Telah dipresentasikan dalam mata kuliah telaah materi SKI dan direfisi oleh:
Ana Khairunnisa
Nina
untuk mengunduh file dalam bentuk power point dapat klik disini
diedit oleh Arief Rahman
Ana Khairunnisa
Nina
untuk mengunduh file dalam bentuk power point dapat klik disini
diedit oleh Arief Rahman
BAB
I
PENDAHULUAN
Khilafah Abbasiyah merupakan kelanjutan dari khilafah
Umayyah, dimana pendiri dari khilafah ini adalah keturunan al-Abbas, paman Nabi
Muhammad SAW, yaitu Abdullah al-Saffah ibn Muhammad ibn Ali ibn Abdullah ibn
al-Abbas. Dimana pola pemerintahan yang diterapkan berbeda-beda sesuai dengan
perubahan politik, sosial, dan budaya.
Kekuasaan dinasti Bani Abbas, atau khilafah Abbasiyah,
sebagaimana disebutkan melanjutkan kekuasaan dinasti Bani Umayyah. Dinamakan
khilafah Abbasiyah karena para pendiri dan penguasa dinasti ini adalah
keturunan al-Abbas paman Nabi Muhammad SAW. Dinasti Abbasiyah didirikan oleh
Abdullah al-Saffah ibn Muhammad ibn Ali ibn Abdullah ibn al-Abas. Kekuasaannya
berlangsung dalam rentang waktu yang panjang, dari tahun 132 H (750 M) sampai
dengan 656 H (1258 M). Selama dinasti ini berkuasa, pola pemerintahan yang
diterapkan berbeda-beda sesuai dengan perubahan politik, sosial dan budaya.
Pada masa daulat Abbasiyah ini lahir intelektual-intelektual Islam.
Dalam makalah ini akan dibahas mengenai masa keemasan Islam Dinasti
Abbasiyah, faktor-faktor pendukung dan lahirnya tokoh-tokoh intelektual Muslim
serta perkembangan Islam Bani Abbasiyah serta masa keruntuhan Dinasti Abbasiyah.
BAB
II
PEMBAHASAN
A.
MASA KEEMASAN ISLAM BANI ABBASIYAH
Kekuasaan dinasti Bani Abbas, atau khilafah Abbasiyah,
sebagaimana disebutkan melanjutkan kekuasaan dinasti Bani Umayyah. Dinamakan
khilafah Abbasiyah karena para pendiri dan penguasa dinasti ini adalah
keturunan al-Abbas paman Nabi Muhammad SAW. Dinasti Abbasiyah didirikan oleh
Abdullah al-Saffah ibn Muhammad ibn Ali ibn Abdullah ibn al-Abass. Kekuasaannya
berlangsung dalam rentang waktu yang panjang, dari tahun 132 H (750 M) s.d. 656
H (1258 M). Selama dinasti ini berkuasa, pola pemerintahan yang diterapkan
berbeda-beda sesuai dengan perubahan politik, sosial dan budaya. Berdasarkan
perubahan pola pemerintahan dan politik itu, para sejarawan biasanya membagi
masa pemerintahan Bani Abbas menjadi lima periode:
- Periode Pertama (132 H/750 M-232 H/847 M), disebut periode pengaruh Persia pertama.
- Periode Kedua (232 H/847 M-334 H/945 M), disebut pereode pengaruh Turki pertama.
- Periode Ketiga (334 H/945 M-447 H/1055 M), masa kekuasaan dinasti Buwaih dalam pemerintahan khilafah Abbasiyah. Periode ini disebut juga masa pengaruh Persia kedua.
- Periode Keempat (447 H/1055 M-590 H/l194 M), masa kekuasaan dinasti Bani Seljuk dalam pemerintahan khilafah Abbasiyah; biasanya disebut juga dengan masa pengaruh Turki kedua.
- Periode Kelima (590 H/1194 M-656 H/1258 M), masa khalifah bebas dari pengaruh dinasti lain, tetapi kekuasaannya hanya efektif di sekitar kota Bagdad.[1]
Pada periode pertama pemerintahan Bani Abbas mencapai masa
keemasannya. Secara politis, para khalifah betul-betul tokoh yang kuat dan
merupakan pusat kekuasaan politik dan agama sekaligus. Di sisi lain, kemakmuran
masyarakat mencapai tingkat tertinggi. Periode ini juga berhasil menyiapkan
landasan bagi perkembangan filsafat dan ilmu pengetahuan dalam Islam. Namun
setelah periode ini berakhir, pemerintahan Bani Abbas mulai menurun dalam
bidang politik, meskipun filsafat dan ilmu pengetahuan terus berkembang.
Masa pemerintahan Abu al-Abbas, pendiri dinasti ini sangat
singkat, yaitu dari tahun 750-754 M karena itu, pembina sebenarnya dari daulat
Abbasiyah adalah Abu Ja’far al-Manshur (754-775 M). Pada mulanya ibu kota
negara adalah al-Hasyimiyah, dekat Kufah. Namun, untuk lebih memantapkan dan
menjaga stabilitas negara yang baru berdiri itu, Abu Ja’far al-Mansyur
memindahkan ibu kota negara ke kota yang baru dibangunnya, Bagdad, dekat bekas
ibu kota Persia, Clesiphon, bekas ibu kota Persia, pada tahun 762 M.
Dengan demikian, pusat pemerintahan dinasti Bani Abbas berada di tengah-tengah
bangsa Persia. Di ibu kota yang baru ini al-Manshur melakukan konsolidasi dan
Penertiban pemerintahannya. Dia mengangkat sejumlah personal untuk menduduki
jabatan di lembaga eksekutif dan yudikatif.[2]
Di bidang pemerintahan, dia menciptakan tradisi baru dengan
mengangkat Wazir sebagai koordinator departemen, Wazir pertama yang diangkat
adalah Khalid bin Barmak, berasal dari Balkh, Persia[3].
Dia juga membentuk lembaga protokol negara, sekretaris negara, dan kepolisian
negara disamping membenahi angkatan bersenjata. Dia menunjuk Muhammad ibn
Abdurrahman sebagai hakim pada lembaga kehakiman negara. Jawatan pos yang sudah
ada sejak masa dinasti Bani Umayyah ditingkatkan perananya dengan tambahan
tugas. Kalau dulu hanya sekedar untuk mengantar surat. Pada masa al-Manshur,
jawatan pos ditugaskan untuk menghimpun seluruh informasi di daerah-daerah
sehingga administrasi kenegaraan dapat berjalan lancar. Para direktur jawatan
pos bertugas melaporkan tingkah laku gubernur setempat kepada khalifah.
Kalau dasar-dasar pemerintahan daulat Abbasiyah diletakkan
dan dibangun oleh Abu al-Abbas dan Abu Ja’far al-Manshur, maka puncak keemasan
dari dinasti ini berada pada tujuh khalifah sesudahnya, yaitu al-Mahdi (775-785
M), al-Hadi (775- 786 M), Harun al-Rasyid (786-809 M), al-Ma’mun (813-833 M),
al-Mu’tashim (833-842 M), al-Wasiq (842-847 M), dan al-Mutawakkil (847-861 M).
Pada masa al-Mahdi perekonomian mulai meningkat dengan peningkatan di sektor
pertanian melalui irigasi dan peningkatan hasil pertambangan seperti perak,
emas, tembaga dan besi. Terkecuali itu dagang transit antara Timur dan Barat
juga banyak membawa kekayaan. Bashrah menjadi pelabuhan yang penting.[4]
Popularitas daulat Abbasiyah mencapai puncaknya di zaman
khalifah Harun al-Rasyid (786-809 M) dan puteranya al-Ma’mun (813-833 M).
Kekayaan yang banyak dimanfaatkan Harun al-Rasyid untuk keperluan sosial. Rumah
sakit, lembaga pendidikan dokter, dan farmasi didirikan. Pada masanya sudah
terdapat paling tidak sekitar 800 orang dokter. Disamping itu,
pemandian-pemandian umum juga dibangun. Kesejahteraan, sosial, kesehatan,
pendidikan, ilmu pengetahuan, dan kebudayaan serta kesusasteraan berada pada
zaman keemasannya. Pada masa inilah negara Islam menempatkan dirinya sebagai
negara terkuat dan tak tertandingi. Al-Ma’mun, pengganti al-Rasyid, dikenal
sebagai khalifah yang sangat cinta kepada ilmu. Pada masa pemerintahannya,
penerjemahan buku-buku asing digalakkan. Untuk menerjemahkan buku-buku Yunani,
ia menggaji penerjemah-penerjemah dari golongan Kristen dan penganut agama lain
yang ahli. Ia juga banyak mendirikan sekolah, salah satu karya besarnya yang
terpenting adalah pembangunan Bait al-Hikmah, pusat penerjemahan yang berfungsi
sebagai perguruan tinggi dengan perpustakaan yang besar. Pada masa al-Ma’mun
inilah Baghdad mulai menjadi pusat kebudayaan dan ilmu pengetahuan.
Al-Mu’tashim, khalifah berikutnya (833-842 M), memberi
peluang besar kepada orang-orang Turki untuk masuk dalam pemerintahan,
keterlibatan mereka dimulai sebagai tentara pengawal. Tidak seperti pada masa
daulat Umayyah, dinasti Abbasiyah mengadakan perubahan sistem ketentaraan.
Praktek orang-orang muslim mengikuti perang sudah terhenti. Tentara dibina
secara khusus menjadi prajurit-prajurit profesional. Dengan demikian, kekuatan
militer dinasti Bani Abbas menjadi sangat kuat.
Walaupun demikian, dalam periode ini banyak tantangan dan
gerakan politik yang mengganggu stabilitas, baik dari kalangan Bani Abbas
sendiri maupun dari luar. Gerakan-gerakan itu seperti gerakan sisa-sisa Bani
Umayyah dan kalangan intern Bani Abbas, revolusi al-Khawarij di Afrika Utara,
gerakan Zindik di Persia, gerakan Syi’ah, dan konflik antar bangsa dan aliran
pemikiran keagamaan. Semuanya dapat dipadamkan.
Dari gambaran di atas Bani Abbasiyah pada periode pertama
lebih menekankan pembinaan peradaban dan kebudayaan Islam daripada perluasan
wilayah. Inilah perbedaan pokok antara Bani Abbas dan Bani Umayyah. Disamping
itu, ada pula ciri-ciri menonjol dinasti Bani Abbas yang tak terdapat di zaman
Bani Umayyah.
Dengan berpindahnya ibu kota ke Baghdad, pemerintahan Bani
Abbas menjadi jauh dari pengaruh Arab. Sedangkan dinasti Bani Umayyah sangat
berorientasi kepada Arab. Dalam periode pertama dan ketiga pemerintahan
Abbasiyah, pengaruh kebudayaan Persia sangat kuat, dan pada periode kedua dan
keempat bangsa Turki sangat dominan dalam politik dan pemerintahan dinasti ini.[5]
B. FAKTOR-FAKTOR
PENDUKUNG DAN LAHIRNYA TOKOH-TOKOH INTELEKTUAL MUSLIM
Sebagaimana diuraikan di atas, puncak perkembangan
kebudayaan dan pemikiran Islam terjadi pada masa pemerintahan Bani Abbas. Akan
tetapi, tidak berarti seluruhnya berawal dari kreativitas penguasa Bani Abbas
sendiri. Sebagian di antaranya sudah dimulai sejak awal kebangkitan Islam.
Dalam bidang pendidikan, misalnya, di awal Islam, lembaga pendidikan sudah
mulai berkembang. Ketika itu, lembaga pendidikan terdiri dari dua tingkat :[6]
- Maktab/Kuttab dan masjid, yaitu lembaga pendidikan terendah, tempat anak-anak mengenal dasar-dasar bacaan, hitungan dan tulisan; dan tempat para remaja belajar dasar-dasar ilmu agama, seperti tafsir, hadits, fiqh dan bahasa.
- Tingkat pendalaman. Para pelajar yang ingin memperdalam ilmunya, pergi keluar daerah menuntut ilmu kepada seorang atau beberapa orang ahli dalam bidangnya masing-masing. Pada umumnya, ilmu yang dituntut adalah ilmu-ilmu agama. Pengajarannya berlangsung di masjid-masjid atau di rumah-rumah ulama bersangkutan. Bagi anak penguasa pendidikan bisa berlangsung di istana atau di rumah penguasa tersebut dengan memanggil ulama ahli ke sana.
Lembaga-lembaga ini kemudian berkembang pada masa
pemerintahan Bani Abbas, dengan berdirinya perpustakaan dan akademi. Perpustakaan
pada masa itu lebih merupakan sebuah universitas, karena di samping terdapat
kitab-kitab, di sana orang juga dapat membaca, menulis dan berdiskusi.
Perkembangan lembaga pendidikan itu
mencerminkan terjadinya perkembangan dan kemajuan ilmu pengetahuan. Hal ini
sangat ditentukan oleh perkembangan bahasa Arab, baik sebagai bahasa
administrasi yang sudah berlaku sejak zaman Bani Umayyah, maupun sebagai bahasa
ilmu pengetahuan. Disamping itu, kemajuan itu paling tidak, juga ditentukan
oleh dua hal, yaitu:
1. Terjadinya asimilasi antara bangsa
Arab dengan bangsa-bangsa lain yang lebih dahulu mengalami perkembangan dalam
bidang ilmu pengetahuan. Pada masa pemerintahan Bani Abbas, bangsa-bangsa non
Arab banyak yang masuk Islam. Asimilasi berlangsung secara efektif dan bernilai
guna. Bangsa-bangsa itu memberi saham tertentu dalam perkembangan ilmu
pengetahuan dalam Islam. Pengaruh Persia, sebagaimana sudah disebutkan, sangat
kuat di bidang pemerintahan. Disamping itu, bangsa Persia banyak berjasa dalam
perkembangan ilmu, filsafat dan sastra. Pengaruh India terlihat dalam bidang
kedokteran, ilmu matematika dan astronomi. Sedangkan pengaruh Yunani masuk
melalui terjemahan-terjemahan dalam banyak bidang ilmu, terutama filsafat.
2. Gerakan terjemahan yang berlangsung
dalam tiga fase. Fase pertama, pada masa khalifah al-Manshur hingga Harun
al-Rasyid. Pada fase ini yang banyak diterjemahkan adalah karya-karya dalam
bidang astronomi dan manthiq. Fase kedua berlangsung mulai masa khalifah
al-Ma’mun hingga tahun 300 H. Buku-buku yang banyak diterjemahkan adalah dalam
bidang filsafat dan kedokteran. Fase ketiga berlangsung setelah tahun 300 H,
terutama setelah adanya pembuatan kertas. Bidang-bidang ilmu yang diterjemahkan
semakin meluas.[7]
Imam-imam mazhab hukum yang empat hidup pada masa
pemerintahan Abbasiyah pertama. Imam Abu Hanifah (700-767 M) dalam
pendapat-pendapat hukumnya dipengaruhi oleh perkembangan yang terjadi di Kufah,
kota yang berada di tengah-tengah kebudayaan Persia yang hidup
kemasyarakatannya telah mencapai tingkat kemajuan yang lebih tinggi.[8]
C. MASA-MASA KEMUNDURAN DINASTI
ABBASIYAH
Masa
disintegrasi ini terjadi setelah pemerintahan periode pertama Bani Abbasiyah
mencapai masa keemasannya, pada masa berikutnya pemerintahan dinasti ini mulai
menurun, terutama di bidang politik. Dimana salah satu sebabnya adalah
kecenderungan penguasa untuk hidup mewah dan kelemahan khalifah dalam memimpin
roda pemerintahan.
Berakhirnya kekuasaan dinasti Seljuk atas Baghdad atau
khilafah Abbasiyah merupakan awal dari periode kelima. Pada periode ini,
khalifah Abbasiyah tidak lagi berada di bawah kekuasaan suatu dinasti tertentu,
walaupun banyak sekali dinasti Islam berdiri. Ada diantaranya yang cukup besar,
namun yang terbanyak adalah dinasti kecil. Para khalifah Abbasiyah, sudah
merdeka dan berkuasa kembali, tetapi hanya di Baghdad dan sekitarnya. Wilayah
kekuasaan khalifah yang sempit ini menunjukkan kelemahan politiknya. Pada masa
inilah tentara Mongol dan Tartar menyerang Baghdad. Baghdad dapat direbut dan
dihancurluluhkan tanpa perlawanan yang berarti. Kehancuran Baghdad akibat
serangan tentara Mongol ini awal babak baru dalam sejarah Islam, yang disebut
masa pertengahan.
Sebagaimana terlihat dalam periodisasi khilafah Abbasiyah,
masa kemunduran dimulai sejak periode kedua. Namun demikian, faktor-faktor
penyebab kemunduran itu tidak datang secara tiba-tiba. Benih-benihnya sudah
terlihat pada periode pertama, hanya karena khalifah pada periode ini sangat
kuat, benih-benih itu tidak sempat berkembang. Dalam sejarah kekuasaan Bani
Abbas terlihat bahwa apabila khalifah kuat, para menteri cenderung berperan
sebagai kepala pegawai sipil, tetapi jika khalifah lemah, mereka akan berkuasa
mengatur roda pemerintahan. [9]
Disamping kelemahan khalifah, banyak faktor lain yang
menyebabkan khilafah Abbasiyah menjadi mundur, masing-masing faktor tersebut
saling berkaitan satu sama lain. Beberapa diantaranya adalah sebagai berikut:
1. Persaingan antar Bangsa
Khilafah Abbasiyah didirikan oleh Bani Abbas yang bersekutu
dengan orang-orang Persia. Persekutuan dilatarbelakangi oleh persamaan nasib
kedua golongan itu pada masa Bani Umayyah berkuasa. Keduanya sama-sama
tertindas. Setelah khilafah Abbasiyah berdiri, dinasti Bani Abbas tetap
mempertahankan persekutuan itu. Ada dua sebab dinasti Bani Abbas memilih
orang-orang Persia daripada orang-orang Arab. Pertama, sulit bagi
orang-orang Arab untuk melupakan Bani Umayyah. Pada masa itu mereka merupakan
warga kelas satu. Kedua, orang-orang Arab sendiri terpecah belah dengan
adanya Nashabiyah (kesukuan). Dengan demikian, khilafah Abbasiyah tidak
ditegakkan di atas Nashabiyah tradisional.
Meskipun demikian, orang-orang Persia tidak merasa puas.
Mereka menginginkan sebuah dinasti dengan raja dan pegawai dari Persia pula.
Sementara itu bangsa Arab beranggapan bahwa darah yang mengalir di tubuh mereka
adalah darah (ras) istimewa dan mereka menganggap rendah bangsa non-Arab di
dunia Islam.
Selain itu, wilayah kekuasaan Abbasiyah pada periode pertama
sangat luas, meliputi berbagai bangsa yang berbeda, seperti Maroko, Mesir,
Syria, Irak, Persia, Turki dan India. Mereka disatukan dengan bangsa Semit.
Kecuali Islam, pada waktu itu tidak ada kesadaran yang merajut elemen-elemen
yang bermacam-macam tersebut dengan kuat. Akibatnya, disamping fanatisme
kearaban, muncul juga fanatisme bangsa-bangsa lain yang melahirkan gerakan
syu’ubiyah.
Fanatisme kebangsaan ini nampaknya dibiarkan berkembang oleh
penguasa. Sementara itu, para khalifah menjalankan sistem perbudakan baru.
Budak-budak bangsa Persia atau Turki dijadikan pegawai dan tentara. Mereka
diberi nasab dinasti dan mendapat gaji. Oleh Bani Abbas, mereka dianggap
sebagai hamba. Sistem perbudakan ini telah mempertinggi pengaruh bangsa Persia
dan Turki. Karena jumlah dan kekuatan mereka yang besar, mereka merasa bahwa
negara adalah milik mereka, mereka mempunyai kekuasaan atas rakyat berdasarkan
kekuasaan khalifah.
Kecenderungan masing-masing bangsa untuk mendominasi
kekuasaan sudah dirasakan sejak awal khalifah Abbasiyah berdiri. Akan tetapi,
karena para khalifah adalah orang-orang kuat yang mampu menjaga keseimbangan
kekuatan, stabilitas politik dapat terjaga. Setelah al-Mutawakkil, seorang
khalifah yang lemah, naik tahta, dominasi tentara Turki tak terbendung lagi.
Sejak itu kekuasaan Bani Abbas sebenarnya sudah berakhir. Kekuasaan berada di
tangan orang-orang Turki. Posisi ini kemudian direbut oleh Bani Buwaih, bangsa
Persia, pada periode ketiga, dan selanjutnya beralih kepada dinasti Seljuk pada
periode keempat.
2.
Kemerosotan Ekonomi
Khilafah Abbasiyah juga mengalami kemunduran di bidang
ekonomi bersamaan dengan kemunduran di bidang politik. Pada periode pertama,
pemerintahan Bani Abbas merupakan pemerintahan yang kaya. Dana yang masuk lebih
besar dari yang keluar, sehingga Bait al-Mal penuh dengan harta. Pertambahan
dana yang besar diperoleh antara lain dari al-Kharaj, semacam pajak hasil bumi.
Setelah khilafah memasuki periode kemunduran, pendapatan
negara menurun sementara pengeluaran meningkat lebih besar. Menurunnya
pendapatan negara itu disebabkan oleh makin menyempitnya wilayah kekuasaan,
banyaknya terjadi kerusuhan yang mengganggu perekonomian rakyat. diperingannya
pajak dan banyaknya dinasti-dinasti kecil yang memerdekakan diri dan tidak lagi
membayar upeti. Sedangkan pengeluaran membengkak antara lain disebabkan oleh
kehidupan para khalifah dan pejabat semakin mewah, jenis pengeluaran makin
beragam dan para pejabat melakukan korupsi. Kondisi politik yang tidak stabil
menyebabkan perekonomian negara morat-marit. Sebaliknya, kondisi ekonomi yang
buruk memperlemah kekuatan politik dinasti Abbasiyah kedua, faktor ini saling
berkaitan dan tak terpisahkan.
3. Konflik Keagamaan
Fanatisme keagamaan berkaitan erat
dengan persoalan kebangsaan. Munculnya gerakan yang dikenal dengan gerakan
Zindiq ini menggoda rasa keimanan para khalifah. Al-Manshur berusaha keras
memberantasnya. Al-Mahdi bahkan merasa perlu mendirikan jawatan khusus untuk
mengawasi kegiatan orang-orang Zindiq dan melakukan mihnah (ujian) dengan
tujuan memberantas bid’ah. Akan tetapi, semua itu tidak menghentikan kegiatan
mereka. Konflik antara kaum beriman dengan golongan Zindiq berlanjut mulai dari
bentuk yang sangat sederhana seperti polemik tentang ajaran, sampai kepada
konflik bersenjata yang menumpahkan darah di kedua belah pihak. Gerakan al-Afsyin
dan Qaramithah adalah contoh konflik bersenjata itu.
4 . Ancaman dari Luar
Apa yang disebutkan di atas adalah
faktor-faktor internal. Disamping itu, ada pula faktor-faktor eksternal yang
menyebabkan khilafah Abbasiyah lemah dan akhirnya hancur. Pertama, Perang Salib
yang berlangsung beberapa gelombang atau periode dan menelan banyak korban.
Kedua serangan tentara Mongol ke wilayah kekuasaan Islam. Sebagaimana telah
disebutkan, orang-orang Kristen Eropa terpanggil untuk ikut berperang setelah
Paus Urbanus II (1088-1099 M) mengeluarkan fatwanya. Perang Salib itu juga
membakar semangat perlawanan orang-orang Kristen yang berada di wilayah
kekuasaan Islam. Namun, diantara komunitas-komunitas Kristen Timur, hanya
Armenia dan Maronit Lebanon yang tertarik dengan Perang Salib dan melibatkan
diri dalam tentara Salib itu. Pengaruh Salib juga terlihat dalam penyerbuan
tentara Mongol. Disebutkan bahwa Hulagu Khan, panglima tentara Mongol, sangat
membenci Islam karena ia banyak dipengaruhi oleh orang-orang Budha dan Kristen
Nestorian. Gereja-gereja Kristen berasosiasi dengan orang-orang Mongol yang
anti Islam itu dan diperkeras di kantong-kantong ahl al-kitab. Tentara Mongol,
setelah menghancurleburkan pusat-pusat Islam, ikut memperbaiki Yerussalem.
BAB
III
ANALISIS
Adapun
dari pernyataan di atas dapat kami berikan analisis beberapa hal mengenai
materi di atas yakni sebagai berikut:
Masa
Kedaulatan Abbasiyah berlangsung selama 508 tahun, sebuah rentang sejarah yang
cukup lama dalam sebuah peradaban. Tidak seperti pada periode Umayyah, Periode
pertama Daulat Abbasiyah lebih memprioritaskan pada penekanan pembinaan
peradaban dan kebudayaan Islam daripada perluasan wilayah. Fakta sejarah
mencatat bahwa masa Kedaulatan Abbasiyah merupakan pencapaian cemerlang di
dunia Islam pada bidang sains, teknologi dan filsafat. Pada saat itu dua
pertiga bagian dunia dikuasai oleh Kekhilafahan Islam.
Masa
kekhalifahan dari Daulat Abbasiyah merupakan masa kejayaan (keemasan) peradaban
Islam, dimana Baghdad mengalami kemajuan ilmu pengetahuan yang pesat. Secara
politis, para khalifah betul-betul merupakan tokoh yang kuat dan merupakan
pusat kekuasaan politik dan agama sekaligus.
Kemajuan
di bidang sosial kemasyarakatan yang terjadi pada zaman Dinasti Abbasiyah
antara lain munculnya berbagai kelompok dalam masyarakat yang semakin heterogen
baik suku, bangsa, etnis agama, dan berbagai unsur warga negara. Keberagamaan
ini dapat dikelola sebagai potensi yang besar untuk berlomba dan berjuang dalam
satu kesatuan Islam membangun dan memajukan Dinasti Abbasiyah. Munculnya
kelompok khusus dan umum bukan berdampak pada terbentuknya perbedaan dan
stratifikasi atas bawah yang terpisah, tetapi justru menggambarkan peranan
masing-masing dalam sumbangan terhadap majunya Dinasti Abbasiyah.
Kemajuan
di bidang sosial budaya pada masa Dinasti Abbasiyah antara lain munculnya seni
bangunan kota yaitu pembangunan kota Baghdad menjadi kota metropolitan yang
megah dan keindahannya mengagumkan dunia sehingga dijuluki Alfulailah wa lailah. Selain juga dibangun kota satelit sebagai
penyangga utama kota Baghdad. Kota lain yang dibangun adalah kota Amara. Adapun
kemajuan di bidang sosial budaya ditandai dengan perkembangan sektor pertanian,
ekonomi, dan perdagangan. Hal lain yang sangat menentukan kejayaan Abbasiyah
yaitu dalam bidang pengetahuan. Kemajuan ini ditandai dengan berdirinya
lembaga-lembaga pendidikan seperti Madrasah, Kuttab, Masjid, Majelis Munazarah,
dan Darul Hikmah menjadi pusat-pusat kegiatan ilmu sehingga melahirkan berbagai
cabang ilmu pengetahuan dan sains teknologi yang mengangkat Abbasiyah mencapai
kejayaan dan keemasannya.
Kemajuan
di bidang politik militer yang dicapai meliputi upaya melibatkan semua unsur
masyarakat dalam mendukung pemerintahan, tidak hanya bangsa Arab saja tetapi
juga bangsa Persia dan Turki. Upaya lainnya adalah memberantas semua
pemberontakan yang mengancam keutuhan negara yang dimulai dari Bani Umayah,
kaum Alawiyah, Rawandiyah, Al-Muqana’iyah, Zanadiyah, dan sebagainya.
Kemajuan
lainnya adalah dibentuknya susunan organisasi negara lebih rinci yang dimulai
dari menteri-menteri, departemen-departemen (diwan) dan imarat-imarat, dan
lainnya. Semua ditata dengan rapi menurut susunan jabatan bidang militer. Semua
upaya tersebut berdampak terhadap terciptanya pemerintahan yang teratur
sehingga rakyat dan umatnya makmur. Abbasiyah mencapai masa keemasan dan
kejayaan.
Dinasti
Abbasiyah merupakan imperium Islam yang pertama kali mencapai kemajuan
sangat pesat di bidang ilmu pengetahuan
dan sains. Prestasi ini terjadi akibat kebijakan para khalifah yang sangat
memperhatikan berkembang serta majunya ilmu pengetahuan. Upaya awal dimulai dari
lahirnya berbagai lembaga keilmuwan seperti Kuttub, Masjid, Madrasah, Majelis
Munazarah, dan yang sangat menentukan adalah dibangunnya Baitul Hikmah sebagai
pusat penerjemah, penelitian, perpustakaan, serta perguruan Islam yang mampu
mencetak para tokoh ilmuwan Islam seperti Al-Kindi, Al-Farabi, Ibnu Sina, Ibnu
Tufail, Ibnu Bajah, Ibnu Rusyd, dan masih banyak ilmuwan yang tidak dapat
disebutkan. Dari kegiatan para tokoh ulama tersebut, maka lahirlah berbagai
cabang ilmu pengetahuan dan sains seperti filsafat, kedokteran, astronomi,
geografi, matematika, sejarah, dan sebagainya.
Silsilah para
khalifah Dinasti
Abbasiyah di Bagdad
BAB
IV
PENUTUP
Dari berbagai hal tentang masa
kemajuan dan masa desintegrasi Dinasti Abbasiyah di atas dapat disimpulkan beberapa konsep yang
mendukung dalam sejarah masa kejayaan dan keruntuhan Dinasti Abbasiyah, yaitu:
·
Konsep Kosmopolitan,
dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, kosmopolitan yaitu terjadi dari
orang-orang atau unsur-unsur yang berasal dari pelbagai bagian dunia[10]. Jadi,
Dinasti Abbasiyah pada saat itu dapat disebut istilah bangsa kosmopolitan. Dinasti
ini merupakan contoh fenomena masyarakat global. Yang menjadi suatu model “global
governance”. Pemerintahan global yang tidak hanya merupakan gerak sejarah
semata-mata, tetapi lebih dari itu, dinasti ini mampu bertahan selama 508 tahun
dengan berbagai keanekaragaman suku, bangsa, etnis, agama yang diikat dalam
satu kekuasaan Islam telah menjadi potensi yang kuat dalam membela dan
mempertahankan serta bersatu untuk mewujudkan kemajuan dan kejayaan Dinasti
Abbasiyah sehingga mampu mencapai sebuah dinasti yang ditandai dengan
stabilitas, kesetaraan dan kemakmuran pada masa itu, sekalipun dalam sejarah
pula bahwa dalam kurun waktu itu pula berbagai sebab yang membuat runtuhnya
dinasti ini, namun hal ini tetap sungguh menjadi sebuah peradaban yang luar
biasa dalam sejarah Islam.
·
Konsep Demokrasi
adalah suatu bentuk pemerintahan politik
yang kekuasaan pemerintahannya berasal dari rakyat, baik
secara langsung (demokrasi langsung) atau melalui perwakilan (demokrasi perwakilan).
Istilah ini berasal dari bahasa Yunani δημοκρατία – (dēmokratía)
"kekuasaan rakyat",yang dibentuk dari kata δῆμος (dêmos)
"rakyat" dan κράτος (Kratos) "kekuasaan", merujuk
pada sistem politik yang muncul pada pertengahan abad ke-5 dan ke-4 SM di negara kota
Yunani Kuno,
khususnya Athena,
menyusul revolusi rakyat pada tahun 508 SM. Istilah demokrasi diperkenalkan
pertama kali oleh Aristoteles sebagai suatu bentuk pemerintahan,
yaitu pemerintahan yang menggariskan bahwa kekuasaan berada di tangan orang
banyak (rakyat). Abraham Lincoln dalam pidato
Gettysburgnya mendefinisikan demokrasi sebagai "pemerintahan
dari rakyat, oleh rakyat, dan untuk rakyat".Hal ini berarti kekuasaan
tertinggi dalam sistem demokrasi ada di tangan rakyat dan rakyat mempunyai hak, kesempatan dan suara yang sama di dalam
mengatur kebijakan pemerintahan.Melalui demokrasi, keputusan yang diambil
berdasarkan suara
terbanyak.[11]
Adapun pemerintahan menggunakann konsep ini pada masa Khalifah Al-Makmun.
·
Konsep
Sekuler, yakni memotong tradisi musyawarah pada masa khulafaurrasyidin dan
adanya pemisahan antara agama dan pemerintahan.
·
Konsep
Sadisme, bahwa mendapatkan dan mempertahankan kekuasaan boleh dengan
cara-cara yang licik dan kekerasan.
·
Konsep
Disentralisasi, yakni bentuk kekuasaan dengan menjadikan daerah distrik (otonomi)
pada masa itu terbentuk menjadi 3 otonomi yaitu otonomi, otonomi khusus dan
otonomi istimewa.
DAFTAR
PUSTAKA
Hasan, Ibrahim Hasan, Sejarah dan
Kebudayaan Islam, Yogyakarta : Penerbit Kota Kembang, 1989.
Nasution, Harun, Islam ditinjau
dari berbagai aspeknya, Jakarta : UI Press, 2005.
Yatim ,Badri, Dr, M.A, Sejarah
Peradaban Islam, Jakarta : PT Grafindo Persada, 2000.
Tim Penyusun, Kamus Besar
Bahasa Indonesia, Jakarta: Balai Pustaka, 2000.
http://www.cybermq.com/index.php?pustaka/detail/10/1/pustaka-149.html
http://id.wikipedia.org/wiki/Demokrasi
[2] Ibid., op cit, h.51
[4] Badri Yatim, op cit, hal 52
[6] Hasan
Ibrahim Hasan, Sejarah dan Kebudayaan Islam, (Yogyakarta : Penerbit Kota
Kembang, 1989) h.129
[10] Tim Penyusun Kamus Pusat Bahasa,
Kamus Besar Bahasa Indonesia, Jakarta: Balai Pustaka, 2000, h.597.
[11]
http://id.wikipedia.org/wiki/Demokrasi
No comments:
Post a Comment
Mohon maaf apabila terdapat komentar yang sesuai kriteria di bawah ini akan dihapus, demi kenyamanan bersama
1. Komentar berbau pornografi, sara, dan menyinggung.
2. Mencantumkan link hidup.
3. Mengandung SPAM.
4. Mempromosikan Iklan.
Terima kasih atas perhatiannya.