orang-orang mukmin yang beruntung dan orang-orang kafir yang merugi, Allah
Ta’ala menyinggung pula tentang kaum Munafiqin yang berada diantara posisi
kedua golongan diatas, kemudian dengan cara iltifat (pengalihan), Allah Ta’ala
menyeru seluruh mereka dengan ungkapan “an-Naas” (manusia) sehingga menjadi
seruan umum bagi manusia semuanya di setiap tempat dan masa, dan memerintahkan
mereka agar beribadah kepada-Nya untuk menjaga diri mereka dari kerugian.
Tafsir Ayat
Tiga
macam sifat manusia yang disebut di atas; orang bertakwa, kafir dan munafik,
kesemuanya diajak oleh Allah. Wahai selueruh manusia yang mendengar
panggilan ini beribadahlah, yakni tunduk, patuh dengan penuh hormat, dan
kagumlah kepada Tuhan kamu Sang Pemelihara dan Pembimbing, karena Dialah
yang menciptakan kamu dan orang yang sebelum kamu.
Ibadah
adalah suatu bentuk kepatuhan dan ketundukan yang berpuncak kepada sesuatu yang
diyakini menguasai jiwa raga seseorang dengan penguasaan yang arti dan
hakekatnya tidak terrjangkau. Karena itu, ketundukan dan kepatuhan orang tua
atau penguasa tidak wajar dinamai ibadah.
Paling
tidak, ada tiga hal yang menandai keberhasilan seseorang mencapai hakikat
ibadah. Pertama, si pengabdi tidak menganggap apa yang berada dalam genggaman
tangannya sebagai milik pribadinya, tetapi milik siapa yang kepada-Nya dia
mengabdi. Kedua, segala aktivitasnya hanya berkisar pada apa yang diperintahkan
oleh siapa yang kepada-Nya ia mengabdi serta menghindar dari apa yang
dilarang-Nya. Ketiga, tidak memastikan sesuatu untuk dia laksanakan atau
hindari kecuali dengan mengaitkannya dengan kehendak siapa yang kepada-Nya ia
mengabdi. Bukankah seperti dikemukakan diatas, si pengabdi yakin bahwa jiwa
raganya dikuasai oleh siapa yang ia mengabdi kepada-Nya?
Ayat
ini menjelaskan bahwa ibadah tersebut ditujukan kepada Rabb yang
menciptakan seluruh manusia dan siapapun yang diberi potensi akal sebelum
wujudnya seluruh manusia yang mendengar panggilan ayat ini. Karena pencipta itu
adalah Rabb.
Rabb
(ربّ) adalah Pendidik dan Pemelihara. Banyak sekali aspek dari
‘rububiyat’ Allah SWT. yang menyentuh makhluk-Nya seperti pemberian rezeki,
kasih sayang, pengampunan dan lai-lain. Kata Rabb pada ayat ini adalah
bukti kewajaran Sang Pencipta untuk ditujukan kepada-Nya saja segala macam
ketaatan dan kepatuhan.
Tetapi,
ibadah yang dilakukan itu bukan untuk kepentingan-Nya, tetapi untuk kepentingan
sang pengabdi, yakni agar ia bertakwa serta terhindar dari siksaan dan sanksi
Allah di dunia dan di akhirat. Karena itu, laksanakanlah ibadah dengan niat agar
kamu bertakwa, yakni dengan mengharap agar kamu dapat terhindar dari segala
sesuatu yang dapat menyiksa kamu.
Di
atas, dikemukakan bahwa ayat ini mengajak ketiga kelompok manusia untuk
beribadah. Nah, petanyaan yang muncul, apakah yang bertakwa masih diajak untuk
beribadah yang tujuannya adalah untuk mencapai takwa, padahal mereka telah
bertakwa? Ya. Mereka tetap diajak, bukan saja agar ibadah tersebut terus
memelihara keterhindaran mereka dari siksa, tetapi juga untuk meningkatkan
ketakwaan itu serta memperkokoh beteng yang melindungi mereka dari segala macam
ancaman duniawi dan ukhrawi.
Memang
boleh jadi ajakan ini lebih banyak ditujukan dan ditekankan kepada orang-orang
musyrik dan yang menempuh jalan mereka. Ini diperkuat oleh panggilan (يا
ايها الناس) Ya
ayyuhan nas/wahai seluruh manusia yang biasanya digunakan untuk menyeru
mereka yang belum beriman.
Di
sini Allah menampakkan betapa besar kasih sayang-Nya kepada makhluk, khusunya
manusia. Walaupun para pendurhaka telah melampaui batas, namun mereka masih
diajak. Ini karena sikap keras yang ditampilkan dalam ayat-ayat yang lalu lahir
dari keinginan mengembalikan mereka ke jalan yang berar. Apa yang ditempuh itu,
adalah perwujudan dari sifat rububiyah/pemeliharaan dan pendidikan Allah
kepada seluruh manusia bahkan alam semesta.
Firman-Nya:
Tuhan kamu yang telah menciptakan kamu dan orang-orang yang sebelum kamu
menunjukkan kesatuan manusia sejak dahulu hingga akhir zaman. Dengan demikian
tidak ada perbedaan dalam kemanusiaan antara satu ras dengan ras yang lain,
baik dulu maupun masa kini, semua diciptakan Allah dari unsur yang sama.
Kata
(لعلّ)
pada firman-Nya (لعلكم تتقون) la’allakum tattaquun/agar kamu bertakwa pada ayat ini
dan ayat-ayat serupa dibahas oleh ulama secara panjang lebar. Ini karena kata
tersebut sering kali dipahami dan digunakan dalam arti yang mengandung makna
harapan akan terjadinya sesuatu dimasa datang. Tentu saja sesuatu yang
diharapkan belum belum pasti terjadi, padahal ketidakpastian, mustahil bagi
Allah SWT. apalagi ada ayat-ayat yang menggunakan kata tersebut yang kemudian
terbukti tidak sesuai dengan apa yang diharapkan itu seperti firman-Nya dalam
QS. Al-A’raf: 130, “Dan sesungguhnya Kami telah menghukum (Fir’aun dan)
kaumnya dengan (mendatangkan) musim kemarau yang panjang dan kekurangan
buahh-buahan, (لعلّهم يذّكّرون) la’allahum yadzdzakkaruun yakni agar mereka
mengambil pelajaran”. Harapan yang disebut oleh ayat ini ternyata tidak terbukti
karena Fir’aun dan rezimnya terus menerus melakukan kedurhakaan sehingga pada
akhirnya mereka ditenggelamkan di Laut Merah.
Sebagian
ulama memahami kata la’alla pada ayat di atas dan ayat serupa dalam arti
bahwa harapan tersebut adalah bagi mitra bicara bukan bagi pembicara, dalam
arti mendorong lawan bicara untuk mengharap, atau berarti tujuan, dan dari sini
ia diartikan dengan agar supaya.
Pakar
tafsir dan bahasa Arab, az-Zamakhsyari berpendapat bahwa kata (لعلّ) la’alla merupakan majaz bukan dalam arti harapan yang
sebenarnya. Keterangannya lebih kurang sebagai berikut: Allah SWT menciptakan
hamba-hamba-Nya agar mereka menyembahNya sambil memberi mereka kebebasan
memilih. Dia menghendaki untuk mereka kebaikan dan agar mereka bertakwa.
Dengan
demikian, makna sebenarnya berada dalam posisi yang diharapkan memperoleh
ketakwaan tetapi dalam kerangka kebebasan memilih antara taat atau durhaka. Ini
serupa dengan situasi sesuatu yang belum jelas apakah ia terjadi atau tidak.
Ketidakjelasan itu lahir karena adanya pilihan bagi yang bersangkutan untuk
memilih yang ini atau yang itu.[2]
2.
Surah
Ar-Rum: 30
óOÏ%r'sù y7ygô_ur ÈûïÏe$#Ï9 $ZÿÏZym 4 |NtôÜÏù «!$# ÓÉL©9$# tsÜsù }¨$¨Z9$# $pkön=tæ 4 w @Ïö7s? È,ù=yÜÏ9 «!$# 4 Ï9ºs ÚúïÏe$!$# ÞOÍhs)ø9$# ÆÅ3»s9ur usYò2r& Ĩ$¨Z9$# w tbqßJn=ôèt ÇÌÉÈ
Artinya:
“maka hadapkanlah wajahmu kepada agama (Islam) dalam keadaan lurus. Fitrah
Allah yang telah menciptakan manusia atasnya. Tidak ada perubahan pada ciptaan
Allah. Itulah agama yang lurus; tetapi kebanyakan manusia tidak mengetahui”.
Mufradat
فأقم وجهك : maka hadapkanlah wajahmu
حنيفا : keadaan lurus
لاتبديل : tidak ada
perubahan
الدين القيّم : agama yang lurus
Munasabah Ayat
At-Thabari dan
Ibn al-Mundzir menjelaskan, dengan mengutip pendapat Mujahid, bahwa fitrah yang
dimaksud adalah agama (dîn) Islam. Ini juga makna yang dipegang oleh Abu
Hurairah dan Ibn Syihab. Maknanya bahwa seorang anak dilahirkan dalam keadaan
selamat dari kekufuran. Itulah janji setiap jiwa kepada Allah tatkala masih
dalam kandungan, sebagaimana diisyaratkan dalam surah al-A’raf 172-173 :
øÎ)ur xs{r& y7/u .`ÏB ûÓÍ_t/ tPy#uä `ÏB óOÏdÍqßgàß öNåktJÍhè öNèdypkôr&ur #n?tã öNÍkŦàÿRr& àMó¡s9r& öNä3În/tÎ/ ( (#qä9$s% 4n?t/ ¡ !$tRôÎgx© ¡ cr& (#qä9qà)s? tPöqt ÏpyJ»uÉ)ø9$# $¯RÎ) $¨Zà2 ô`tã #x»yd tû,Î#Ïÿ»xî ÇÊÐËÈ
÷rr& (#þqä9qà)s? !$oÿ©VÎ) x8sõ°r& $tRät!$t/#uä `ÏB ã@ö7s% $¨Zà2ur ZpÍhè .`ÏiB öNÏdÏ÷èt/ ( $uZä3Î=ökçJsùr& $oÿÏ3 @yèsù tbqè=ÏÜö7ßJø9$# ÇÊÐÌÈ
Artinya:
Dan (ingatlah),
ketika Tuhanmu mengeluarkan keturunan anak-anak Adam dari sulbi mereka dan
Allah mengambil kesaksian terhadap jiwa mereka (seraya berfirman): "Bukankah
Aku Ini Tuhanmu?" mereka menjawab: "Betul (Engkau Tuban kami), kami
menjadi saksi". (Kami lakukan yang demikian itu) agar di hari kiamat kamu
tidak mengatakan: "Sesungguhnya kami (Bani Adam) adalah orang-orang yang
lengah terhadap Ini (keesaan Tuhan)",
Atau agar kamu
tidak mengatakan: "Sesungguhnya orang-orang tua kami Telah mempersekutukan
Tuhan sejak dahulu, sedang kami Ini adalah anak-anak keturunan yang (datang)
sesudah mereka. Maka apakah Engkau akan membinasakan kami Karena perbuatan
orang-orang yang sesat dahulu[3]?"[4]
Tafsir
Ayat
Melalui
ayat di atas Allah mengarahkan kalam-Nya kepada Nabi Muhammad SAW dalam
kedudukan beliau sebagai pemimpin umat agar beliau bersama semua umat beliau
mencamkan perintah Allah berikut ini. Ayat di atas bagaikan menyatakan:
“Setelah jelas bagimu-wahai Nabi-duduk persoalan, maka pertahankanlah
apa yang selama ini telah engkau lakukan, hadapkanlah wajahmu serta
arahkan semua perhatianmu, kepada agama yang disyariatkan Allah yaitu agama Islam dalam
keadaan lurus. Tetaplah mempertahankan fitrah Alah yang telah
menciptakan manusia atasnya yakni menurut fitrah itu. Tidak ada
perubahan pada ciptaan yakni fitrah Allah itu. Itulah agama yang
lurus; tetapi kebanyakan manusia tidak mengettahui yakni tidak memiliki
pengetahuan yang benar.
Kata
(فأقم وجهك) fa aqim wajhaka/ hadapkanlah wajahmu, yang dimaksud
adalah perintah untuk mempertahankan dan meningkatkan upaya menghadapkan diri
kepada Allah, secara sempurna karena selama ini kaum muslimin apalagi Nabi
Muhammad SAW telah menghadapkan wajah kepada tuntunan agama-Nya. Dari perintah
di atas tersirat juga perintah untuk tidak menghiraukan gangguan kaum
musyrikin, yang ketika turunnya ayat ini di mekkah, masih cukup banyak. Makna
tersirat itu dipahami dari redaksi ayat di atas yang memerintahkan menghadapkan
wajah. Seorang yang diperintahkan menghadapkan wajah ke arah tertentu, pada
hakikatnya diminta untuk tidak menoleh ke kiri dan ke kanan, apalagi
memperhatikan apa yang terjadi dibalik arah yang semestinya dia tuju.
Kata
(حنيفا) haniifan biasa diartikan lurus atau cenderung
kepada sesuatu. Kata ini pada mulanya digunakan untuk menggambarkan telapak
kaki dan kemiringannya ke arah telapak pasangannya. Yang kanan condong ke arah
kiri, dan yang kiri condong ke arah kanan. Ini menjadikan manusia dapat
berjalan dengan lurus. Kelurusan itu, menjadikan si pejalan tidak mencong ke
kiri, tidak pula ke kanan.
Kata
(فطرة) fithrah terambil dari kata fathara yang berarti mencipta.
Sementara pakar menambahkan, fitrah adalah “Mencipta sesuatu pertama kali/tanpa
ada contoh sebelumnya”. Dengan demikian kata tersebut dapat juga dipahami dalam
arti asal kejadian, atau bawaan sejak lahir. Patron kata
yang digunakan ayat ini menunjuk kepada keadaan atau kondisi penciptaan itu,
sebagaimana diisyaratkan juga oleh lanjutan ayat ini yang menyatakan “yang
telah menciptakan manusia atasnya”.
Berbeda-beda
pendapat ulama tentang maksud kata fitrah pada ayat ini. Ada yang
berpendapat bahwa fitrah yang dimaksud adalah keyakinan tentang keesaan Allah
SWT yang telah ditanamkan Allah dalam diri setiap insan. Dalam konteks ini
sementara ulama menguatkannya dengan hadits Nabi saw. yang menyatakan bahwa: “Semua
anak yang lahir dilahirkan atas dasar fitrah, lalu kedua orang tuanya yang
menjadikannya menganut agama Yahudi, Nasrani atau Majusi.[5]
Sedangkan
dalam Tafsir Ath-Thabari, banyak ahli takwil berpendapat, diantaranya:
Yunus
menceritakan kepadaku, ia berkata: ibnu Wahab mengabarkan kepada kami, ia
berkata: ibnu Zaid berkata tentang ayat ,
فطرت
الله التي فطرالناس عليها “fitrah
Allah yang telah menciptakan manusia menurut fitrah itu”, ia
berkata,”maknanya adalah, agama islam, sejak Allah menciptakan mereka dari nabi
Adam AS secara keseluruhan. Kemudian beliau membacakan ayat كان
الناس أمّة واحدة فبعث الله النبيّن “manusia itu adalah umat yang satu, (setelah timbul
perselisihan), maka Allah mengutus para Nabi”.(QS. Al-Baqarah-213).
Muhammad
bin Amr menceritakan kepadaku, ia berkata: Abu Ashim menceritakan kepada kami,
ia berkata: Isa menceritakan kepada kami, Al Harits menceritakan kepadaku, ia
berkata: Al Hasan menceritakan kepada kami, ia berkata: Waraqa menceritakan
kepada kami, semuanya dari ibnu Abu Najih, dari Mujahid, tentang ayat فطرت
الله “fitrah Allah”
ia bekata: “maknanya adalah, Islam.”[6]
Firman-Nya,
لاتبديل لخلق الله mengisyaratkan bahwa agama Islam yang
merupakan cerminan lagi sejalan tuntunannya dengan fitrah itu, tidak wajar
diganti, atau tidak dapat diganti dan dibatalkan oleh manusia, karena ia
melekat dalam kepribadian setiap insan.[7]
Maksudya
adalah, tidak ada perubahan terhadap agama Allah. Artinya, perubahan itu tidak
layak dan tidak sepantasnya dilakukan.[8]
Ahli
takwil berbeda pendapat tentang takwil ayat tersebut. Sebagian berpendapat
seperti yang di atas, diantara mereka adalah:
Muhammad
bin Amr menceritakan kepadaku, ia berkata: Abu Ashim menceritakan kepada kami, ia
berkata: Isa menceritakan kepada kami, Al Harits menceritakan kepadaku, ia
berkata: Al Hasan menceritakan kepada kami, ia berkata: Waraqa menceritakan
kepada kami, semuanya dari Ibnu Abu Najih, dari Mujahid, tentang ayat, لاتبديل
لخلق الله “tidak ada
perubahan pada fitrah Allah”, ia berkata: “Maknanya adalah, tidak ada
perubahan pada agama Allahh (Islam).
Abu
As-Sa’ib menceritakan kepadaku, ia berkata: ibnu Idris menceritakan kepada kami
dari Al-Laits, ia berkata: Mujahid mengirim seorang utusan bernama Qasim kepada
Ikrimah untuk menanyakan makna ayat, لاتبديل
لخلق الله, “Tidak
ada perubahan pada fitrah Allah”. (ia lalu menjawab), “artinya adalah agama
(Islam)”. Beliau kemudian membacakan ayat, لاتبديل
لخلق الله ذٰلك الدين القيّم,
“Tidak ada perubahan pada fitrah Allah (itulah) agama yang lurus”.
Sedangkan
yang lain berpendapat bahwa maknanya adalah, tidak boleh merubah ciptaan Allah,
seperti mengebiri hewan. Diantara mereka yaitu:
Ibnu
Waki menceritakan kepada kami, ia berkata: ibnu Fudhail menceritakan kepada
kami dari Mutharrif, dari seorang laki-laki, ia bertanya kepada ibnu Abbas
tentang mengebiri hewan, dan ternyata ibnu Abbas tidak menyukai perbuatan itu.
Lalu ia membaca ayat لاتبديل لخلق الله “Tidak
ada perubahan pada fitrah Allah”.
.....ia
berkata: ibnu Uyainah menceritakan kepada kami dari Humaid Al A’raj, ia
berkata: Ikrimah berkata, “maknanya adalah, tidak boleh mengebiri hewan”.[9]
Firman-Nya,
ذٰلك الدين القيّم “
(itulah) agama yang lurus” maksudnya adalah, engkau hadapkan
wajahmu dengan lurus kepada agama Allah, tanpa merubah dan mengganti. Itulah
agama yang lurus, yang tidak ada penyimpangan di dalamnya, dengan sifat istiqomah,
sehingga tidak menyimpang dari agama yang lurus kepada agama Yahudi dan
Nasrani, kesesatan, bid’ah, serta lainnya.
Firman-Nya,
ولكنّ أكثر الناس لا يعلمون “Tetapi kebanyakan manusia tidak
mengetahui”. Maksudnya adalah, akan tetapi kebanyakan manusia tidak
mengetahui bahwa agama yang kuperintahkan kepadamu, wahai Muhammad, dalam
firman-Ku, فأقم وجهك للدين حنيفا “maka hadapkanlah wajahmu dengan lurus kepada agama
Allah”, adalah agama yang benar
(Islam),bukan agami-agama lain.[10]
3.
QS. Luqman: 13, 23 dan 24
øÎ)ur tA$s% ß`»yJø)ä9 ¾ÏmÏZö/ew uqèdur ¼çmÝàÏèt ¢Óo_ç6»t w õ8Îô³è@ «!$$Î/ ( cÎ) x8÷Åe³9$# íOù=Ýàs9 ÒOÏàtã ÇÊÌÈ
Artinya: “Dan (ingatlah) ketika Luqman berkata kepada anaknya,
di waktu ia memberi pelajaran kepadanya: "Hai anakku, janganlah kamu
mempersekutukan Allah, Sesungguhnya mempersekutukan (Allah) adalah benar-benar
kezaliman yang besar". (QS. Luqman: 13)
Tafsir Mufradat
¼çmÝàÏèt : ia member pelajaran kepadanya
لَظُلْمٌ
عَظِيْمٌ : kezaliman yang besar
Asbabun Nuzul dan Munasabah Ayat
Ketika ayat ke-82 surah al-An’am diturunkan yang berbunyi:
tûïÏ%©!$# (#qãZtB#uä óOs9ur (#þqÝ¡Î6ù=t OßguZ»yJÎ) AOù=ÝàÎ/ y7Í´¯»s9'ré& ãNßgs9 ß`øBF{$# Nèdur tbrßtGôgB ÇÑËÈ
Artinya: “Orang-orang yang beriman dan tidak mencampuradukkan
iman mereka dengan kezaliman (syirik), mereka Itulah yang mendapat keamanan dan
mereka itu adalah orang-orang yang mendapat petunjuk.”
Para sahabat merasa keberatan. Maka mereka datang menghadap
Rasulullah SAW. Seraya berkata: “Wahai Rasulullah, siapakah di antara kami yang
dapat membersihkan keimanannya dari perbuatan zalim?”. Jawab beliau: “bukan
begitu, bukanlah kamu telah mendengar wasiat Lukman Hakim kepada anaknya: Hai
anakku, janganlah kamu mempersekutukan Allah, sesungguhnya mempersekutukan
Allah adalah benar-benar adalah benar-benar kezaliman yang besar. Yakni ayat
ke-13 dari surah ini sebagaimana diketengahkan di atas. (HR. Bukhari dan
Abdillah)[11]
.
Tafsir Ayat
Sebelum dijelaskannya tafsir apada ayat ini, terlebih dahulu
penulis menjelaskan siapa itu “Luqman” dalam surah ini. Luqman
yang disebut oleh surah ini adalah orang yang diperselisihkan identitasnya.
Orang Arab mengenal dua tokoh yang bernama Luqman. Pertama, Luqman Ibn
Ad. Tokoh ini mereka agungkan karena wibawa, kepemimpinan, Ilmu, kefasihan, dan
kepandaiannya. Ia kerap kali dijadikan sebagai permisalan dan perumpamaan.
Tokoh kedua, adalah Luqman al-Hakim yang terkenal dengan kata-kata bijak
dan perumpamaan-perumpamaannya. Agaknya dialah yang dimaksud oleh surah ini.
Ayat ini berbunyi: “Dan (ingatlah) ketika Luqman berkata kepada
anaknya, di waktu ia memberi pelajaran kepadanya: "Hai anakku, janganlah
kamu mempersekutukan Allah, dengan sesuatu apapun dan jangan pula
mempersekutukan-Nya sedikit persekutuan pun, lahir maupun batin. Persekutuan
yang jelas maupun yang tersembunyi. Sesungguhnya syirik, yakni mempersekutukan
Allah, adalah kezaliman yang sangat besar. Itu adalah penempatan
sesuatu yang sangat agung pada tempat yang sangat buruk.[12]
`tBur txÿx. xsù Râøts ÿ¼çnãøÿä. 4 $uZøs9Î) öNßgãèÅ_ötB Nßgã¥Îm7t^ãZsù $yJÎ/ (#þqè=ÏHxå 4 ¨bÎ) ©!$# 7LìÎ=tæ ÏN#xÎ/ ÍrßÁ9$# ÇËÌÈ öNßgãèÏnFyJçR WxÎ=s% §NèO öNèdsÜôÒtR 4n<Î) >U#xtã 7áÎ=xî ÇËÍÈ
Artinya:
23. “dan Barangsiapa kafir Maka kekafirannya itu janganlah
menyedihkanmu. hanya kepada Kami-lah mereka kembali, lalu Kami beritakan kepada
mereka apa yang telah mereka kerjakan. Sesungguhnya Allah Maha mengetahui
segala isi hati.
24. Kami biarkan mereka bersenang-senang sebentar, kemudian Kami
paksa mereka (masuk) ke dalam siksa yang keras.”
Tafsir Mufradat
يحزنك : menyedihkanmu
NßgãèÅ_ötB : mereka
kembali
Nßgã¥Îm7t^ãZsù :
maka kami beritakan kepada mereka
Munasabah ayat
Ayat ini berkaitan dengan surah Luqman ayat: 13
øÎ)ur tA$s% ß`»yJø)ä9 ¾ÏmÏZö/ew uqèdur ¼çmÝàÏèt ¢Óo_ç6»t w õ8Îô³è@ «!$$Î/ ( cÎ) x8÷Åe³9$# íOù=Ýàs9 ÒOÏàtã ÇÊÌÈ
Artinya: “dan (ingatlah) ketika Luqman berkata kepada anaknya,
di waktu ia memberi pelajaran kepadanya: "Hai anakku, janganlah kamu
mempersekutukan Allah, Sesungguhnya mempersekutukan (Allah) adalah benar-benar
kezaliman yang besar".
Ayat diatas sama-sama berkaitan dalam hal kekafiran, karena bagi
siapa saja yang kafir terhdap Allah, maka sesungguhnya adalah benar-benar
kezaliman yang sangat besar.
Tafsir Ayat
Setelah ayat yang lalu atau ayat sebelumnya menyebut keadaan yang
muslim, kini disebut lawannya. Ayat diatas menyatakan: Dan siapa yang kafir menutupi
kebenaran dan keesaan Allah, tidak menyerahkan wajahnya kepada-Nya,
sesungguhnya dia benar-benar tidak memiliki pegangan. Maka karena itu, janganlah
kekafirannya-walau siapa pun-menyedihkan hati dan menyita perhatian-mu.
Hanya kepada Kami-lah tempat kembali mereka semua, lalu Kami beritahukan
mereka dan member balasan setimpal atas apa yang telah mereka kerjakan,
baik amal lahiriah mereka maupun amal batiniahnya, karena sesungguhnya Allah
Maha Mengetahui segala isi dada, yakni hati seperti niat, kedengkian,
maker, dan lain-lain. Pengetahuan-Nya menyangkut hal itu serupa dengan
pengetahuan-Nya tentang amal-amal lahiriah yang tampak dipermukaan. Tidak perlu
tergesa-gesa meminta dijatuhkannya hukum atas mereka atau jangan duga bahwa
keadaan mereka sekarang yang bersenang-senang dan berfoya-foya itu luput dari
penguasaan Kami. Sama sekali tidak! Kini, Kami sengaja-demikian juga
beberapa waktu mendatang membiarkan mereka bersenang-senang dengan
kesenangan sementara. Tetapi, itu hanya sedikit dan sebentar. Kemudian,
apabila masa yang Kami tentukan tiba, Kami paksa mereka masuk ke dalam
siksa yang keras. Mereka pasti tidak luput dari kekuasaan dan siksa
Kami.[13]
C. PENUTUP
1. Kesimpulan
Pada
surah al-Baqarah ayat 21 menerangkan bahwa
ketika Allah menyinggung tentang orang-orang mukmin yang beruntung dan
orang-orang kafir yang merugi, Allah Ta’ala menyinggung pula tentang kaum
Munafiqin yang berada diantara posisi kedua golongan diatas, kemudian dengan
cara iltifat (pengalihan), Allah Ta’ala menyeru seluruh mereka dengan ungkapan
“an-Naas” (manusia) sehingga menjadi seruan umum bagi manusia semuanya di
setiap tempat dan masa, dan memerintahkan mereka agar beribadah kepada-Nya
untuk menjaga diri mereka dari kerugian.
Dalam surah ar-Rum ayat 30 sebagaimana pendapat At-Thabari dan Ibn
al-Mundzir menjelaskan, dengan mengutip pendapat Mujahid, bahwa fitrah yang
dimaksud adalah agama (dîn) Islam. Ini juga makna yang dipegang oleh Abu
Hurairah dan Ibn Syihab. Maknanya bahwa seorang anak dilahirkan dalam keadaan
selamat dari kekufuran. Itulah janji setiap jiwa kepada Allah tatkala masih
dalam kandungan.
Dan dalam surah Luqman ayat 13, 23 dan 24 menerangkan bahwasanya
janganlah kalian menyukutukan Allah, karena menyekutkan Allah adalah kedzaliman
yang sangat besar.
2. SARAN
Melalui
makalah ini penulis ingin menyampaikan saran kepada pembaca diantaranya diharapkan
mencari referensi lain agar menambah wawasan serata hal-hal yang baik dari
makalah ini agar diterapkan dalam kehidupan sehari-hari dan apabila terdapat
hal-hal yang buruk mohon dikoreksi.
[1] Ialah
segala sesuatu yang disembah di samping menyembah Allah seperti
berhala-berhala, dewa-dewa, dan sebagainya.
[3] Maksudnya:
agar orang-orang musyrik itu jangan mengatakan bahwa bapak-bapak mereka dahulu
Telah mempersekutukan Tuhan, sedang mereka tidak tahu menahu bahwa
mempersekutukan Tuhan itu salah, tak ada lagi jalan bagi mereka, hanyalah
meniru orang-orang tua mereka yang mempersekutukan Tuhan itu. Karena itu mereka
menganggap bahwa mereka tidak patut disiksa Karena kesalahan orang-orang tua
mereka itu.
[4] Dikutip dari artikel http://id.shvoong.com/writing-and-speaking/2038288-fitrah-menurut-bahasa-istilah-dan/
[6] Abu Ja’far
Muhammad bin Jarir Ath-Thabari, tafsir Ath-Thabari, Jakarta: Pustaka Azzam
2009. Hal. 652
[11] Mudjab, A.
Mahali, Asbabun Nuzul, Jakarta, PT RajaGrafindo Persada, 2002, hal. 660
[12] Quraish, M.
Shihab, Tafsir al-Misbah Vol 10, Jakarta, Lentera Hati, 2002, hal.
295-296